yang menjerumuskan Khalifah Usman kedalam
kehancuran total adalah Marwan bin Hakam , Muawiyah, Abdullah bin Amru, dan
Sa’d bin As yang merupakan para pembantu Usman. Mereka benar-benar mencari
keuntungan dari keberadaan Usman dan juga kematiannya
by: syiahali
by: syiahali
Marwan bin al-Hakam
Tahukah anda siapakah Marwan ? dialah yang menyuruh Yazid untuk membunuh Imam Husain
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? dialah yang membantu Mu’awiyah untuk membantai para pengikut Imam Ali (ahlulbait)
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? dialah yang tertawa mencemooh ketika datang berita syahidnya Imam Husain.
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? Marwan bin Hakam yang berada di barisan pasukan Thalhah melihat Thalhah tengah mundur (ketika pasukannya dikalahkan di medan perang JAMAL), ia melepaskan panah kepadanya hingga tewas
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? yang menjerumuskan Khalifah Usman kedalam kehancuran total adalah Marwan bin Hakam , Muawiyah, Abdullah bin Amru, dan Sa’d bin As yang merupakan para pembantu Usman. Mereka benar-benar mencari keuntungan dari keberadaan Usman dan juga kematiannya
.
Inikah sahabat Nabi SAW yang menjadi pedoman sunni ?????????
.
Marwan bin al-Hakam bergelar Marwan I (623 – 685) ialah Khalifah Bani Umayyah yang mengambil alih tampuk kekuasaan setelah Muawiyah II menyerahkan jabatannya pada 684. Naiknya Marwan menunjukkan pada perubahan silsilah Bani Umayyah dari keturunan Abu Sufyan ke Hakam, mereka ialah cucu Umayyah (darinya nama Bani Umayyah diambil). Hakam ialah saudara sepupu Utsman bin Affan
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? dialah yang menyuruh Yazid untuk membunuh Imam Husain
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? dialah yang membantu Mu’awiyah untuk membantai para pengikut Imam Ali (ahlulbait)
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? dialah yang tertawa mencemooh ketika datang berita syahidnya Imam Husain.
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? Marwan bin Hakam yang berada di barisan pasukan Thalhah melihat Thalhah tengah mundur (ketika pasukannya dikalahkan di medan perang JAMAL), ia melepaskan panah kepadanya hingga tewas
.
Tahukah anda siapakah Marwan ? yang menjerumuskan Khalifah Usman kedalam kehancuran total adalah Marwan bin Hakam , Muawiyah, Abdullah bin Amru, dan Sa’d bin As yang merupakan para pembantu Usman. Mereka benar-benar mencari keuntungan dari keberadaan Usman dan juga kematiannya
.
Inikah sahabat Nabi SAW yang menjadi pedoman sunni ?????????
.
Marwan bin al-Hakam bergelar Marwan I (623 – 685) ialah Khalifah Bani Umayyah yang mengambil alih tampuk kekuasaan setelah Muawiyah II menyerahkan jabatannya pada 684. Naiknya Marwan menunjukkan pada perubahan silsilah Bani Umayyah dari keturunan Abu Sufyan ke Hakam, mereka ialah cucu Umayyah (darinya nama Bani Umayyah diambil). Hakam ialah saudara sepupu Utsman bin Affan
.
Selama masa pemerintahan Utsman, Marwan mengambil keuntungan
dari hubungannya pada khalifah dan diangkat sebagai Gubernur Madinah.
Bagaimanapun, ia diberhentikan dari posisi ini oleh Ali, hanya diangkat kembali
oleh Muawiyah I. Akhirnya Marwan dipindahkan dari kota ini saat Abdullah bin
Zubair memberontak terhadap Yazid I. Dari sini, Marwan pergi ke Damsaskus, di
mana ia menjadi khalifah setelah Muawiyah II turun tahta
.
Masa pemerintahan singkat Marwan diwarnai perang saudara di
antara keluarga Umayyah, seperti perang terhadap Ibnu Zubair yang melanjutkan
pemerintahan atas Hejaz, Irak, Mesir dan sebagian Suriah. Marwan sanggup
memenangkan perang saudara Bani Umayyah, yang berakibat naiknya keturunan
Marwan sebagai jalur penguasa baru dari Khalifah Umayyah. Ia juga sanggup
merebut kembali Mesir dan Suriah dari Ibnu Zubair, namun tak sanggup sepenuhnya
mengalahkannya
.
Marwan bin al-Hakam digantikan sebagai khalifah oleh anaknya
Abdul Malik bin Marwan.
Utsman bin Affan menjadi
khalifah pada usia 74, sekali lagi muncul pertanyaan mengapa dia lebih disukai
ketimbang sahabat-sahabat lainnya yang lebih muda dan lebih mampu? Apakah ini
merupakan siasat Umar bin Khathab untuk memberikan kekuasaan mutlak kepada klan
Bani Umayyah?
.
Strategi ini memuluskan berdirinya kekuasaan Utsman yang
notabene adalah Bani Umayyah.
.
Utsman juga mengangkat Marwan bin Hakam dengan sepenuh keyakinan, yang oleh Baladzuri dikatakan: “…dia (Hakam) memeluk Islam setelah penaklukan kota Makkah, namun dia tetap terus menghina Nabi, yang mengakibatkan Hakam dan anaknya (Marwan) diusir dari kota Madinah. Pengasingan ini tetap dilaksanakan Abu Bakar dan Umar. Namun ketika Utsman berkuasa, dia mengabaikan hukum yang telah ditetapkan Nabi Saw, dia justru memanggil balik Marwan dan Hakam ke Madinah, bahkan menjadikan Marwan sebagai Asistennya dan Kepala Hakim Pengadilan”.
Utsman juga mengangkat Marwan bin Hakam dengan sepenuh keyakinan, yang oleh Baladzuri dikatakan: “…dia (Hakam) memeluk Islam setelah penaklukan kota Makkah, namun dia tetap terus menghina Nabi, yang mengakibatkan Hakam dan anaknya (Marwan) diusir dari kota Madinah. Pengasingan ini tetap dilaksanakan Abu Bakar dan Umar. Namun ketika Utsman berkuasa, dia mengabaikan hukum yang telah ditetapkan Nabi Saw, dia justru memanggil balik Marwan dan Hakam ke Madinah, bahkan menjadikan Marwan sebagai Asistennya dan Kepala Hakim Pengadilan”.
[Al-Baladzuri, Ansab al-Ashaf, Jil. 5, hlm. 17]
.
Bahkan seorang sarjana ternama Muslim Sunni, Al-Syahid Sayyid
Quthb, tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya atas fakta sejarah ini. Sayyid
Quthub menulis, “Adalah celaka sekali bahwa kekuasaan kekhalifahan diberikan
kepada Utsman yang pada saat itu telah tua renta, lemah semangat juangnya untuk
menegakkan Islam, tak berdaya menentang tipu daya pembantunya, Marwan bin Hakam
serta pendukungnya, kaum keluarga Ummayyah.” [Sayyid Quthb, Keadilan Sosial
Dalam Islam, hlm. 270, Penerbit Pustaka Bandung, Cet. I, 1984.]
.
“…tetapi sejarah juga sulit untuk memaafkan kesalahannya (Utsman
bin Affan) akibat usianya yang telah sangat tua dan fisiknya yang sudah lemah,
terombang-ambing dalam pengaruh buruk Bani Umayyah.” [Ibid, hlm. 272.]
.
Ketika para shahabat yang shalih masih hidup mengapa
kedudukkan-kedudukkan penting justru diberikan kepada orang-orang berperilaku
buruk seperti itu? Jawaban obyektifnya adalah agar sang khalifah dengan mudah
mempunyai kesempatan untuk memberikan kekuasaan yang langgeng bagi Bani
Umayyah. Inilah suatu kaum yang di dalam sejarahnya berambisi untuk memadamkan
Cahaya Islam, yang mendapatkan kesempatan secara mulus dari para
khalifah-khlaifah sebelumnya untuk berkuasa dan menghancurkan Islam dari dalam.
.
Dan saat itu pula musuh bebuyutan mereka, Bani Hasyim tidak lagi
memiliki kekuatan yang berarti setelah pertahanan ekonomi mereka (Fadak)
dirampas, dan posisi-posisi penting mereka dan para pendukung mereka berhasil
digusur. Kemutlakan pilih kasih telah diberikan kepada Bani Umayyah dan
menghapus segala kemungkinan Bani Hasyim dapat meraih kekhalifahan.
.
Utsman telah memberikan khumus (20%) dari rampasan perang dari
expedisi pertama ke Afrika kepada saudara lelakinya, Abdullah ibn Abu Sarh.
Marwan bin Hakam memperoleh khumus (20%) dari expedisi ke 2 Afrika. Dan
akhirnya khalifah memberikan kepadanya keseluruhannya (100%). [Tarikh Ibn al
Athir Volume 3 page 49 publishers, Dar ul Kitan al Lubnani, 1973.]
.
* Tanah Fadak yang merupakan milik Rasulullah Saw, yang disita
Abu Bakar dari tangan Sayyidah Fathimah, akhirnya diberikan Utsman kepada
Marwan.
[Ibn Qutayba, Al Ma'arif, p. 190 edited by Tharwat 'Ukasha,
Cairo edition 1960.]
.
* Utsman juga memberikan sepupunya, Harits hadiah yaitu,
unta-unta yang telah dikumpulkan sebagai zakat dan pajak, lalu membawa
unta-unta itu ke Madinah. [Ansab al-Ashraf, Baladhuri, Vol 5 p 28, edited by
S.D.F. Goitein Jerusalem 1936.]
.
* Apakah hal ini tidak mengundang keingintahuan, bahwa Abu Bakar
telah menetapkan Fadak menjadi milik negara, lalu ‘diberikan’ kepada Marwan?
Utsman telah memberikan Zakat dari Qud’ah yang berjumlah 300.000 dirham. [Thaha
Hussayn, Al-Fitnah al-Kubra, Vol. 1, p. 193, Dar al- Ma’arif, Egypt, 1953] dan
Abdul Rahman bin Auf 3 juta dirham. [Thaha Hussayn, Al-Fitnah al-Kubra, Vol. 3,
p. 126, Dar al-Ma'arif, Egypt 1953]
.
Mungkin menurut Umar bin Khaththab hal ini dipandang sebagai
alternatif, setelah menyadari ketamakan Bani Umayyah, dengan dalih agar tidak
terjadi perang saudara (antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim) dan menjaga
persatuan umat Islam secara keseluruhan.
Tidak bisa dibantah, mengapa Umar bin Khaththab tidak
menganugerahkan kekhilafahan kepada putranya, Abdullah bin Umar? Ternyata Umar
mempunya visi yang terlalu jauh untuk ini.
.
Dia menyadari jika dia memberikan kekhalifahan kepada putranya,
Abdullah bin Umar, dia akan mendapatkan ancaman kekuasaan dari Bani Umayyah,
sehingga dengan terpaksa dia memberikannya kepada Banu Umayyah, yang dia
ketahui sangat haus kekuasaan. Pada kenyataannya, dia telah membuat putranya
sendiri, Abdullah bin Umar mesti memutuskan pemilihan suara dalam Dewan Syura
yang sudah disiapkan Umar bin Khaththab sedemikian rupa agar Utsman bin Affan
unggul dalam pemilihan tersebut.
.
Dengan cara ini, putra Umar, Abdullah bin Umar menjadi sekutu
dekat dengan Bani Umayyah dan menjadi seorang musuh yang pahit bagi putra-putra
Imam Ali, khususnya Imam Husain (as)
.
dukung.JPG
Usman memberi keutamaan kepada anggota sukunya atau menunjuk
keluarga nya untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Utsman, Ia
hidup dalam kemewahan. la menunjuk anggota dari sukunya (Umayah) untuk
menduduki posisi yang penting dan kuat dalam pemerintahan, dengan memberi
keutamaan kepada mereka daripada umat Islam lainnya, tanpa melihat kepentingan
mereka. Padahal, keluarganya ini tidak beriman, juga royal dan sangat
berlebihan.
Bani Umayah seperti Muawiyah dan Marwan yang benar-benar mencari
keuntungan dari keberadaan Utsman dan juga kematiannya. Kisah Ibnu Saba dalam
hal ini berfungsi sebagai topeng bagi wajah-wajah yang haus kekuasaan, yang
juga merupakan cara lain untuk menyerang Ali bin Abi Thalib dan
pengikut-pengikut setianya.
Khalifah Utsman mengangkat saudara angkatnya, Abdullah bin Sa’d,
sebagai gubernur Mesir. Pada saat itu, Mesir merupakan propinsi terbesar di
negara Islam. Ibnu Sa’d telah masuk Islam dan pindah dari Mekkah ke Madinah.
Ketika Mekkah ditaklukkan, Nabi Muhammad SAW menyuruh kaum Muslimin untuk
membunuh Ibnu Sa’d. Ia harus dibunuh meskipun ia menalikan kain Kabah ke tubuhnya.
Ibnu Sa’d bersembunyi di rumah Utsman
Khalifah Usman bin Affan membawa pamannya, Hakam bin Abi As
(putra Umayah, putra Abdussyams), ke Madinah setelah Nabi Muhammad
mengasingkannya dari Madinah
Diriwayatkan bahwa Hakam sering bersembunyi dan mendengarkan
percakapan Nabi Muhammad ketika ia berbicara secara rahasia kepada
sahabat-sahabat utamanya, lalu menyebarkan apa yang ia dengar. Ia sering
mengikuti dan memperolok-olok cara berjalan Nabi. Suatu waktu Nabi melihatnya
ketika ia sedang meniru-niru jalannya dan berkata, “Selamanya ia akan seperti
itu.” Segera Hakam menjadi seperti itu hingga ia meninggal. Diriwayatkan juga
bahwa, suatu hari, ketika sedang duduk bersama beberapa sahabatnya, Nabi
Muhammad berkata, “Seorang lelaki yang telah dikutuk akan memasuki ruangan
ini.” Tak lama setelah itu masuklah Hakam.
Setelah membawanya ke Madinah, Utsman memberi pamannya uang
sebanyak 300 ribu dirham.
la menjadikan Marwan bin Hakam, sebagai pembantu utamanya, dan
penasehat tertinggi nya, dengan memberi kekuasaan yang sama dengan dirinya.
Marwan menerima seperlima pendapatan dari Afrika Utara sebesar 500 ribu dinar.
Tetapi ia tidak menyerah kan uang ini. Khalifah mengizinkannya untuk menyimpan
uang ini. Jumlahnya sama dengan 10 juta dollar.
Ali bin Abi Thalib sering memperingatkan Utsman mengenai
berbahayanya Marwan, tetapi hal itu sia-sia saja. Percakapan berikut antara Ali
bin Abi Thalib dan Utsman membuktikan kenyataan ini. Kejadian ini terjadi
ketika Utsman diserang, lalu ia meminta bantuan Ali bin Abi Thalib.
Orang-orang menyampaikan hal ini kepada Ali. Kemudian Ali
mendatangi Utsman dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah membuat puas Marwan
(sekali lagi), tetapi ia hanya akan puas jika engkau menyimpang dari agamamu
dan akalmu, seperti seekor unta membawa tandu yang dituntun semaunya. Demi
Allah, Marwan tidak mengetahui apapun tentang agama dan jiwanya. Aku bersumpah
demi Allah, menurutku, ia akan membawamu masuk dan tidak akan mengeluarkanmu
kembali. Setelah pertemuan ini, aku tidak akan datang untuk mencacimu lagi.
Engkau telah menghancurkan kehormatanmu sendiri dan merampas kekuasaanmu.”
Ketika Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib berkata, “Demi Allah!
Aku telah berusaha membelanya (Utsman) hingga aku dipenuhi rasa malu. Tetapi
Marwan, Muawiyah, Abdullah bin Amru, dan Sa’d bin As telah melakukan sesuatu
sebagaimana yang engkau saksikan. Ketika aku memberi nasehat yang
sungguh-sungguh dan menganjurkan ia untuk mengusir mereka, ia menjadi curiga,
sehingga terjadilah apa yang terjadi saat ini.”
Marwan beserta keturunannya merupakan dasar dari beberapa
tuduhan korupsi dan nepotisme yang paling serius yang dilakukan Utsman. Marwan,
tentu saja, merampas kekhalifahan dan menaiki tahta pada tahun 64/684 dan
merupakan nenek moyang raja-raja Umayah selanjutnya di Damaskus juga pemimpin
Cordova hingga setelah tahun 756.
c. Memberikan jabatan publik kepada keluarga; khalifah Utsman
mengangkat Walid bin Aqabah (salah satu keluarga Umayah) sebagai gubernur
Kufah, tingkah laku Walid ketika Nabi masih hidup buruk. Quran merendahkannya
dan menyebutnya sebagai orang yang menyimpang. Contohnya Nabi Muhammad SAW
mengirim dia kepada Bani Mustalaq untuk mengumpulkan zakat mereka.walid melihat
dari jauh Bani Mustalaq ini mendekat ke arahnya dengan mengendarai kuda, Ia
menjadi takut karena ketegangan antara dia dan kaum ini sebelumnya. Ia kembali
kepada Nabi Muhammad SAW dan memberitahu bahwa mereka ingin membunuhnya. Hal.
ini tidak benar. Tetapi keterangan Walid ini membuat murka kaum Muslimin
Madinah dan mereka ingin menyerang Bani Mustalaq
Pada saat itu turunlah ayat berikut, Hai orang-orang yang
beriman, jika seorang yang menyimpang datang kepadamu membawa berita,
buktikanlah kebenaran berita itu! Jika tidak engkau akan menghancurkan suatu
umat tanpa kalian sengaja, kemudian kalian akan menyesal dengan perbuatan
kalian yang tergesa-gesa itu
Walid masih terus menjalankan praktik hidup jahiliyahnya selama
hidupnya. la selalu meminum arak dan banyak saksi menyatakan kepada khalifah
bahwa mereka menyaksikan Walid sedang mabuk ketika memimpin shalat berjamaah.
Usman malah menggantikan Jabatan Walid dengan Said bin As,
anggota keluarga Umayah yang lain.
d. Umar adalah orang yang menempatkan Muawiyah di
pemerintahannya selama ia berkuasa dan USMAN hanya melakukan hal yang sama.”
Tabari menukilkan bahawa ‘Uthman menulis surat kepada Muawiyah
dan berkata: Sesungguh nya warga Madinah telah kafir, menderhaka dan memutuskan
bai’at mereka (Tarikh Tabari jilid 3 halaman 402)
.
Utsman bin Affan tidak seperti pendahulunya yang cerdik dalam
politik dan mampu mengatur pemerintahnya lebih baik. Setelah Abdurrahman bin
Auf menyerahkan suaranya kepada Utsman dan ia terpilih sebagai khalifah, Utsman
diarak menuju masjid Rasulullah saw. untuk mengumumkan kebijakan politiknya
demi memperbaiki kondisi yang ada. Utsman naik ke atas mimbar dan duduk di atas
tempat yang biasa diduduki Nabi semasa hidupnya, padahal Abu Bakar dan Umar bin
Khatthab tidak berani melakukannya ketika mereka menjabat sebagai khalifah.
Mereka berdua hanya berani duduk di undakan yang menuju tempat duduk Nabi. Di
atas tempat duduk Nabi itulah Utsman berpidato. Sebagian sahabat berkata: “Hari
ini kepongahan telah lahir”.[31]
Utsman bin Affan bukan seorang yang pandai pidato. Ia tidak
mampu berkata banyak di atas mimbar Nabi. Ia berkata: “Amma Ba’du
(selanjutnya), sesungguhnya pertama kali mengendarai sesuatu adalah saat yang
sangat sulit. Di sisi lain, aku bukanlah seorang orator. Allah Maha Mengetahui.
Sesungguhnya masalah yang berada di antara seseorang dan Adam adalah seorang
ayah yang telah meninggal dan perlu dinasehati”.[32]
Al-Ya’qubi menulis: “Utsman bin Affan berdiri dan untuk
sementara waktu ia tidak berkata apapun. Kemudian ia membuka mulutnya dan
berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar bin Khatthab telah menyiapkan posisi
ini sebelumnya. Kalian lebih membutuhkan seorang khalifah yang adil daripada
seorang khalifah yang hanya bisa berpidato. Bila kalian masih hidup, ucapan dan
pidatoku akan mendatangi kalian. Kemudian Utsman turun dari mimbar”.[33]
Utsman bin Affan mulai menjalankan pemerintahannya dan melakukan
kebijakan-kebijakan yang membuat mayoritas kaum muslimin marah dan membencinya
kecuali keluarganya, yaitu Bani Umayyah. Ia secara transparan menunjukkan sikap
fanatisme kesukuannya dan kecondongannya kepada keluarga, sekaligus mengumumkan
bahwa ia adalah bagian dari keluarga besar Umayyah. Ia mulai mengangkat dan
menokohkan anggota keluarga Umayyah di atas masyarakat yang lain. Posisi
penting mulai diisi oleh Bani Umayyah tanpa mampu ditolak oleh kaum muslimin.
Utsman bin Affan telah melampaui batas dalam kebijakan rasisnya;
melebihi apa yang telah ditanamkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khatthab.
Quraisy tidak lagi memegang kendali pemerintahan, namun dibatasi oleh Utsman
pada Bani Umayyah saja.
Utsman bin Affan tidak lagi peduli pada nasihat dan
peringatan-peringatan para sahabat dan di atas mereka semua Ali bin Abi Thalib.
Benar, Utsman telah menguasai kekuasaan, namun ia lupa berkaca kepada
pendahulunya dalam menjalankan pemerintahan di atas metode yang sah dan
berdasarkan pemerintahan Islam. Elemen-elemen penting dan baik semakin lemah
untuk dapat mengubah kebijakan pemerintah secara langsung. Kebijakan Abu Bakar
dan Umar bin Khatthab pada masa pemerintahan mereka cukup berhasil menjauhkan Ali
bin Abi Thalib dari kekuasaan dan kepercayaan rakyat pada pandangan dan
tuntunannya. Akibatnya, penyelewengan dan penyimpangan dari pemerintahan islami
dan munculnya arus kebencian dan permusuhan terhadap Ahlul Bait semakin kuat.
Kondisi ini sangat menyulitkan usaha Ali agar khalifah baru mau mendengarkan
nasihat. Kondisi dipersulit dengan arus kaum munafik dan Quraisy yang memeluk
Islam secara terpaksa ketika pembebasan kota Mekkah serta orang-orang yang
punya kepentingan yang berada di sekelilingnya.
Sikap Abu Sufyan setelah pembaiatan Utsman bin Affan
Sikap Abu Sufyan setelah pembaiatan Utsman bin Affan
Setelah selesai pembaiatan Utsman bin Affan, Abu Sufyan berjalan
mendekati rumah Utsman bin Affan, dan secara berdesak-desakan dengan keluarga
dan teman-teman Utsman ia maju dan menyampaikan awal kemenangan menguasai
kekuasaan. Tampak wajahnya berbinar-binar menerima kemenangan ini dengan
terpilihnya Utsman sebagai khalifah kaum muslimin. Mulutnya terbuka lebar untuk
menandakan kebenciannya. Tampak kegeramannya mengingat Islam telah menghina
tokoh-tokoh Bani Umayah. Ia kemudian memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan
kemudian berkata kepada segenap yang hadir di rumah Utsman bin Affan: “Apakah
ada orang lain selain keluarga dan teman-teman Bani Umayyah?” Mereka serentak
menjawab: “Tidak”. Abu Sufyan melanjutkan: “Wahai Bani Umayyah! Dengan cepat
kalian telah meraih dan menguasai kekuasaan seperti menangkap bola. Demi Zat
yang Abu Sufyan bersumpah atasnya! Tidak ada yang namanya surga dan neraka.
Tidak pula ada perhitungan di Hari Kiamat, dan tidak ada juga yang namanya
pembalasan. Sejak dahulu aku selalu mengharap kekuasaan ini untuk kalian.
Jadikan ini sebagai warisan untuk anak cucu kalian”.[34]
kemudian ia berjalan menuju kuburan pemimpin para syahid, Hamzah
bin Abdul Mutthalib. Ia berhenti di samping kuburan sambil menendang kuburan
Hamzah dengan kakinya dan berkata: “Wahai Abu ‘Imarah! Apa yang selama ini
engkau perjuangkan dengan pedangmu sekarang telah berada di tangan anak
keturunan kami. Mereka menjadikannya sebagai barang mainan”.[35]
Dampak Negatif Kebijakan Pemerintahan Utsman bin Affan
Dampak Negatif Kebijakan Pemerintahan Utsman bin Affan
Selama hidup dengan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab, Ali bin Abi
Thalib a.s. tidak pernah menunjukkan ketidaksetujuannya secara terbuka.
Demikian ini tidak lain karena penyimpangan yang terjadi juga tidak secara terang-terangan.
Bahkan dalam banyak kesempatan, Ali terlibat dalam usaha memperbaiki sikap dan
posisi khalifah bila terjadi kesalahan dan itu diterima oleh keduanya. Abu
Bakar dan Umar bin Khatthab tidak khawatir karena Ali memainkan peranannya
hanya sebatas tokoh agama di hadapan umatnya dan sebagai pemilik yang sah
kekhalifahan dan pemimpin oposisi bersama sebagian sahabat besar lainnya. Ali
siap untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintah dan memberikan ketenangan
kepada masyarakat, sekalipun ia tidak akan mundur dari prinsip yang diwarisinya
dari Rasulullah saw. sebagai penjaga dan pelindung akidah Islam.
Sikap yang diambil oleh Ali bin Abi Thalib berbeda ketika Utsman
bin Affan mengambil alih pemerintahan sebagai khalifah baru. Pada pemerintahan
Utsman, perilaku korup telah menyebar luas dan secara perlahan-lahan korupsi
itu masuk dalam struktur pemerintahan secara terang-terangan. Kerusakan moral
ini akhirnya menjalar dan merasuki masyarakat Islam. Di sini, Ali bin Abi
Thalib kemudian mengambil sikap dan secara terang-terangan menentang
kepemimpinan Utsman bin Affan. Banyak sahabat besar yang mendukung sikap Ali
seperti: Ammar bin Yasir, Abu Dzar dan lain-lain, bahkan dukungan juga mengalir
dari mereka yang sebelumnya mengingkari hak Ali sebagai khalifah sepeninggal
Rasulullah saw. Mereka tidak setuju dengan kebijakan Utsman dalam pengelolaan
negara dan kerusakan moral pemerintahannya. Di sini dapat dilihat secara global
pemerintahan Utsman dan dampak buruknya:
Utsman bin Affan menerima tampuk pimpinan ketika ia telah
berumur tujuh puluh tahun; batasan umur di mana seseorang sangat mencintai
keluarga dan mau berkorban untuk mereka. Diriwayatkan ucapannya: “Seandainya
aku memiliki kunci-kunci pintu surga, niscaya aku akan memberikannya kepada
Bani Umayyah sehingga mereka semua memasukinya”.
Begitu juga sebelum Islam, Utsman bin Affan hidup dalam kondisi
yang serba ada dan kondisi itu berlangsung setelah memeluk Islam. Oleh
karenanya, ia tidak dapat merasakan betapa sulitnya orang-orang fakir miskin
menjalani kehidupan mereka. Kepribadiannya betul-betul teruji ketika harus
bersikap dengan sekelompok besar orang-orang miskin yang meminta keadilan dan
persamaan hak darinya. Ia memperlakukan mereka dengan keras dan kasar
sebagaimana perlakuannya kepada Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yasir, Abu Dzar
dan lain-lainnya.
Dari sisi keluarga, Utsman bin Affan sangat dekat dan bahkan
menempatkan mereka pada posisi-posisi penting. Ia mengangkat Al-Walid bin
‘Uqbah bin Abi Mu’ith sebagai gubernur Kufah, padahal Al-Walid termasuk orang
yang diberitakan oleh Rasulullah sebagai penghuni neraka. Utsman juga
mengangkat Abdullah bin Abi Sarh sebagai gubernur Mesir, Muawiyah bin Abi
Sufyan sebagai gubernur Syam dan Abdullah bin ‘Amir sebagai gubernur Bashrah.
Ia juga telah mencopot Al-Walid bin ‘Uqbah dari jabatannya sebagai gubernur
Kufah dan menggantikannya dengan Said bin Al-’Ash.[36]
Utsman bin Affan adalah orang yang lemah, terutama bila
berhadapan dengan Marwan bin Al-Hakam. Ia senantiasa mendengar ucapan dan
menuruti keinginan Marwan. Hal itu terus berlangsung bahkan ketika terjadi
konspirasi untuk menggulingkannya dan kondisi yang betul-betul gawat. Ketika
keadaan telah kritis, Ali bin Abi Thalib melibatkan diri untuk meredakan
ketegangan sampai berhasil memulangkan orang-orang yang melakukan demonstrasi
menuntut perubahan dan perbaikan kebijakan pemerintahan sekaitan dengan kolusi
dan korupsi yang telah menggerogoti pemerintah, bahkan permintaan untuk
menggantikan sebagian gubernur di beberapa daerah. Ali berhasil mendapatkan
janji Utsman untuk tidak lagi mendengar dan mengikuti ucapan Marwan bin
Al-Hakam dan Said bin Al-’Ash.
Sayangnya, tatkala situasi mereda dan normal, Marwan dan Said
kembali mendekati Utsman bin Affan dan memaksanya keluar dari rumah disertai
pengawal pribadi. Melihat hal itu, Ali bin Abi Thalib a.s. menemui Utsman
dengan penuh kemarahan sambil berkata: “Kau setuju dengan perkataan Marwan,
namun ia tidak pernah puas padamu. Yang diinginkan darimu adalah agar engkau
menyimpang dari agama dan akalmu seperti unta yang dicocok hidungnya ikut ke
mana saja pemiliknya pergi. Demi Allah! Marwan bukan orang yang agama dan
jiwanya baik”.[37]
Pada kesempatan lain, Utsman bin Affan sangat marah kepada para
saksi yang menyaksikan Al-Walid bin ‘Uqbah yang dituduh meminum khamar sehingga
Utsman mengusir mereka. Mengetahui kejadian tersebut, Ali bin Abi Thalib
memperingatkan Utsman akan akibat yang bakal terjadi dari perbuatannya ini. Ali
memerintahkan Utsman untuk menghadirkan Al-Walid agar diadili dan dihukum bila
terbukti tuduhan tersebut. Ketika Al-Walid dihadirkan dihadirkan dalam sidang
dan terbukti melakukan demikian atas kesaksian para saksi, Ali sendiri yang
melaksanakan hukumannya yang membuat Utsman semakin marah. Ia berkata kepada
Ali: “Engkau tidak punya hak untuk melaksanakan hukum tersebut atas Al-Walid”.
Ali menjawab dengan logika yang kuat dan berlandaskan syariat Islam: “Bahkan
yang lebih buruk dari ini adalah bila seseorang yang berbuat kefasikan dan
mencegah hak-hak Allah berlaku kepada orang yang berbuat fasik”.[38]
Kebijakan Utsman bin Affan di bidang keuangan adalah kepanjangan
dari kebijakan yang diberlakukan sebelumnya oleh Umar bin Khatthab, yaitu
kebijakan yang menciptakan sistem kasta. Umar membagikan kekayaan negara secara
tidak adil kepada sebagian kelompok dan tidak kepada sebagian lainnya.
Ketimpangan itu yang kemudian dilanjutkan dengan bentuk yang lebih ekstrim di
zaman Utsman bin Affan. Ia memberikan perhatian khusus kepada Bani Umayyah.
Suatu waktu, penjaga khazanah Baitul Mal mengajukan keberatannya
kepada Utsman mengenai kebijakan keuangannya. Mendengar itu, Utsman menjawab:
“Engkau adalah penjaga Baitu Mal kami. Bila kami memberikan sesuatu kepadamu
maka ambillah, dan bila kami diam maka engkau juga harus diam”. Penjaga Baitul
Mal kemudian menjawab: “Demi Allah! Aku bukan penjaga Baitul Mal khalifah dan
keluarganya melainkan penjaga harta kaum muslimin”.
Pada hari Jumat, ketika Utsman berkhotbah, penjaga Baitul Mal
itu berkata: “Wahai kaum muslimin, Utsman bin Affan menganggap bahwa aku adalah
penjaga Baitul Malnya dan keluarganya. Aku ingin mengatakan di sini bahwa aku
adalah penjaga Baitul Mal kaum muslimin. Ini adalah kunci-kunci Baitul Mal
milik kalian”. Ia kemudian melemparkan kunci-kunci tersebut ke hadapan
Utsman.[39]
Sikap Ali terhadap Utsman bin Affan
Sikap Ali terhadap Utsman bin Affan
Kaum muslimin semakin membenci Utsman bin Affan karena
perilakunya. Sahabat-sahabat terbaik Rasulullah saw. semakin bersatu terhadap
penyimpangan khalifah dan pejabat yang berada di bawahnya. Di seberang sana,
Utsman bin Affan mengerti dan mulai menyiksa para penentang kebijakannya yang
menyimpang. Penyiksaan yang dilakukan sudah tidak lagi memandang para sahabat
Rasulullah saw. Dari situ, ia menyiksa Abu Dzar; salah satu sahabat terbaik
Rasulullah saw, karena seringnya melakukan protes terhadap kebijakan Utsman
yang buruk. Utsman membuangnya ke Syam. Muawiyah sebagai gubernur Syam juga
tidak mampu menahan protes Abu Dzar sehingga ia mengirimkan Abu Dzar kembali ke
Madinah.
Di kota Madinah, Abu Dzar kembali melakukan perjuangan dengan memprotes
kebijakan buruk Bani Umayyah. Utsman semakin terpojok dengan aksi-aksi yang
dilakukan oleh Abu Dzar. Akhirnya, ia mengambil keputusan untuk mengasingkan
Abu Dzar ke daerah bernama Rabadzah (sebuah tempat di Lebanon sekarang ini) dan
melarang siapa pun untuk mengucapkan selamat jalan kepadanya.
Tanpa kekhawatiran sedikitpun, Ali bin Abi Thalib mengantarkan
Abu Dzar untuk mengucapkan selamat tinggal. Ali ditemani kedua anaknya Hasan
dan Husein, Aqil, dan Abdullah bin Ja’far. Marwan bin Al-Hakam gusar terhadap
perlakuan baik Ali tersebut. Ia melakukan protes kepada Utsman bin Affan agar
menahan mereka untuk tidak memberi ucapan selamat dan mengantarkan Abu Dzar.
Ali bangkit dan menyerang Marwan. Ia berhasil memotong kedua telinga binatang
tunggangan Marwan. Setelah itu, Ali berteriak kepadanya: “Coba halangi! Semoga
Allah mengirimmu ke Neraka”.[40]
Ali bin Abi Thalib tetap bersikeras untuk mengucapkan perpisahan
dan mengantarkan Abu Dzar sambil berkata kepadanya: “Wahai Abu Dzar!
Sesungguhnya engkau bila marah karena Allah, aku berharap kemarahanmu ditujukan
kepada mereka. Orang-orang takut kepadamu karena urusan dunia dan harta mereka,
sementara engkau takut kepada mereka karena masalah agama mereka. Tinggalkanlah
apa yang mereka takutkan atasmu buat mereka (harta dan dunia). Pergilah engkau
bersama ketakutanmu atas mereka (agama). Mereka lebih butuh kepada apa yang
engkau larang (cinta dunia). Apa yang mereka larang kepadamu lebih berharga
(agama). Engkau akan tahu siapa yang lebih beruntung di Hari Kiamat dan siapa
yang lebih dengki!”[41]
Sekembalinya dari mengantar Abu Dzar untuk mengucapkan salam
perpisahan, orang-orang menyambut Ali bin Abi Thalib sambil berkata: “Utsman
bin Affan sangat marah denganmu”. Ali menjawab: “Biarkan kuda marah karena
kekangannya”.
Dampak Negatif Pemerintahan Utsman terhadap Umat Islam
Dampak Negatif Pemerintahan Utsman terhadap Umat Islam
Pemerintahan Utsman bin Affan merupakan kelangsungan dari garis
politik pemerintah yang melalaikan kandungan risalah Islam, baik secara praktis
maupun teoritis. Kondisi ini meninggalkan efek-efek negatif dalam perjalanan
pemerintahan Islam dan umat sebagai kesatuan. Hal itu ditambah dengan kerusakan
dan tuduhan keji terhadap transparansi pemerintahan Islam di hadapan umat Islam
yang tidak pernah hidup di bawah seorang pemimpin yang maksum (Nabi Muhammad
saw) kecuali selama satu dekade. Pada sepuluh tahun itulah umat melihat
pemimpinnya sekaligus penguasa dan pendidik. Sementara, api fitnah semakin
berkobar luas di pinggiran negara Islam yang akan membawa malapetaka kepada
umat Islam. Dengan memeriksa data-data sejarah, dapat ditemukan beberapa
kesimpulan di bawah ini:
1. Kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan tidak sesuai dengan
syariat Islam. Hukum-hukum tidak dijalankan secara baik, kebusukan dan
kebobrokan semakin meluas sehingga para pejabat pemerintahan tidak mampu
memperbaiki kondisi yang telah buruk itu. Ini semua menjadikan keonaran dalam
kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya memunculkan semangat untuk tidak
lagi taat kepada hukum. Dampak buruk dari munculnya kebusukan ini adalah kecerobohan
dan acuh terhadap nilai-nilai moral dan hukum-hukum Islam. Di rumah-rumah
gubernur dan pejabat-pejabat tinggi, dapat ditemukan dengan mudah pesta pora
yang diisi dengan acara musik dan nyanyian yang di sela-sela itu minuman keras
dihidangkan.[42]
2. Pemerintah Utsman bin Affan memfokuskan kebijakannya atas
dasar semangat kesukuan yang sejak awal telah ditanamkan oleh Abu Bakar dalam
kebijakan politiknya. Kekuasaan yang didasari oleh kesukuan semakin transparan
dalam kekuasaan Bani Umayyah. Mereka bagaikan sebuah keluarga besar menguasai
semua jabatan-jabatan penting, karena mereka menganggap bahwa mereka adalah
penguasa besar yang menguntung Islam dan sekarang kekuasaan ini kembali kepada
pemiliknya. Di sini sudah tidak ada lagi prinsip-prinsip syariat Islam. Bani
Umayyah muncul sebagai haluan politik yang kuat; haluan yang memusuhi Islam dan
khususnya Ahlul Bait Nabi. Mereka telah menjelma menjadi penghalang terbesar
yang dapat menahan Ali bin Abi Thalib untuk dapat mengambil kembali haknya yang
terampas. Mereka kemudian membentuk front di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi
Sufyan untuk menghadapi Ali.
3. Pemerintahan Utsman bin Affan menganggap bahwa kekuasaan
adalah hak dan sebuah pemberian dan tidak seorang pun berhak untuk merampasnya
dari mereka. Kekuasaan dijadikan alat untuk memenuhi keinginan dan kerakusan
mereka yang dipenuhi oleh hawa nafsu yang sesat. Menurut mereka, kekuasaan
bukan untuk memperbaiki masyarakat dan menyebarkan Islam di muka bumi.[43]
Pandangan seperti ini sedikit banyaknya mempengaruhi banyak orang untuk
berlomba-lomba berusaha menguasai pemerintahan, karena kekuasaan akan
memberikan keuntungan, kekuatan dan derajat. Amr bin Al-Ash, Muawiyah, Thalhah
dan Zubeir termasuk dalam kelompok ini. Mereka tidak lagi berusaha meraih kekuasaan
dengan alasan mewujudkan tujuan kemanusiaan atau sosial yang menguntungkan umat
Islam.
4. Pemerintahan Utsman bin Affan berhasil menciptakan masyarakat
kelas kaya yang cukup luas. Kelas ini selalu terancam kepentingannya bila
pemerintahan bermaksud untuk menjalankan kebenaran dan hukum Islam. Arus
tuntutan gerakan kaum miskin muslimin ialah perubahan sistem keuangan dan
lajunya kehidupan ekonomi serta pembatasan intervensi ke dalam kehidupan
pribadi. Gerakan Abu Dzar menentang pemerintah karena kebusukan kebijakan
moneter merupakan sebuah bukti betapa dalamnya kegusaran masyarakat miskin di
tengah umat.
5. Penggunaan kekerasan untuk meredam kritik bahkan penghinaan
yang dilakukan menimbulkan reaksi yang tersumbat dan pada waktunya muncul
sebagai kudeta militer. Pembunuhan Utsman bin Affan adalah titik geser dalam
konflik yang melingkar di antara pandangan yang ada di kaum muslimin.
Masyarakat menjadikan tindakan kekerasan sebagai solusi kebuntuan selama ini.
Hal ini ditambah dengan sikap keras kepala Bani Umayyah dan pejabat-pejabat
mereka yang senantiasa menantang kebenaran, keinginan dan tuntutan masyarakat
luas untuk munculnya sebuah perubahan dan perbaikan.
Kondisi ini sekali lagi membuka kesempatan kepada kaum oportunis
agar dapat merebut kekuasaan dengan kekerasan dan kekuatan senjata setelah umat
Islam tercerai berai dan saling berselisih. Setiap kelompok menginginkan
kekuasaan untuknya.
6. Pembunuhan Utsman bin Affan meninggalkan pekerjaan rumah yang
besar. Fitnah yang setiap saat dapat memanas dan membakar siapa saja setiap
saat, dan dapat dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan dan mereka
yang keluar dari baiat sebagai semboyan untuk menyulut peperangan dan
pertumpahan darah guna menghadapi pemerintahan sah yang dipimpin oleh Ali bin
Abi Thalib lewat pemilihan oleh masyarakat Islam. Fitnah ini kemudian dikemas
sedemikian rupa kemudian menjadi sempurna di tangan Muawiyah. Ia memerangi Ali
dan terjadilah pertumpahan darah yang mengakibatkan banyak kaum muslimin yang
tewas. Tidak itu saja, dengan fitnah itu, mereka memanfaatkannya untuk
menyesatkan perhatian kaum muslimin kepada agama yang benar melalui budaya yang
digerakkan oleh sebuah masyarakat dengan tujuan melanjutkan kekuasaan kerajaan.
Luasnya wilayah pemerintahan Islam sangat membantu mereka dan betapa banyaknya
jumlah kelompok dalam masyarakat Islam yang tidak memahami akidah Islam secara
benar dan sadar.
7. Salah satu hasil dari kudeta yang dilakukan terhadap Utsman
bin Affan adalah munculnya kelompok-kelompok bersenjata di sekitar kota-kota
Islam yang kemudian mengepung Madinah. Mereka menunggu nasib dan arah
perjalanan pemerintahan Islam. Kejadian-kejadian yang ada memberikan ruang kepada
masyarakat untuk melakukan aksi-aksi militer demi mengubah pemerintahan. Semua
ini menjadi basis kekuatan yang berpotensi untuk menekan pemerintah yang baru.
[31] . Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 163. Al-Bidayah wa
An-Nihayah, jilid 7, hal 166. Tarikh Al-Khulafa, hal 162.
[32] . Lihat Al-Muwaffaqiyat, jilid 2, hal 2.
[33] . Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 163.
[34] . Muruj Adz-dzahab, jilid 1, hal 440.
[35] . Al-Ghadir, jilid 8, hal 278. Al-Isti’ab, jilid 2, hal
690. Tarikh Ibnu Asakir, jilid 6, hal 407. Al-Aghani, jilid 6, hal 330.
[36]. Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 160. Tarikh Ath-thabari,
jilid 3, hal 445. Al-Baladzri, Ansab Al-Asyraf, jilid 5, hal 49. Hilyah
Al-Auliya, jilid 1, hal 156. Syeikh Al-Mudhirah Abu Hurairah, hal 166.
Al-Ghadir, jilid 8, hal 238. An-Nash wa Al-Ijtihad, hal 399.
[37]. Ath-thabari, jilid 3, hal 397.
[38] . Muruj Adz-dzahab, , jilid 2, hal 225.
[39] . Ibnu Saad, Ath-thabaqat, jilid 5, hal 388. Tarikh
Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 153. Ansab Al-Asyraf, jilid 5, hal 58. Ibnu Qutaibah,
Al-Ma’arif, hal 84. Syeikh Al-Mudhirah Abu Hurairah, hal 169. Al-Ghadir, jilid
8, hal 276.
[40] . Muruj Adz-dzahab, jilid 2, hal 350.
[41] . Syarh Nahjul Balaghah, jilid 3, hal 54. Disebutkan pula
oleh Abu Bakar Ahad bin Abdul Aziz dalam bukunya As-Saqifah. A’yan As-Syi’ah,
jilid 3, hal 336.
[42] . Abu Al-Faraj Al-Ishfahani, Al-Aghani, jilid 7, hal 179.
[43] .
Ibnu Saad, Ath-thabaqat Al-Kubra, jilid 3, hal 64. Tarikh Ath-thabari, jilid 5,
hal 341-346.
No comments:
Post a Comment