Sunday, February 15, 2015

STRATEGI DON RICHARSON dalam Menjangkau Papua (suku Sawi)


Oleh: Adrianus Pasasa,S.T, M.A

I.      PENDAHULUAN
Dalam bagian pendahuluan ini akan dibahas: pokok masalah, tujuan penulisan, pentingnya penulisan, lingkup penulisan.
           
Pokok Masalah
Don Richardson adalah seorang tokoh misi yang memiliki beban untuk melayani suku-suku di pedalaman Irian Jaya (Papua). Don Richardson mempersembahkan hidupnya untuk memberitakan Injil kepada beberapa wilayah yang paling terpencil dan terabaikan di dunia. Dalam sebuah kebaktian di Prairie Bible Institute tahun 1955, Don Richarson, seorang pemuda yang saat itu masih berusia 20 tahun, mengambil suatu keputusan untuk terlibat dalam pelayanan misi ke luar negeri. Panggilannya saat itu bukanlah panggilan yang samar-samar, tetapi suatu panggilan yang sangat jelas dan penuh dengan kepastian yaitu melayani suku-suku pengayauan (pemburu kepala manusia) di Irian Jaya (Papua). Suku-suku yang akan dilayani memiliki cara hidup yang tidak wajar, di mana kekejaman merupakan cara hidup mereka.
Setelah menyelesaikan kursus di Summer Institut of Linguistics pada tahun 1962, sambil menunggu kelahiran anak pertama mereka, Don dan Carol berlayar menuju Papua, di mana nantinya mereka akan bergabung dengan pelayanan misionari RBMU(Regions Beyond Missionary Union). Setelah sampai di Papua, Don dan Carol ditugaskan untuk melayani suku Sawi. Suku Sawi adalah salah satu suku yang memiliki budaya yang merupakan gabungan antara kanibalisme dan pengayauan. Selain penduduknya yang menakutkan, wilayah yang diduduki oleh suku Sawi juga menjadi tempat yang menakutkan, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Don, istri dan anaknya. Walaupun kondisinya demikian, Don tetap maju dalam pelayanannya karena Don selalu yakin dan tidak pernah meragukan panggilannya. Mengingat kondisi suku Sawi yang sangat berat dan menyeramkan, Don tidak patah semangat tetapi mulai menyusun strategi-strategi yang akan dipakai untuk dapat menjangkau orang-orang Sawi bagi Yesus Kristus.
                                       
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah (1) Untuk memaparkan pelayanan yang dilakukan oleh Don Richarson dalam menjangkau suku Sawi bagi Kristus (2) Untuk menjelaskan strategi-strategi yang digunakan oleh Don Richardson dalam memberi solusi atau jawaban bagi harapan-harapan yang tidak terpenuhi oleh budaya suku Sawi.; (3) untuk menjelaskan pola mengkomunikasikan Injil sebagai jawaban bagi harapan-harapan mereka, di mana budaya suku Sawi tersebut tidak bisa memberi jawaban.

Lingkup Penulisan
Penulisan paper ini terfokus dalam menganalisa pelayanan Don Richardson yang berhubungan dengan strategi dalam menjangkau suku Sawi yang memiliki budaya Pangayauan (kanibal), mengubahkan pola pikir mereka untuk meninggalkan budaya mereka yang kejam dan mengganti dengan kasih Yesus Kristus.

II.      MENGENAL DAN MEMAHAMI  BUDAYA DAN HARAPAN-HARAPAN SUKU SAWI

Sekilas tentang Suku Sawi
            Suku Sawi adalah salah satu suku yang tertinggal di pulau Papua. Suku Sawi terbagi menjadi dua bagian yaitu: bagian utara dan bagian selatan. Don Richardson melakukan pelayanannya pada suku Sawi bagian Selatan. Sebelum Don Richardson masuk ke suku Sawi, mereka memelihara budaya secara turun temurun. Kehidupan Suku Sawi sangat dipengaruhi oleh budaya nenek moyang mereka, hal ini Nampak dalam budaya mereka antara lain: budaya Pangayauan dan Kanibalisme, budaya Penghianatan, budaya Aumaway.

Budaya Pangayauan
Suku Sawi, salah satu suku yang memiliki budaya yang merupakan gabungan antara kanibalisme dan pengayauan. Sangat berbahaya! Tidak hanya penduduknya yang menakutkan, wilayah yang didiami suku Sawi juga merupakan tempat yang menakutkan. Budaya Pangayau sering kali dihubungkan dengan simbol keberanian dan kejantanan. Kepala-kepala yang telah dipenggal direbus dan dikeringkan, seringkali bergantungan di rumah dan  sering dipakai sebagai bantal kepala.

Budaya Penghianatan
Budaya pemujaan penghianatan ini berujung pada maut dan yang lebih mengerikan lagi mereka juga memakan daging musuh mereka yang dikalahkan. Dampak dari budaya penghianatan ini telah menyebabkan suku Sawi menjadi kanibal. Menurut kepercayaan mereka yang telah diwarisi secara turun temurun, makan daging manusia (kanibal) merupakan salah satu ambang pintu utama yang harus mereka lewati untuk mengenal hakekat tertinggi dari kehidupan Sawi. Mereka memiliki pemahaman bahwa ketika seseorang makan daging manusia, tampaknya seolah-olah matanya terbuka untuk mengerti kebaikan dan kejahatan. Budaya ini tidak akan pernah habis karena disebabkan oleh rasa dendam yang terus membara untuk membalas kematian anggota kelompoknya. Dan dendam itu tidak pernah mereka lupakan, bagi mereka membalas dendam itu pasti terlaksana, hanya menunggu waktu saja. Dan lebih tidak masuk akal lagi adalah strategi yang mereka gunakan adalah jebakan ”musuh dalam selimut”, seperti teman tetapi teman yang akan membawa maut.
Di dalam menyusun strategi penghianatan itu tidak pandang bulu sanak keluarga pun dapat dimanfaatkan untuk melakukan penghianatan itu. Hal ini membuat kehidupan suku sawi tidak pernah tenang dan selalu was-was karena ancaman dari kelompok lain akan muncul setiap saat. Karena pengaruh pemujaan terhadap penghianatan itulah, ketika mendengar kisah penghianatan Yudas, mereka mengaggap Yudas adalah pahlawan, mereka kagum akan penghianatan yang dilakukan Yudas, dan Kristus yang menjadi korban penghianatan tidak berarti apa-apa. Istilah Tuwi asonai man telah mendarah daging dalam kehidupan suku Sawi. Mereka bersahabat dan bersikap baik terhadap seseorang, namun suatu saat bisa menyembelinya. Pembunuhan secara terang-terangan sudah tidak mendatangkan kesenangan lagi bagi mereka, musuh mereka kadang dibiarkan melarikan diri, kemudian dikejar dan diburu menuruti ideal Tuwi asonai man yang lebih menggairakan. Orang-orang Sawi bukan saja kejam, tetapi juga menghormati kekejaman. Puncak kesenangan mereka didasarkan atas kesengsaraan dan keputusasaan orang lain, penghianatan dipuja-puja sebagai suatu kebajikan dan tujuan hidup. Sangat bertolak belakang dengan Injil yang akan disampaikan kepada mereka, namun hanya kuasa Injil yang dapat menghentikan kebiadaban mereka.
Budaya Aumaway
Selain pemujaan terhadap penghianatan, yang lebih mengerikan lagi ialah kepercayaan kepada Aumaway. Kepercayaan ini sangat kuat menguasai orang-orang Sawi. Kepercayaan ini telah menyebabkan ribuan orang yang sakit dan tidak berdaya dipaksa mati sebelum waktunya. Orang yang pinsan, tidak sadarkan diri atau dalam keadaan koma sudah dianggap mati. Dalam kondisi tidak berdaya orang yang sudah dianggap mati masih diperlakukan dengan kasar bahkan disulut dengan bara api. Tidak sampai di situ dalam keadaan tak berdaya mereka membungkus si sakit dengan tikar dan menggantung mereka di tiang-tiang yang telah disiapkan sebagai kuburan. Selanjutnya si sakit yang sudah mati karena perlakuan yang tidak manusiawi itu diupacarakan yang disebut gefam ason. Dalam upacara ini mereka meratapi mayat yang sudah berbau busuk itu. Tujuan dari gefam ason ini adalah supaya mereka mengalami pembaharuan tubuh, dan mereka tidak mengalami kematian lagi.

Harapan-Harapan yang terkandung dalam Upacara
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa dalam budaya suku Sawi mereka menaruh suatu pengharapan. Budaya pengayau terus dipelihara oleh suku Sawi karena budaya ini memberikan suatu penghargaan yang tinggi jika mereka dapat mengalahkan musuhnya dan membawa kepala musuhnya pulang. Ini akan menjadi suatu kebanggaan dan memberi status sebagai seorang pemberani. Budaya penghianatan terus dipelihara secara turun temurun karena didalamnya juga terkandung suatu pengharapan untuk membalas dendam kepada musuh. Mereka memuja-muja budaya penghianatan sebagai suatu kebajikan dan tujuan hidup. Demikian juga dengan budaya Aumaway yang mereka lakukan supaya mengalami pembaharuan tubuh dan tidak mengalami kematian lagi. 
Persoalan yang sedang dihadapi oleh suku Sawi adalah persoalan rohani yang belum mereka temukan jawabannya. Selama ribuan tahun kebudayaan Sawi telah berjuang tanpa dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Hanya Injil yang bisa menghentikan kebiasaan/budaya suku Sawi.



III.      STRATEGI UNTUK MENYAMPAIKAN INJIL SEBAGAI JAWABAN ATAS HARAPAN-HARAPAN YANG TIDAK TERJAWAB OLEH BUDAYA.
Untuk membawa orang-orang berbalik dari kegelapan kepada terang prasyarat pertama yang harus dilakukan adalah ”membuka mata mereka”. Paulus ketika masuk ke dalam bangsa-bangsa yang Allahnya samar-samar, misalnya sikap Paulus ketika menjumpai bangsa Athena yang penuh sesak dengan patung dewa-dewa, Paulus tidak mengutuki tetapi Paulus berjalan-jalan di kota dan melihat-lihat (Kis. 17:23) dan Ia menjumpai sebuah altar dengan tulisan ”kepada Allah yang tidak dikenal” yang dibangun oleh Epimedines sebagai penghormatan kepada ”Allah yang tidak dikenal” yang telah menolong bangsa Atena dari wabah. Altar inilah yang menjadi kunci komunikasi yang dipakai Paulus untuk membuka gembok-gembok pada hati dan pikiran ahli-ahli pikir Stoa dan Epikuros.
            Paulus mengungkapkan kepada bangsa Atena Allah yang mereka tidak kenal itu, ”Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu (Kis. 17:22,23)”. Setelah membuka mata mereka, Paulus berusaha untuk membuat orang-orang Atena berbalik dari kegelapan kepada terang. Don Richardson memberikan contoh pengalamannya ketika diutus di suku Sawi di Papua. Don Richardson menemukan kunci komunikasi lewat kepercayaan suku Sawi tentang konsep ”anak perdamaian” yang bisa menghapus dendam.
Strategi pertama yang digunakan Don Richardson adalah mempelajari bahasa dan budaya orang Sawi. Saat Don mempelajari bahasa Sawi dan semakin mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari adanya rintangan-rintangan yang dihadapinya untuk mengenalkan kekristenan kepada mereka. Jurang yang memisahkan antara kekristenannya yang alkitabiah dengan keganasan suku Sawi tampaknya terlalu sulit untuk dijembatani. Bagaimana mereka dapat menceritakan tentang Juruselamat yang maha kasih, dan yang bersedia mati bagi mereka? Strategi kedua setelah memahami bahasa mereka, Don dan istrinya mengajar orang-orang Sawi untuk membaca dalam bahasa ibu mereka, dan menerjemahkan seluruh Perjanjian Baru ke dalam bahasa orang Sawi. Strategi ketiga mencari analogi untuk menjadi jembatan Injil. Don menemukan "Redemptive Analogy" (Analogi Penebusan) konsep dari suku Sawi mengenai "Peace Child" (Anak Perdamaian). Don Richardson akhirnya memahami konsep anak perdamaian yang dilakukan suku Sawi. Kepala suku memberikan putranya sendiri kepada musuh, tindakan kepala suku ini, walaupun menyakitkan tetapi tindakan ini akan mengakhiri semua kecurigaan antar suku Sawi dan musuhnya. Dengan persetujuan bersama, sepanjang anak itu hidup tidak akan ada lagi perang antara kedua suku. Konsep anak perdamaian ini digunakan oleh Don Richardson untuk menyampaikan pekabaran tentang Allah yang pengampun. Don mengumpulkan semua orang Sawi dan membacakan kepada mereka kitab Yesaya 9:5: “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasehat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”. Allah telah mengutus Putranya untuk menjadi pendamai dan mengakhiri perang terhadap dosa dan kematian.
Suku Sawi dan Haeman membutuhkan anak perdamaian untuk menemukan kedamaian. Sama seperti mereka, anak perdamaian datang sebagai seorang bayi dan tumbuh sebagai Mesias. Dia adalah Putra Allah yang Maha Kuasa yang datang untuk menawarkan damai yang melampaui pengertian manusia. Kedamaian itu dapat dimiliki hanya jika hidup dan mencintai sama seperti Dia yang telah memanggil umatnya. Hidup dan mencitai Dia bukan hanya akan membawa damai di dalam hati. Ini juga akan membawa damai antara diri sendiri dan orang lain, dalam rumah tangga, dalam masyarakat, dan bahkan di antara bangsa-bangsa. Kuncinya adalah anak Perdamaian Allah, Tuhan kita Yesus Kristus.

IV.      PENUTUP
Melalui pemaparan di atas, akhirnya penulis sampai pada penutup yang terdiri dari kesimpulan.
Kesimpulan
            Dari penguraian di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa strategi yang digunakan oleh Don Richarson dalam menjangkau suku Sawi yang masih hidup terisolasi dan  menganut budaya nenen moyang mereka tidak terlepas dari peran Allah. Allah telah merancang analogi anak perdamaian sebagai jembatan supaya orang-orang Sawi dapat memahami kasih-Nya. Terlepas dari itu, faktor bahasa dan budaya juga memegang peran penting. Don Richardson dapat menjangkau suku Sawi tidak terlepas dari usahanya untuk memahami bahasa suku Sawi, supaya dapat berkomunikasi dengan mereka. Dengan menguasai bahasa mereka akan memudahkan untuk mengenal budaya mereka. Dengan memahami bahasa dan budaya mereka, akan memudahkan Don untuk mencari analogi-analogi yang dapat dijadikan jembatan untuk mengenalkan Injil bagi orang-orang Sawi.

Daftar Pustaka
Richardson, Don
            1996    Kerinduan akan Allah yang sejati, Bandung: Kalam Hidup.
Smith, Oswald. J.
            Tt         Merindukan Jiwa yang sesat, Surabaya: Yakin
Richardson, Don
            Tt         Penguasa—penguasa Bumi, Bandung: Kalam Hidup

Stott, John R.W
                        Misi Menurut Perspektif Alkitab
Hesselgrave, David J.
                        Communicating Christ Cross-Culturally
Richardson, Don
            1978    Anak Perdamaian, Bandung: Kalam Hidup



Don Richardson-Pelayanan di Suku Sawi-Irian Jaya
September 4, 2008 by 

Salah satu dari ahli teori misi praktis yang telah menarik banyak minat di dunia Barat adalah Don R;Peace Child” (Anak Perdamaian) dan “Lords of the Earth” (Para Penguasa Bumi) yang ditujukan bagi orang-orang Kristen awam ini menyajikan tentang kerumitan dalam mengkomunikasikan Injil secara lintas budaya kepada orang-orang non-Kristen, khususnya suku- suku yang jauh dari peradaban barat. Mungkin lebih dari misionaris lainnya di Amerika, dia bisa menarik baik orang awam maupun para ahli misiologi.

Prinsipnya tentang “Redemptive Analogy” (Analogi Penebusan) — penerapan tentang prinsip keselamatan ke dalam budaya lokal — telah menyebabkan antusiasme dan debat dalam siklus misiologi semenjak dia menjelaskan prinsip tersebut di sebuah seminar di Dallas Theological Seminary tahun 1973. Sejak saat itu pengaruhnya telah berkembang melalui buku-buku dan artikel-artikel yang ditulisnya, konferensi yang diadakannya, pembuatan film “Peace Child”, dan asosiasinya dengan U.S. Center for World Mission di Pasadena. Dalam sebuah kebaktian di Prairie Bible Institute tahun 1955, Don Richardson, seorang pemuda yang saat itu masih berusia 20 tahun, menjawab panggilan untuk terlibat dalam pelayanan misi ke luar negeri.

Panggilan yang dijawabnya ini bukanlah panggilan yang masih samar-samar — untuk pergi ke “suatu tempat” yang belum jelas — tetapi merupakan panggilan yang penuh kepastian untuk melayani suku- suku pengayauan (pemburu kepala manusia) di Netherlands New Guinea (sekarang Irian Jaya), dimana kekejaman merupakan cara hidup suku-suku tersebut. Banyak orang menghadiri kebaktian di Prairie Bible Institute tsb. dan mendengar khotbah dari Ebenezer Vine yang berusia 71 tahun dari “Regions Beyond Missionary Union” (RBMU).

Prairie Bible Institute telah cukup terbiasa melihat sebagian besar lulusannya terpanggil untuk melayani di luar negeri. Di antara lulusan yang memiliki keputusan yang sama dengan Don pada saat itu adalah Carol Soderstrom, seorang gadis cantik dari Cincinnati, Ohio, yang lima tahun kemudian menjadi istri Don.

Tahun 1962, sesudah menyelesaikan kursus di Summer Institute of Linguistics dan menunggu kelahiran anak pertama mereka, Don dan Carol berlayar menuju New Guinea, dimana mereka bergabung dengan pelayanan misionaris RBMU sampai mereka ditugaskan untuk melayani suku yang ditunjuk — suku Sawi, salah satu suku yang memiliki budaya yang merupakan gabungan antara kanibalisme dan pengayauan. Sangat berbahaya! Tidak hanya penduduknya yang menakutkan, wilayah yang didiami suku Sawi juga merupakan tempat yang menakutkan sebagai tempat tinggal bagi istri dan anaknya yang masih berusia tujuh bulan. Namun Don tidak pernah meragukan panggilannya. Sudah cukup beban bagi Don dan Carol untuk memikirkan ketakutan akan tempat dan penyakit berbahaya yang ada di sini. Namun mereka akan bertambah takut jika mereka tidak segera menguasai bahasa suku Sawi.

Hal itu merupakan pergumulan terberat bagi mereka. Meskipun merasa “otaknya serasa mengecil” dalam proses pembelajaran bahasa itu, Don mengatur jadwalnya untuk belajar bahasa Sawi selama 8 – 10 jam sehari supaya akhirnya ia dapat menjadi komunikator yang fasih dalam bahasa Sawi. Saat Don mempelajari bahasa Sawi dan semakin mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari adanya rintangan-rintangan yang dihadapinya untuk mengenalkan kekristenan kepada mereka. Jurang yang memisahkan antara kekristenannya yang alkitabiah dengan keganasan suku Sawi tampaknya terlalu sulit untuk dijembatani. Bagaimana mereka dapat menceritakan tentang Juruselamat yang maha kasih, dan yang bersedia mati bagi mereka? Penghalang-penghalang komunikasi tampaknya susah diatasi sampai Don menemukan “Redemptive Analogy” (Analogi Penebusan)– konsep dari suku Sawi mengenai “Peace Child” (Anak Perdamaian). Dalam budaya mereka, suku Sawi telah menemukan cara untuk membuktikan ketulusan niat dan membangun perdamaian.

Sebelumnya, suku Sawi selalu mencurigai segala pernyataan yang dilakukan untuk menjalin persahabatan, kecuali untuk satu pernyataan: Jika seorang pria bersedia menyerahkan anak laki-lakinya kepada para musuhnya, maka pria itu dapat dipercaya. Analogi Anak Perdamaian inilah yang dipakai Don untuk menunjukkan kepada suku Sawi bahwa Allah adalah seorang Bapa yang bersedia mengorbankan putra-Nya sendiri. Anak Perdamaian ini sendiri tidak dapat menyelesaikan semua rintangan komunikasi untuk memahami Kekristenan. Oleh karena itu Don dan Carol mencari analogi-analogi lain yang dapat dipakai untuk bersaksi. Juga sebagai seorang perawat, Carol menolong hampir sebanyak 2.500 pasien setiap bulannya. Melalui kesabaran mereka berdua, lambat laun suku Sawi mulai mengenal Kekristenan. Don, dengan bantuan Carol, mulai menerjemahkan Perjanjian Baru dan mengajar suku Sawi untuk membaca. Tahun 1972, setelah satu dekade melayani suku Sawi, banyak terjadi perubahan. Rumah pertemuan yang biasa dipakai untuk beribadah diperluas. Don menyarankan untuk membuat “Sawidome” — sebuah rumah yang dapat menampung sedikitnya 1000 orang. Rumah ini menjadi “rumah perdamaian bagi mereka yang dulu saling bermusuhan.” Setelah menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Baru, Don Richardson dan keluarganya meninggalkan suku Sawi dan menyerahkannya di bawah pengawasan para penatua gereja mereka dan John serta Esther Mills, pasangan misionaris lainnya yang melayani suku Sawi.




No comments:

Post a Comment