Friday, April 8, 2016

Mengapa Sunnah dan Hadits Tidak Perlu Dipatuhi sebagai Hukum?

Oleh Ade Armando*

Pidato Kebudayaan saya di acara ulang tahun ke-15 Jaringan Islam Liberal (1 April 2016) rupanya diplesetkan oknum-oknum tertentu. Di media sosial dikabarkan bahwa  dalam pidato itu saya mengatakan bahwa ‘Al Quran dan Sunnah adalah biang masalah dan pangkal bencana’. Ini tentu saja fitnah. Bagaimana mungkin, saya yang adalah muslim dan percaya bahwa Al Quran adalah ayat-ayat Allah, menganggap Al Quran sebagai pangkal bencana?

Yang saya persoalkan dalam pidato itu bukanlah Al Quran, Sunnah, dan hadits. Yang saya katakan adalah kita sebaiknya tidak memandang isi Al Quran, Sunnah dan Hadits sebagai hukum yang harus kita patuhi sepanjang zaman. Begitu kita memperlakukan Al Quran, Sunnah dan Hadits sebagai hukum yang harus kita patuhi secara literal, pada saat itulah bencana dimulai.

Saya akan jelaskan lagi argumen saya dalam dua tulisan. Dalam tulisan pertama ini, saya akan jelaskan soal mengapa Sunnah dan Hadits tidak bisa digunakan sebagai hukum. Dalam tulisan kedua, saya akan jelaskan soal Al Quran.

Kita mulai dari Sunnah dan Hadits.
Banyak umat Islam menganggap bahwa Sunnah dan Hadits adalah rekaman terpercaya mengenai apa yang dilakukan dan diucapkan semasa Nabi hidup dan  umat Islam wajib untuk menggunakan perilaku dan ucapan Nabi itu sebagai aturan baku mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Dengan kata lain, Sunnah dan Hadits adalah hukum yang harus dipatuhi.
Buat saya, cara pandang semacam ini tidak masuk di akal dan berpotensi untuk membawa bencana bagi umat manusia.

Sunnah dan Hadits mengandung banyak sekali hal yang menggelikan, diskriminatif dan bahkan mendorong tindak kekerasan dan konflik. Saya akan memberikan sejumlah contoh pernyataan dan perilaku Nabi:

Rasulullah berkata: “Apabila kamu makan dan minum, makan dan minumlah dengan tangan kanan, karena hanya setan yang makan dengan tangan kiri.”

Rasulullah mengutuk laki-laki yang berpakaian seperti wanita dan berpakaian seperti laki-laki.
Rasulullah berkata: “Menguap itu dari setan. Maka apabila seseorang di antara kamu menguap, hendaklah ditahannya sedapat mungkin. Sesungguhnya jika seseorang di antara kau menguap, tertawalah setan.”

Rasulullah berkata: “Siapa yang tidak mendatangi suatu undangan, sesungguhnya dia mendurhakai Allah dan rasul-Nya.”

“Rasulullah mengutuk pembuat tato dan yang meminta ditato.”
Rasulullah bersabda: “Neraka diperlihatkan padaku, di sana aku mendapat kebanyakan penghuninya adalah wanita yang tidak bersyukur.” Beliau ditanya: “Apakah mereka kufur terhadap Allah?” Dia menjawab, “Mereka tidak berterimakasih kepada suami dan tidak berterimakasih atas perbuatan baiknya.”

Rasulullah berkata: “Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.”
Rasulullah berkata: “(Seorang wanita) tidak berhak menerima tempat tinggal atau nafkah dari suaminya yang telah mentalaq tiga.” (Talaq tiga artinya menceraikan)
Rasulullah berkata: “Laki-laki mana saja yang murtad, maka ajaklah dia (kembali pada Islam), jika ia tidak mau kembali pada Islam maka bunuhlah ia. Perempuan mana saja yang murtad, serulah ia kembali pada Islam, jika mereka tidak mau kembali, maka bunuhlah mereka.”

“Seorang wanita Yahudi telah memaki/menghina Nabi, maka seorang lelaki mencekiknya hingga mati, dan Rasulullah membatalkan darahnya” (membatalkan darahnya artinya menganggap pembunuhan itu tidak perlu dihukum).

“Nabi telah menyerbu daerah Bani Mushthaliq ketika mereka sedang lalai dan ternak sedang minum dari sumber air. Maka beliau membunuh orang-orang dewasa yang dapat berperang dan menawan anak-anak dan wanita mereka.”

Nabi bersabda: “Allah telah melaknat pencuri yang mencuri sepotong telur, maka dipotong tangannya.”

Nabi bersabda: “Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar patung.”

Ada seseorang datang kepada Nabi dan berkata: “Saudaraku buang-buang air.” Nabi bersabda: “Minumilah ia madu.” Kemudian orang itu datang kedua kalinya dan berkata: “Sudah aku beri madu tetapi bertambah parah.” Nabi bersabda: “Minumilah ia madu.” Kemudian ketiga kalinya, Nabi tetap bersabda: “Minumilah ia madu.” Kemudian orang itu datang lagi dan berkata: “Sudah aku beri minum madu tetapi bertambah parah buang-buang airnya.” Jawab Nabi: “Firman itu benar dan yang dusta adalah perut saudaramu! Berilah ia madu!” Maka diberinya lagi madu, dan sembuhlah dia.
Rasulullah bersabda: “Mimpi yang baik itu isyarat dari Allah, sedangkan mimpi bersetubuh (sehingga keluar mani) adalah permainan setan.”

Saya bisa memaparkan lebih banyak lagi Sunnah dan Hadits. Tapi saya rasa, rangkaian kutipan di atas sudah menunjukkan betapa bermasalahnya Sunnah dan Hadits sebagai hukum.
Sebagian di antaranya, nampak menggelikan. Misalnya saja, apa salahnya makan dengan tangan kiri dan masak sih hanya setan yang makan dengan tangan kiri? Atau juga, masak sihmalaikat tidak suka pada anjing dan gambar? Atau juga masak sih mimpi bersetubuh adalah permainan setan?
Sebagian lain nampak melecehkan ilmu pengetahuan dan juga bisa berimplikasi serius. Hadits tentang keistimewaan madu itu, kalau dipercaya akan menghilangkan kepercayaan orang tentang ilmu kesehatan dan bisa berimplikasi serius pada mereka yang menderita penyakit akut.
Sebagian lainnya nampak diskriminatif dan berimplikasi serius. Hadits tentang larangan bagi perempuan untuk menolak permintaan suami untuk melakukan hubungan seks, perintah nabi bahwa perempuan yang sudah diceraikan suami tidak berhak memperoleh nafkah dari suami atau kisah nabi bahwa mayoritas penghuni neraka adalah para istri yang tidak berterimakasih pada suami adalah tiga contoh yang jelas. Hadits-hadits semacam ini bukan saja merendahkan dan mengkhianati hak-hak perempuan, namun juga berpotensi menyuburkan kekerasan domestik yang menyengsarakan perempuan.


Sebagian lainnya bahkan mendorong kekerasan dan penindasan hak asasi manusia. Misalnya saja soal hukuman mati bagi mereka yang murtad  dan menghina Nabi atau hukum potong tangan bagi pencuri telur. Atau juga kisah tentang bagaimana pasukan Nabi menyerang kaum yang tidak siap berperang, serta membunuhi dan menangkapi warga sipil, adalah contoh yang bisa menjadi justifikasi bagi para teroris saat ini untuk menyerang ‘musuh-musuh’ Islam.

Keberadaan Sunnah dan Hadits semacam itu sangat mungkin menimbulkan sikap mendua umat Islam yang berusaha patuh pada perintah Allah. Di satu sisi, umat Islam merasa harus mengikuti apa yang dikatakan dan dilakukan Nabi. Tapi di sisi lain, isi Sunnah dan Hadits mengandung banyak sekali persoalan yang bahkan berpotensi menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Bagi saya, dilema ini bisa diatasi dengan mudah. Umat Islam bisa tetap patuh pada Allah dan Nabi Muhammad tanpa perlu merusak bumi kalau umat Islam   mengambil sikap konsisten menolak Sunnah dan Hadits sebagai hukum.

Saya tidak ingin mengatakan, umat Islam selayaknya menolak Sunnah dan Hadits. Yang ingin saya katakan, Sunnah dan Hadis bukan hukum, melainkan sekadar rujukan, panduan, atau bahkan catatan sejarah yang sebagian isinya diragukan kebenarannya.

Jadi kalau Nabi makan dengan tangan kanan, ya, itu sekadar kebiasaan Nabi. Bahwa Nabi mengatakan bahwa setan makan dengan tangan kiri, ya, bisa saja sekadar metafora, atau bercanda atau bahkan mungkin saja sebenarnya Nabi tidak pernah mengatakan begitu tapi ada orang yang mengira Nabi mengatakan itu atau bahkan mungkin juga ada orang yang sengaja berbohong tentang ucapan Nabi itu.

Sunnah dan Hadits itu sulit dijadikan sebagai hukum atau aturan yang harus diikuti kata per-kata, karena banyak alasan.

Satu alasan utama adalah Nabi sendiri tidak pernah menyatakan itu sebagai hukum yang harus berlaku sepanjang zaman, dan bahkan Nabi sendiri pernah melarang sahabat-sahabatnya untuk mencatat apa yang dilakukan dan diucapkannya.

Bunyi pernyataan Nabi itu adalah: “Jangan kamu menuliskan apa yang datang dariku. Siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah,” (diriwayatkan Ahmad bin Hambal).
Dengan demikian, Sunnah dan Hadits itu sebenarnya bertentangan dengan perintah Nabi.
Tapi taruhlah upaya mencatat dan merekam perilaku dan pernyataan Nabi itu bisa dipandang sebagai insiatif kreatif dan tulus umat Islam di masanya, proses pengumpulannya pun tetap mengandung banyak catatan.

Di masa Nabi hidup, tidak ada upaya secara sistematis, kolektif dan terencana untuk mencatat dan menghapal pernyataan-pernyataan Nabi. Pengumpulan Hadits baru dilakukan jauh hari setelah Nabi wafat.

Dengan demikian ada sejumlah hal pokok yang penting untuk dipahami mengenai Hadits.
Pertama, pengumpulan-penghapalan-pencatatan Hadits bukanlah perintah Nabi. Itu adalah inisiatif para pemimpin Islam sesudah Nabi wafat.

Kedua, mayoritas hadits itu mengandalkan ingatan dan hapalan, bukan bukti tertulis.
Dalam hal ingatan, tentu harus dipahami bahwa apa yang terekam dalam memori individu bukanlah sebuah catatan sempurna mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Apa yang didengar seseorang akan masuk dalam apa yang disebut sebagai Short Term Memory (memori jangka pendek).
Kalau orang itu sengaja menghapalkan kalimat yang didengarnya kata demi kata memang selalu ada kemungkinan informasi itu terekam dalam Long Term Memory (memori jangka panjang) dia secara permanen. Misalnya saja, mayoritas umat Islam bisa menghapal Al Fatihah dengan benar. Itu terjadi karena umat Islam dengan sengaja menghapalkannya. Begitu pula dengan para penghapal Al-Qur’an yang bisa mengingat seluruh ayat Al-Qur’an. Namun harus diingat, itu terjadi sebagai hasil sengaja menghapal.

Masalahnya, ini yang tidak terjadi dengan proses perekaman Hadits. Ingat, Nabi sendiri sangat mungkin pernah melarang orang menulis apa yang dikatakannya atau setidaknya tidak pernah memerintahkan para pengikutnya mencatat semua pernyatannya. Karena itu, kalaulah ada praktik menghapal pernyataan atau perbuatan Nabi, itu dilakukan dengan pola penghapalan yang tidak sedisiplin penghapalan Al-Qur’an. Jadi yang diingat bukan kata per kata, atau gerakan per gerakan, tapi bisa jadi hanya garis besar pernyataan.

Ketiga,  itu baru dibakukan lebih dari 200 tahun setelah Nabi atau sahabat meninggal. Artinya Hadits itu dibakukan melalui rangkaian sumber lintas generasi.  Dan ingat, itu mengandalkan hapalan, bukan catatan tertulis.

Keempat, di masa antara Nabi hidup sampai Hadits dibakukan, banyak peristiwa penting terjadi yang menyebabkan tidak seluruh Hadits bisa diandalkan. Ada ratusan atau catatan Hadits dibakar dan ada Hadits-hadits palsu disebarkan oleh berbagai kalangan dengan tujuan politik atau ekonomi tertentu.

Kelima, para editor terkemuka yang menulis buku kumpulan Hadits (Muslim, Bukhari dan lain-lain) memang melakukan langkah yang sangat berhati-hati untuk menyertakan atau mengabaikan sebuah informasi ke dalam kitab Hadits. Mereka menggunakan syarat-syarat yang sangat ketat. Misalnya, sebuah Hadits harus berasal dari pembawa kabar yang bisa dipercaya dan datang dari keluarga yang bisa dipercaya, yang ucapan-ucapannya selalu konsisten, sehat mental dan fisik, diketahui tidak pernah berbohong, dan sebagainya.

Namun tetap harus dicatat, para editor Hadits ini pada dasarnya adalah manusia yang bisa saja salah. Para editor Hadits itu memang ilmuwan kredibel yang hebat tapi pada akhirnya adalah manusia biasa. Bukan orang suci. Bukan Nabi. Mereka bahkan bisa saja menyertakan atau tidak menyertakan satu Hadits karena alasan kepentingan pribadi atau salah interpretasi atau hal personal lainnya.
Bayangkan, mereka harus menyeleksi ribuan ‘pernyataan’ Nabi yang diucapkan lebih dari 200 tahun sebelumnya dan sumbernya adalah ingatan orang. Kitab Hadits Bukhari, misalnya, memuat sekitar 7.000 Hadits yang ia peras dari 400 ribu pernyataan yang semula ada. Mereka sangat mungkin salah atau tidak tepat menulis kembali apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi lebih dari dua abad sebelumnya. Itu pula yang menjelaskan mengapa ada Hadits-hadits yang muatannya berbeda satu sama lain.

Keenam, karena penghapalan Hadits itu sebenarnya adalah semacam hasil inisiatif para penghapal dan bukan karena perintah Nabi, sangat mungkin informasi yang terekam dalam hapalan itu tercerabut dari konteks pernyataannya.

Enam catatan tersebut mudah-mudahan cukup untuk menjelaskan mengapa Sunnah dan Hadits tidak bisa dipandang sebagai hukum.

Sunnah dan Hadits penting untuk dipelajari sebagai rujukan, sebagai panduan, sebagai catatan sejarah. Namun pada saat yang sama, umat Islam harus sadar bahwa proses pembakuan Hadits menyebabkan kita seharusnya tidak memandangnya sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan. Walaupun Hadits itu termuat dalam kumpulan hadits Sahih Bukhari-Muslim (yang sering dianggap sebagai kitab Hadits paling otoritatif), tidak dengan sendirinya harus dianggap benar.
Dengan demikian, mudah-mudahan bisa dipahami mengapa saya mengatakan Sunnah dan Hadits bukanlah hukum yang harus dipatuhi.[]
*Ade Armando adalah Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi di FISIP Universitas Indonesia

www.madinaonline.id