Ada hadis dari Aisha, istri sang nabi, kata Aisha tadinya ada “ayat rajam”, dimana disitu rajam dijelaskan sebagai hukuman bagi zinah, ayat ini menjadi bagian dari Quran tapi sekarang hilang. Kalifah2 awal melakukan hukuman rajam bagi para penzinah meski Quran, yang kita kenal sekarang, hanya memerintahkan seratus cambukan. Ini jadi aneh – jika hadis itu tidak benar – kenapa hukum islam sampai saat ini masih menetapkan hukum rajam padahal Quran hanya menuntut hukum cambuk. Menurut hadis juga, lebih dari seratus ayat telah hilang. Kaum Shia, tentunya mengklaim bahwa Usman telah membuang banyak ayat2 yang condong berpihak ke Ali karena alasan2 politisnya.
Nabi sendiri telah melupakan banyak ayat, ingatan para sahabat juga sama2 tidak bisa diandalkan dan para penyalin bisa juga salah menyalin ayat2. Kita juga punya kasus Ayat setan yang jelas menunjukkan bahwa Muhammad sendiri menyembunyikan atau menghapuskan beberapa ayat.
Keaslian banyak ayat juga dipertanyakan bukan hanya oleh scholar barat modern tapi juga oleh para muslim sendiri. Banyak kaum Kharijit yang menjadi pengikut Ali waktu awal islam berdiri menemukan surah yg menceritakan kisah Yusuf yg ganas berikut kisah2 erotisnya yang sekarang tidak ada di Quran. Bahkan sebelum Wansbrough ada sejumlah scholar barat seperti Sacy, Weil, Hirschfeld dan Casanova yang meragukan keaslian surah ini atau surah itu atau ayat ini dan ayat itu. Bisa dibilang sejauh ini argumen mereka belum bisa dibantah. Argumen Wansbrough malah menemukan dukungan diantara scholar generasi muda yang tidak sejalan dengan kolega mereka dari generasi sebelumnya, seperti dijelaskan dalam bab 1-nya “Trahison des Clercs”.
Dilain pihak kebanyakan scholar benar percaya adanya interpolasi (penyisipan/penambahan) dari Quran; interpolasi ini berupa sebagai terjemahan yang ditambah-tambahkan pada kalimat2 yg sulit. Yang lebih serius lagi adalah interpolasi sebuah karakter (politis atau dogmatis) seperti pada ayat 42.40-42, yang kelihatannya ditambahkan hanya utk membenarkan pengangkatan Usman sebagai kalifah dan menafikan Ali. Lalu ada ayat2 lain yang ditambahkan hanya utk menyesuaikan rimanya, atau utk menggabungkan dua ayat pendek yang tidak ada hubungannya sama sekali agar nyambung dan bisa dimengerti.
Bell dan Watt[16] secara cermat meneliti banyak pengubahan dan revisi dan menunjuk pada tidak samanya gaya penulisan Quran sebagai bukti dari banyaknya perubahan2 dalam Quran:
Banyak sekali hal2 yg demikian dan ini diklaim sebagai bukti adanya perubahan yg fundamental. Disamping hal2 yang sudah kita perhatikan – rima2 tersembunyi, dan frase-rima yang tidak menyatu kedalam tekstur dari ayat – terdapat juga perubahan mendadak dari rimanya; pengulangan kata atau frase yg berima sama dalam ayat2 yang berdampingan; bercampurnya subjek yang tak ada hubungannya sama sekali kedalam ayat yang tidak homogen/bertopik sama; perlakuan yg berbeda utk subjek sama dalam ayat2 yang berdekatan, sering dengan pengulangan kata dan frase; pemotongan tata bahasa yang menimbulkan kesulitan untuk penafsiran; perubahan kasar dalam ayat2 yang panjang; perubahan mendadak dalam kisah2 dramatis dengan mengubah kata ganti dari tunggal ke jamak, dari kata ganti orang kedua ke kata ganti orang ketiga, dan seterusnya; disejajarkannya pernyataan yang jelas2 berlawanan; disejajarkannya ayat2 yang ceritanya jelas2 beda jaman, dengan frase yg bertanggal belakangan disimpan diayat bertanggal lebih awal.
Dalam banyak hal sebuah ayat punya sambungan alternatif yang saling mengikuti dalam teksnya. Alternatif kedua ditandai oleh sebuah perhentian arti dan perhentian dalam konstruksi tata bahasanya, hubungannya tidak dengan ayat yang berikutnya tapi dengan yang ada disurah yang jauh dari ayat itu.
Al-Kindi, seorang kristen[17] yg menulis sekitar 830M mengkritik Quran dengan pernyataan yang sama:
“Hasil dari semua ini (proses terbentuknya Quran) adalah paten bagi anda yang membaca kitab suci ini dan melihat bagaimana dalam kitab itu sejarah2 dicampur adukkan dan disemrawutkan; ini sebuah bukti bahwa banyak tangan telah ikut campur dalam pembentukkannya dan menyebabkan ketidak sesuaian, penambahan atau pemotongan apapun yang mereka suka atau tidak suka. Sekarang apakah wahyu yang berasal dari surga bisa demikian?”
Mungkin harus diberi contoh:
- Ayat 15 dari Surah 20 sama sekali bukan disitu tempatnya; rimanya berbeda dari isi ayat lainnya dalam surah tsb.
- Ayat 1-5 dari surah 78 jelas2 hasil penambahan karena baik rima maupun sifatnya berbeda dari ayat2 lainnya; dalam surah yang sama ayat 32, 33 dan 34 telah disisipkan antara ayat 31 dan 35, dg demikian memotong hubungan yang jelas antara ayat 31 dan 35.
- Dalam Surah 74, ayat 31 lagi2 sebuah penyisipan yang jelas karena sama sekali berbeda gaya penuturannya dan panjangnya juga berbeda dari ayat2 lainnya.
- Dalam surah 50, ayat 24-32 dimasukkan kedalam sebuah konteks yang tidak pada tempatnya.
Utk menjelaskan kejanggalan atau keanehan kata/frase, bisa dengan memakai formula pertanyaan “Apa yang diajarkan ayat…. Itu?” (atau “mengajarkan apa ayat …. Ini?”) yg diterapkan pada ayat2 aneh tsb. Jelas bahwa penjelasan terjemahan tambahan ini – ada 12 semuanya – telah ditambahkan belakangan, karena dalam banyak kejadian ‘definisi’nya tidak nyambung dengan arti asli dari kata2 atau frasenya. Bell dan Watt[18] memberi contoh surah 101.9-11, yang harusnya terbaca: “ibunya akan jadi hawiya. Dan mengajarkan kamu apakah ini? api yang sangat panas.” “Hawiya” aslinya berarti “tidak punya anak” karena kematian atau kecelakaan tapi catatan penjelasan ayat ini menyatakannya sebagai “neraka.” Dg demikian banyak penterjemah sekarang menganggap kalimat tersebut sebagai “maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas!” (Lihat juga 90.12-16)
Tentu saja interpolasi apapun, betapapun sepele, menjadi fatal untuk dogma muslim yang menganggap bahwa Quran itu Kalimat Tuhan yang diberikan pada Muhammad di Mekah dan di Medina. Seperti Regis Blachere tulis dalam karya klasiknya Introduction to the Koran, pada titik ini, tidak ada cara yang mungkin utk mempertemukan penemuan2 ahli tata bahasa dan sejarawan barat dengan dogma resmi dari Islam.
Kita juga punya kisah dari Abd Allah b. Sa’d Abi Sarh[19]:
Abd Allah b. Sa’d Abi Sarh adalah penyalin tulisan yang dipekerjakan di Medina utk menuliskan wahyu2 selama beberapa waktu. Dia sering bersama dengan sang Nabi mengubah kata2 dari beberapa ayat. Ketika sang Nabi berkata “Dan Allah maha Kuasa dan bijaksana,” Abd Allah menyarankan utk menuliskan “Maha Tahu dan Maha Bijaksana” dan sang nabi menjawab bahwa dia tidak keberatan dituliskan demikian. Setelah sadar bahwa dia (dan Muhammad) bisa melakukan penggantian ‘ayat Tuhan’ semaunya. Abd Allah meninggalkan Islam dengan alasan bahwa wahyu2 itu, jika benar berasal dari Tuhan, tidak boleh diubah sedikitpun apalagi jika hanya karena diusulkan penulis seperti dirinya. Setelah murtad, dia pergi ke Mekah dan bergabung dengan kaum Quraysh.
Tak perlu dikatakan lagi sang Nabi tak ragu utk memerintahkan pembunuhan Abd Allah ketika Mekah jatuh ketangan dia, tapi Usman meminta ampunan Muhammad bagi Abd Allh dengan susah payah.
cape deh..... ngomong g berdasar fakta, ke laut aja....
ReplyDeleteGeblek, kebiasaan orang kafir nuduh tanpa bukti hanya ocehan orang mabok.
ReplyDeletePaulus berkata :
“Sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita. ” (Filipi 1:18 TB)
“Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?” (Roma 3:7 TB)