“SUNAT” DALAM PANDANGAN KRISTIANI(Galatia 5:1-12)
Dalam surat Paulus kepada jemaat Galatia(Galatia 5:1-12) jelas terlihat
bahwa setiap orang Kristen(percaya Yesus) bebas dari hukum Taurat, termasuk
sunat. Hal ini di dasari pada kenyataan bahwa saat itu dalam jemaat Galatia
terdapat orang-orang yang berusaha memutarbalikkan kemerdekaan Kristen. Mereka
tergoda untuk kembali mewajibkan pelaksanaan aturan-aturan dalam hukum taurat.
Paulus menyatakan bahwa ajaran yang mencampuradukkan anugerah dengan pemaksaan
hukum Taurat merupakan kesalahan(Gal.1:6-7). Paulus memberikan kepastian bahwa
Kristus telah memerdekakan kita, orang yang percaya kepadaNya dari segalam kuk
perhambaan dan oleh sebab itu kita harus tetap teguh berpaut kepada kebenaran
Kristus(ay.1).
Sebagai salah satu bagian dari hukum Taurat, sunat termasuk yang di komentari oleh Paulus. Paulus sendiri menggunakan kata “sunat” sebanyak sebelas kali. Beberapa kali ia menggunakannya dalam konteks rohani, juga untuk menyerang ‘kesombongan’ orang Yahudi yang merasa sebagai bangsa pilihan. Mengapa ia berbicara keras tentang sunat, padahal ia sendiri orang yang bersunat?
Kejadian pasal 17 merupakan pedoman satu-satunya dalam Alkitab yang
menceritakan awal mula tradisi sunat, sebagai tanda perjanjian Allah dengan
Abraham. Sunat dihisabkan dalam ajaran Musa terkait dengan paskah(Kel.12:44)
dan agaknya diteruskan sepanjang zaman Perjanjian Lama(Yer.9:25,26). Kejadian
17 mengindikasikan sunat adalah wujud tanda rohani, kemudian memiliki arti
kebangsaan. Sunat Israel merupakan pertanda kedudukan di hadirat Allah, dan bahwa
kasih karunia Ilahi mendahului perbuatan manusia. Sunat menjelmakan, menerapkan
janji, dan menghimbau orang untuk hidup dalam ketaatan sesuai perjanjian.
Lantas, apabila Paulus sendiri
orang bersunat, mengapa ia begitu keras menolaknya? Alasannya adalah:
beberapa orang Kristen Yahudi percaya bahwa di samping pekerjaan Allah di dalam
Yesus Kristus, baik orang Kristen Yahudi maupun orang Kristen non Yahudi wajib
menaati aturan-aturan dan hukum Taurat, yang secara khusus mencakup ketaatan
pada tata cara dan pemujaan, seperti pemeliharaan hari-hari khusus, makanan
yang halal dan haram, serta bersunat (Gal.3:1-7; 4:8-11, 17, 21-22).
Orang-orang ini masih
“diperhamba” di saat Kristus telah memerdekakan mereka. Ajaran tentang sunat di
atas menjadikan perbuatan baik sebagai sesuatu yang penting dan berpengaruh
terhadap keselamatan. Sunat menjadikan mereka hidup di luar kasih karunia(ay. 4) dan
“Kristus tak akan berguna” sebab usaha untuk “dibenarkan oleh hukum Taurat”
akan menimbulkan keterasingan dari Kristus.
Hal inilah yang sangat ditentang rasul Paulus, sebab bagi orang percaya
hanya iman yang bekerja oleh kasih sajalah yang berarti(ay. 6). Tanpa ketaatan,
sunat hanyalah omong kosong(Roma 2:25-29), tanda lahiriah ini tak berarti
apabila dibandingkan dengan menaati perintah-perintahAllah(1 Korintus 7:18-19),
menjadi ciptaan barulah yang berarti bagi Allah(Gal. 6:15). Jadi penolakan
tersebut dilatarbelakangi oleh aspek teologis serta situasi, kondisi, sosial,
dan budaya jemaat Galatia.
Bagaimana dengan sunat pada masa
kini? Konteks sosial, budaya dan teologi pada masa rasul Paulus menolak
pelaksanaan sunat berbeda dengan konteks sosial, budaya dan teologi pada masa
kini. Pada
masa kini, orang melaksanakan sunat lebih disebabkan oleh faktor kesehatan,
sedangkan faktor-faktor lainnya tidak terlalu dominan berpengaruh. Demikian
pula orang yang tidak bersunat, biasanya tidak dipengaruhi oleh faktor teologis
tertentu, tetapi hanya soal kebiasaan dan budaya yang melatarbelakangi
hidupnya.
Menurut hemat penulis (anda bisa
tak setuju) melaksanakan sunat adalah lebih baik dan sehat apabila dipandang
dari aspek kesehatan. Di atas hal lahiriah tersebut, yang terpenting adalah hendaklah setiap
orang bersunat hati(Roma 8:28,29). Amin
No comments:
Post a Comment