I. PENDAHULUAN
Dalam bagian pendahuluan ini akan dibahas:
pokok masalah, tujuan penulisan, pentingnya penulisan, lingkup penulisan.
Pokok Masalah
Don Richardson adalah seorang tokoh misi yang
memiliki beban untuk melayani suku-suku di pedalaman Irian Jaya (Papua). Don
Richardson mempersembahkan hidupnya untuk memberitakan Injil kepada beberapa
wilayah yang paling terpencil dan terabaikan di dunia. Dalam sebuah kebaktian
di Prairie Bible Institute tahun 1955, Don Richarson, seorang pemuda yang saat
itu masih berusia 20 tahun, mengambil suatu keputusan untuk terlibat dalam
pelayanan misi ke luar negeri. Panggilannya saat itu bukanlah panggilan yang samar-samar,
tetapi suatu panggilan yang sangat jelas dan penuh dengan kepastian yaitu
melayani suku-suku pengayauan (pemburu kepala manusia) di Irian Jaya (Papua).
Suku-suku yang akan dilayani memiliki cara hidup yang tidak wajar, di mana
kekejaman merupakan cara hidup mereka.
Setelah menyelesaikan kursus di Summer
Institut of Linguistics pada tahun 1962, sambil menunggu kelahiran
anak pertama mereka, Don dan Carol berlayar menuju Papua, di mana nantinya
mereka akan bergabung dengan pelayanan misionari RBMU(Regions Beyond
Missionary Union). Setelah sampai di Papua, Don dan Carol ditugaskan
untuk melayani suku Sawi. Suku Sawi adalah salah satu suku yang memiliki budaya
yang merupakan gabungan antara kanibalisme dan pengayauan. Selain penduduknya
yang menakutkan, wilayah yang diduduki oleh suku Sawi juga menjadi tempat yang
menakutkan, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Don, istri dan anaknya.
Walaupun kondisinya demikian, Don tetap maju dalam pelayanannya karena Don
selalu yakin dan tidak pernah meragukan panggilannya. Mengingat kondisi suku
Sawi yang sangat berat dan menyeramkan, Don tidak patah semangat tetapi mulai
menyusun strategi-strategi yang akan dipakai untuk dapat menjangkau orang-orang
Sawi bagi Yesus Kristus.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah (1) Untuk memaparkan
pelayanan yang dilakukan oleh Don Richarson dalam menjangkau suku Sawi bagi
Kristus (2) Untuk menjelaskan strategi-strategi yang digunakan oleh Don
Richardson dalam memberi solusi atau jawaban bagi harapan-harapan yang tidak
terpenuhi oleh budaya suku Sawi.; (3) untuk menjelaskan pola mengkomunikasikan
Injil sebagai jawaban bagi harapan-harapan mereka, di mana budaya suku Sawi
tersebut tidak bisa memberi jawaban.
Lingkup Penulisan
Penulisan paper ini terfokus dalam menganalisa pelayanan
Don Richardson yang berhubungan dengan strategi dalam menjangkau suku Sawi yang
memiliki budaya Pangayauan (kanibal), mengubahkan pola pikir mereka untuk
meninggalkan budaya mereka yang kejam dan mengganti dengan kasih Yesus Kristus.
II. MENGENAL DAN MEMAHAMI
BUDAYA DAN HARAPAN-HARAPAN SUKU SAWI
Sekilas tentang Suku Sawi
Suku Sawi adalah salah satu suku yang tertinggal di pulau Papua. Suku Sawi
terbagi menjadi dua bagian yaitu: bagian utara dan bagian selatan. Don
Richardson melakukan pelayanannya pada suku Sawi bagian Selatan. Sebelum Don
Richardson masuk ke suku Sawi, mereka memelihara budaya secara turun temurun.
Kehidupan Suku Sawi sangat dipengaruhi oleh budaya nenek moyang mereka, hal ini
Nampak dalam budaya mereka antara lain: budaya Pangayauan dan Kanibalisme,
budaya Penghianatan, budaya Aumaway.
Budaya Pangayauan
Suku Sawi, salah satu suku yang memiliki budaya yang merupakan
gabungan antara kanibalisme dan pengayauan. Sangat berbahaya! Tidak hanya
penduduknya yang menakutkan, wilayah yang didiami suku Sawi juga merupakan
tempat yang menakutkan. Budaya Pangayau sering kali dihubungkan
dengan simbol keberanian dan kejantanan. Kepala-kepala yang telah dipenggal direbus dan dikeringkan,
seringkali bergantungan di rumah dan sering dipakai sebagai bantal
kepala.
Budaya Penghianatan
Budaya pemujaan penghianatan ini berujung
pada maut dan yang lebih mengerikan lagi mereka juga memakan daging musuh
mereka yang dikalahkan. Dampak dari budaya penghianatan ini telah menyebabkan
suku Sawi menjadi kanibal. Menurut kepercayaan mereka yang telah diwarisi
secara turun temurun, makan daging manusia (kanibal) merupakan salah satu
ambang pintu utama yang harus mereka lewati untuk mengenal hakekat tertinggi
dari kehidupan Sawi. Mereka memiliki pemahaman bahwa ketika seseorang makan
daging manusia, tampaknya seolah-olah matanya terbuka untuk mengerti kebaikan
dan kejahatan. Budaya ini tidak akan pernah habis karena disebabkan oleh rasa
dendam yang terus membara untuk membalas kematian anggota kelompoknya. Dan
dendam itu tidak pernah mereka lupakan, bagi mereka membalas dendam itu pasti
terlaksana, hanya menunggu waktu saja. Dan lebih tidak masuk akal lagi adalah
strategi yang mereka gunakan adalah jebakan ”musuh dalam selimut”, seperti
teman tetapi teman yang akan membawa maut.
Di dalam menyusun strategi penghianatan itu
tidak pandang bulu sanak keluarga pun dapat dimanfaatkan untuk melakukan
penghianatan itu. Hal ini membuat kehidupan suku sawi tidak pernah tenang dan
selalu was-was karena ancaman dari kelompok lain akan muncul setiap saat.
Karena pengaruh pemujaan terhadap penghianatan itulah, ketika mendengar kisah
penghianatan Yudas, mereka mengaggap Yudas adalah pahlawan, mereka kagum akan
penghianatan yang dilakukan Yudas, dan Kristus yang menjadi korban penghianatan
tidak berarti apa-apa. Istilah Tuwi asonai man telah mendarah
daging dalam kehidupan suku Sawi. Mereka bersahabat dan bersikap baik terhadap
seseorang, namun suatu saat bisa menyembelinya. Pembunuhan secara
terang-terangan sudah tidak mendatangkan kesenangan lagi bagi mereka, musuh
mereka kadang dibiarkan melarikan diri, kemudian dikejar dan diburu menuruti
ideal Tuwi asonai man yang lebih menggairakan. Orang-orang
Sawi bukan saja kejam, tetapi juga menghormati kekejaman. Puncak kesenangan
mereka didasarkan atas kesengsaraan dan keputusasaan orang lain, penghianatan
dipuja-puja sebagai suatu kebajikan dan tujuan hidup. Sangat bertolak belakang
dengan Injil yang akan disampaikan kepada mereka, namun hanya kuasa Injil yang
dapat menghentikan kebiadaban mereka.
Budaya Aumaway
Selain pemujaan terhadap penghianatan, yang
lebih mengerikan lagi ialah kepercayaan kepada Aumaway. Kepercayaan
ini sangat kuat menguasai orang-orang Sawi. Kepercayaan ini telah menyebabkan
ribuan orang yang sakit dan tidak berdaya dipaksa mati sebelum waktunya. Orang
yang pinsan, tidak sadarkan diri atau dalam keadaan koma sudah dianggap mati.
Dalam kondisi tidak berdaya orang yang sudah dianggap mati masih diperlakukan
dengan kasar bahkan disulut dengan bara api. Tidak sampai di situ dalam keadaan
tak berdaya mereka membungkus si sakit dengan tikar dan menggantung mereka di
tiang-tiang yang telah disiapkan sebagai kuburan. Selanjutnya si sakit yang
sudah mati karena perlakuan yang tidak manusiawi itu diupacarakan yang disebut gefam
ason. Dalam upacara ini mereka meratapi mayat yang sudah berbau busuk
itu. Tujuan dari gefam ason ini adalah supaya mereka mengalami
pembaharuan tubuh, dan mereka tidak mengalami kematian lagi.
Harapan-Harapan yang terkandung dalam Upacara
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa dalam
budaya suku Sawi mereka menaruh suatu pengharapan. Budaya pengayau terus
dipelihara oleh suku Sawi karena budaya ini memberikan suatu penghargaan yang
tinggi jika mereka dapat mengalahkan musuhnya dan membawa kepala musuhnya
pulang. Ini akan menjadi suatu kebanggaan dan memberi status sebagai seorang
pemberani. Budaya penghianatan terus dipelihara secara turun temurun karena
didalamnya juga terkandung suatu pengharapan untuk membalas dendam kepada
musuh. Mereka memuja-muja budaya penghianatan sebagai suatu kebajikan dan
tujuan hidup. Demikian juga dengan budaya Aumaway yang mereka lakukan supaya
mengalami pembaharuan tubuh dan tidak mengalami kematian lagi.
Persoalan yang sedang dihadapi oleh suku Sawi
adalah persoalan rohani yang belum mereka temukan jawabannya. Selama ribuan
tahun kebudayaan Sawi telah berjuang tanpa dapat memberikan jawaban yang
memuaskan. Hanya Injil yang bisa menghentikan kebiasaan/budaya suku Sawi.
III. STRATEGI UNTUK MENYAMPAIKAN
INJIL SEBAGAI JAWABAN ATAS HARAPAN-HARAPAN YANG TIDAK TERJAWAB OLEH BUDAYA.
Untuk membawa orang-orang berbalik dari
kegelapan kepada terang prasyarat pertama yang harus dilakukan adalah ”membuka
mata mereka”. Paulus ketika masuk ke dalam bangsa-bangsa yang Allahnya
samar-samar, misalnya sikap Paulus ketika menjumpai bangsa Athena yang penuh
sesak dengan patung dewa-dewa, Paulus tidak mengutuki tetapi Paulus
berjalan-jalan di kota dan melihat-lihat (Kis. 17:23) dan Ia menjumpai sebuah
altar dengan tulisan ”kepada Allah yang tidak dikenal” yang dibangun oleh
Epimedines sebagai penghormatan kepada ”Allah yang tidak dikenal” yang telah
menolong bangsa Atena dari wabah. Altar inilah yang menjadi kunci komunikasi
yang dipakai Paulus untuk membuka gembok-gembok pada hati dan pikiran ahli-ahli
pikir Stoa dan Epikuros.
Paulus mengungkapkan kepada bangsa Atena Allah yang mereka tidak kenal itu,
”Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu
(Kis. 17:22,23)”. Setelah membuka mata mereka, Paulus berusaha untuk membuat
orang-orang Atena berbalik dari kegelapan kepada terang. Don Richardson
memberikan contoh pengalamannya ketika diutus di suku Sawi di Papua. Don
Richardson menemukan kunci komunikasi lewat kepercayaan suku Sawi tentang
konsep ”anak perdamaian” yang bisa menghapus dendam.
Strategi pertama yang digunakan Don Richardson adalah mempelajari
bahasa dan budaya orang Sawi. Saat Don mempelajari bahasa Sawi dan semakin
mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari adanya rintangan-rintangan yang
dihadapinya untuk mengenalkan kekristenan kepada mereka. Jurang yang memisahkan
antara kekristenannya yang alkitabiah dengan keganasan suku Sawi tampaknya
terlalu sulit untuk dijembatani. Bagaimana mereka dapat menceritakan tentang
Juruselamat yang maha kasih, dan yang bersedia mati bagi mereka? Strategi kedua
setelah memahami bahasa mereka, Don dan istrinya mengajar orang-orang Sawi
untuk membaca dalam bahasa ibu mereka, dan menerjemahkan seluruh Perjanjian Baru
ke dalam bahasa orang Sawi. Strategi ketiga mencari analogi untuk menjadi
jembatan Injil. Don menemukan "Redemptive Analogy" (Analogi
Penebusan) konsep dari suku Sawi mengenai "Peace Child" (Anak
Perdamaian). Don Richardson akhirnya memahami konsep anak perdamaian yang
dilakukan suku Sawi. Kepala suku memberikan putranya sendiri kepada musuh,
tindakan kepala suku ini, walaupun menyakitkan tetapi tindakan ini akan
mengakhiri semua kecurigaan antar suku Sawi dan musuhnya. Dengan persetujuan
bersama, sepanjang anak itu hidup tidak akan ada lagi perang antara kedua suku.
Konsep anak perdamaian ini digunakan oleh Don Richardson untuk menyampaikan
pekabaran tentang Allah yang pengampun. Don mengumpulkan semua orang Sawi dan
membacakan kepada mereka kitab Yesaya 9:5: “Sebab seorang anak telah lahir
untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada
di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasehat Ajaib, Allah yang
Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”. Allah telah mengutus Putranya untuk
menjadi pendamai dan mengakhiri perang terhadap dosa dan kematian.
Suku Sawi dan Haeman membutuhkan anak perdamaian untuk menemukan
kedamaian. Sama seperti mereka, anak perdamaian datang sebagai seorang bayi dan
tumbuh sebagai Mesias. Dia adalah Putra Allah yang Maha Kuasa yang datang untuk
menawarkan damai yang melampaui pengertian manusia. Kedamaian itu dapat
dimiliki hanya jika hidup dan mencintai sama seperti Dia yang telah memanggil
umatnya. Hidup dan mencitai Dia bukan hanya akan membawa damai di dalam hati.
Ini juga akan membawa damai antara diri sendiri dan orang lain, dalam rumah
tangga, dalam masyarakat, dan bahkan di antara bangsa-bangsa. Kuncinya adalah
anak Perdamaian Allah, Tuhan kita Yesus Kristus.
IV. PENUTUP
Melalui pemaparan di atas, akhirnya penulis sampai pada
penutup
yang terdiri dari kesimpulan.
Kesimpulan
Dari penguraian di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa strategi yang
digunakan oleh Don Richarson dalam menjangkau suku Sawi yang masih hidup
terisolasi dan menganut budaya nenen moyang mereka tidak terlepas dari
peran Allah. Allah telah merancang analogi anak perdamaian sebagai jembatan
supaya orang-orang Sawi dapat memahami kasih-Nya. Terlepas dari itu, faktor
bahasa dan budaya juga memegang peran penting. Don Richardson dapat menjangkau
suku Sawi tidak terlepas dari usahanya untuk memahami bahasa suku Sawi, supaya
dapat berkomunikasi dengan mereka. Dengan menguasai bahasa mereka akan
memudahkan untuk mengenal budaya mereka. Dengan memahami bahasa dan budaya
mereka, akan memudahkan Don untuk mencari analogi-analogi yang dapat dijadikan
jembatan untuk mengenalkan Injil bagi orang-orang Sawi.
Daftar
Pustaka
Richardson,
Don
1996 Kerinduan akan Allah yang sejati, Bandung: Kalam Hidup.
Smith,
Oswald. J.
Tt Merindukan Jiwa yang sesat,
Surabaya: Yakin
Richardson,
Don
Tt Penguasa—penguasa Bumi,
Bandung: Kalam Hidup
Stott,
John R.W
Misi Menurut Perspektif Alkitab
Hesselgrave,
David J.
Communicating Christ Cross-Culturally
Richardson,
Don
1978
Anak Perdamaian, Bandung: Kalam Hidup
Don Richardson-Pelayanan di Suku
Sawi-Irian Jaya
September 4, 2008 by
Salah satu dari ahli
teori misi praktis yang telah menarik banyak minat di dunia Barat adalah Don
R;Peace Child” (Anak Perdamaian) dan “Lords of the Earth” (Para Penguasa Bumi) yang
ditujukan bagi orang-orang Kristen awam ini menyajikan tentang kerumitan
dalam mengkomunikasikan Injil secara lintas budaya kepada orang-orang
non-Kristen, khususnya suku- suku yang jauh dari peradaban barat. Mungkin lebih
dari misionaris lainnya di Amerika, dia bisa menarik baik orang awam maupun
para ahli misiologi.
Prinsipnya tentang
“Redemptive Analogy” (Analogi Penebusan) — penerapan tentang prinsip
keselamatan ke dalam budaya lokal — telah menyebabkan antusiasme dan debat
dalam siklus misiologi semenjak dia menjelaskan prinsip tersebut di sebuah
seminar di Dallas Theological Seminary tahun 1973. Sejak saat itu pengaruhnya
telah berkembang melalui buku-buku dan artikel-artikel yang ditulisnya, konferensi
yang diadakannya, pembuatan film “Peace Child”, dan asosiasinya dengan U.S.
Center for World Mission di Pasadena. Dalam sebuah kebaktian di Prairie Bible
Institute tahun 1955, Don Richardson, seorang pemuda yang saat itu masih
berusia 20 tahun, menjawab panggilan untuk terlibat dalam pelayanan misi ke
luar negeri.
Panggilan yang
dijawabnya ini bukanlah panggilan yang masih samar-samar — untuk pergi ke
“suatu tempat” yang belum jelas — tetapi merupakan panggilan yang penuh
kepastian untuk melayani suku- suku pengayauan (pemburu kepala manusia) di
Netherlands New Guinea (sekarang Irian Jaya), dimana kekejaman merupakan cara
hidup suku-suku tersebut. Banyak orang menghadiri kebaktian di Prairie Bible
Institute tsb. dan mendengar khotbah dari Ebenezer Vine yang berusia 71 tahun
dari “Regions Beyond Missionary Union” (RBMU).
Prairie Bible
Institute telah cukup terbiasa melihat sebagian besar lulusannya terpanggil
untuk melayani di luar negeri. Di antara lulusan yang memiliki keputusan yang
sama dengan Don pada saat itu adalah Carol Soderstrom, seorang gadis cantik
dari Cincinnati, Ohio, yang lima tahun kemudian menjadi istri Don.
Tahun 1962, sesudah
menyelesaikan kursus di Summer Institute of Linguistics dan menunggu kelahiran
anak pertama mereka, Don dan Carol berlayar menuju New Guinea, dimana mereka
bergabung dengan pelayanan misionaris RBMU sampai mereka ditugaskan untuk
melayani suku yang ditunjuk — suku Sawi, salah satu suku yang memiliki budaya
yang merupakan gabungan antara kanibalisme dan pengayauan. Sangat berbahaya!
Tidak hanya penduduknya yang menakutkan, wilayah yang didiami suku Sawi juga
merupakan tempat yang menakutkan sebagai tempat tinggal bagi istri dan anaknya
yang masih berusia tujuh bulan. Namun Don tidak pernah meragukan panggilannya.
Sudah cukup beban bagi Don dan Carol untuk memikirkan ketakutan akan tempat dan
penyakit berbahaya yang ada di sini. Namun mereka akan bertambah takut jika
mereka tidak segera menguasai bahasa suku Sawi.
Hal itu merupakan
pergumulan terberat bagi mereka. Meskipun merasa “otaknya serasa mengecil”
dalam proses pembelajaran bahasa itu, Don mengatur jadwalnya untuk belajar
bahasa Sawi selama 8 – 10 jam sehari supaya akhirnya ia dapat menjadi
komunikator yang fasih dalam bahasa Sawi. Saat Don mempelajari bahasa Sawi dan
semakin mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari adanya rintangan-rintangan
yang dihadapinya untuk mengenalkan kekristenan kepada mereka. Jurang yang
memisahkan antara kekristenannya yang alkitabiah dengan keganasan suku Sawi
tampaknya terlalu sulit untuk dijembatani. Bagaimana mereka dapat menceritakan
tentang Juruselamat yang maha kasih, dan yang bersedia mati bagi mereka?
Penghalang-penghalang komunikasi tampaknya susah diatasi sampai Don menemukan
“Redemptive Analogy” (Analogi Penebusan)– konsep dari suku Sawi mengenai “Peace
Child” (Anak Perdamaian). Dalam budaya mereka, suku Sawi telah menemukan cara
untuk membuktikan ketulusan niat dan membangun perdamaian.
Sebelumnya, suku Sawi
selalu mencurigai segala pernyataan yang dilakukan untuk menjalin persahabatan,
kecuali untuk satu pernyataan: Jika seorang pria bersedia menyerahkan anak
laki-lakinya kepada para musuhnya, maka pria itu dapat dipercaya. Analogi Anak
Perdamaian inilah yang dipakai Don untuk menunjukkan kepada suku Sawi bahwa
Allah adalah seorang Bapa yang bersedia mengorbankan putra-Nya sendiri. Anak
Perdamaian ini sendiri tidak dapat menyelesaikan semua rintangan komunikasi
untuk memahami Kekristenan. Oleh karena itu Don dan Carol mencari
analogi-analogi lain yang dapat dipakai untuk bersaksi. Juga sebagai seorang
perawat, Carol menolong hampir sebanyak 2.500 pasien setiap bulannya. Melalui
kesabaran mereka berdua, lambat laun suku Sawi mulai mengenal Kekristenan. Don,
dengan bantuan Carol, mulai menerjemahkan Perjanjian Baru dan mengajar suku
Sawi untuk membaca. Tahun 1972, setelah satu dekade melayani suku Sawi, banyak
terjadi perubahan. Rumah pertemuan yang biasa dipakai untuk beribadah
diperluas. Don menyarankan untuk membuat “Sawidome” — sebuah rumah yang dapat
menampung sedikitnya 1000 orang. Rumah ini menjadi “rumah perdamaian bagi
mereka yang dulu saling bermusuhan.” Setelah menyelesaikan penerjemahan
Perjanjian Baru, Don Richardson dan keluarganya meninggalkan suku Sawi dan
menyerahkannya di bawah pengawasan para penatua gereja mereka dan John serta
Esther Mills, pasangan misionaris lainnya yang melayani suku Sawi.
No comments:
Post a Comment