Sunday, February 22, 2015

Kalifah Usman DIBANTAI umat Islam sendiri

Farag Fouda adalah sedikit di antara pemikir Islam yang secara jujur dan sangat berani membongkar sejarah kelam praktik politik di kalangan kaum Muslim pada masa klasik. Fouda menengok dari sudut yang buram, berdasarkan sumber-sumber Arab, seperti Ibn Katsir, al-Thabari, Ibn Atsir, al-Mas'udi, al-Suyuthi, al-Syaristani, al-Dinuri, dan banyak yang lain. Kejujurannya dalam mengungkap sejarah sisi-sisi gelap sejarah Arab muslim di masa lampau itulah yang telah mengantarkannya pada ‘gerbang’ kematian. Fouda dianggap telah menghujat agama dan keluar dari Islam. Fouda ditembak mati di Madinat al-Nasr, Kairo, oleh pengikut kelompok radikal akibat fatwa kafir dan murtad oleh Ulama Mesir. Sebuah fatwa yang secara sewenang-wenang menyebut individu, sebagai "sesat", "kafir", dan "murtad" merupakan tindakan pembunuhan karakter (character assassination) dalam ranah teologis, yang seringkali diikuti dengan pembunuhan fisik.

Pemikiran Fouda tentang sejarah buram umat Islam atau lebih tepatnya, agama dan negara, tertuang dalam bukunya yang paling terkenal, al-Haqîqah al-Ghâibah (Kebenaran yang Hilang). Sebuah buku yang mampu membuat kalangan Islamis ‘kalang kabut’ karena merasa Islamnya (baca: agamanya) terancam. Bagaimana tidak? Dalam buku itu sangat jelas disebutkan kebobrokan yang muncul kembali setelah wafatnya Muhammad SAW. Untuk menyebut beberapa contoh, Khalifah ketiga Islam, Usman bin Affan, dibunuh oleh orang Islam sendiri dan mayatnya harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya dan menolak dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di sebuah areal pekuburan Yahudi. Tidak cukup sampai di situ, tatkala berada di sebuah pintu, mayat Usman diludahi dan dipatahkan salah satu persendiannya. Dan saat prosesi penguburannya berlangsung orang-orang Islam melempari mayatnya dengan batu. Sungguh sial nasib sang sahabat ini.

Begitupun dengan Muawiyah bin Abu Sofyan yang dengan segala kelicikannya melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib, menebarkan segala kebusukan untuk merusak persatuan umat Islam saat itu, dalam sejarah disebut tahun fitnah besar. Atau seorang Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang menolak bertanggung jawab atas terjadinya tragedi Karbala, Irak, yang mengakibatkan syahidnya salah satu cucu kesayangan Nabi SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Juga seorang Abu Abbas As-Saffah, pendiri Daulah Abbasiyah, yang sangat mendendam dan dengan seenak perutnya menjagal puluhan anggota keluarga Umayyah sambil makan malam. As-Saffah sendiri artinya ‘Tulisan Berdarah’, atau bisa juga diartikan ‘Sang Penjagal’. Khalifah Abbasiyah, al-Walid bin Yazid juga sangat dikenal soal kegilaannya, kegemaran mabuknya, homoseksualitasnya dan yang lebih gila lagi, hobinya membidik al-Qur’an dengan panah.
Peristiwa di atas merupakan sebuah ungkapan yang sangat terang bahwa para khalifah adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Seorang pemimpin umat tidak pernah punya klaim kekebalan dan kesakralan yang membuatnya lebih tinggi derajatnya dari kaum muslim lainnya. Peristiwa berdarah saling membunuh dalam sejarah Islam tentu saja tidak mengganggu kesucian Islam. Sejarah Islam juga tidak perlu disakralkan. Sejarah adalah sejarah. Namun demikian, teks-teks sejarah tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja mati dan maknanya terjebak pada waktu yang lampau. Teks tidak hanya memberi makna pada masa lalu, tapi juga pada masa sekarang dan masa depan. Sebab bagaimanapun teks sosial tersebut berasal dari masa lampau, sudah berjarak waktu sangat jauh, sudah ada sejak ribuan tahun.

Masalah dalam Khilafah
Melihat kenyataan sejarah umat Islam yang menggambarkan kondisi tak ideal seperti yang telah ditunjukkan dengan sangat baik oleh Fouda tersebut, maka sejatinya gagasan tentang sistem khilafah yang katanya dapat menjadi solusi bagi tegaknya pemerintahan yang bebas dari korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral tak lebih hanyalah slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada otoritarianisme moral. Pemerintahan Islam, bagi Fouda, justru secara penuh menggambarkan kondisi tak ideal yang disebutkannya tersebut. Buku Kebenaran yang Hilang merekam secara jelas upaya Fouda dalam menelanjangi borok praktik pemerintahan khilafah yang berjalan dari masa Khulafa al-Rasyidun sampai dinasti Abbasiyah, dan coba kembali digulirkan oleh kelompok Islamis pada abad sekarang ini. Islam sebagai agama sekaligus negara (al-din wa al-daulah) seperti dalam keyakinan kaum islamis terbukti salah. Sejarah khilafah adalah sejarah perebutan kekuasaan dan kekayaan yang melulu duniawi, sama sekali di luar agama. Sebagian besar pergantian kekuasaan dilakukan melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya Khalifah.
Khilafah yang dianggap sebagai konsep “negara Islam” penuh cacat di mata Fouda. Ia tidak memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang tetap, selalu berbeda dari Khalifah satu ke yang lainnya. Rakyat tidak pernah mendapatkan kedaulatan karena khilafah hanya percaya pada “kedaulatan Tuhan”. Khilafah juga tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban dan kontrol atas penguasa. Tak heran kalau Khalifah kerap melakukan tindakan yang jauh melampaui batas kewenangannya. Parahnya lagi, khilafah yang murni persoalan politik itu luput dari agenda kongkrit politik seperti sistem dan tata-cara pemerintahan, agenda reformasi politik, ekonomi dan budaya, perbaikan sistem pendidikan, perumahan dan lainnya.

Karenanya, tidak terlalu mengherankan jika kita melihat ketidakmampuan kaum Islamis dalam memahami realitas kekinian. Islam menjadi agama yang sangat eksklusif: tak mampu memahami kemajuan. Islam di mata kalangan Islamis seakan-akan hidup dalam alienasi dan kolonialisasi. Islam dianggap sebagai agama yang dititahkan untuk bersikap defensif sekaligus ofensif. Tentu saja, seperti ini menimbulkan pelbagai problematika serius.

Pertama, munculnya klaim kebenaran. Gerakan islamisme menimbulkan kecenderungan untuk menentukan ukuran kebenaran. Persis pada tataran ini, agama menjadi “pulau-pulau kebenaran” yang dialami komunitas tertentu. Akibatnya, Islam dipersepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain. Bukan hanya itu, bahkan Islam dipersepsikan sebagai kebenaran tunggal.

Kedua, munculnya monopoli tafsir. Kecenderungan ini merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan lahirnya sakralisasi terhadap tafsir keagamaan. Apa yang diproduksi agamawan (ulama) sepanjang sejarah peradaban Islam merupakan sejarah yang bersifat reproduktif dan regresif, yaitu sejarah yang selalu kembali kepada masa lalu. Selain itu, monopoli tafsir juga diregulasi oleh kepentingan politik tertentu. Salah satu pemandangan yang menyejarah adalah kolaborasi antara produk pemikiran dengan kepentingan penguasa dalam setiap zamanya. Diakui atau tidak, kenyataan ini telah mengukuhkan singgasana tafsir keagamaan yang bersifat monolitik, diskriminatif dan sentralistik.

Ketiga, munculnya kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dampak yang pertama dan kedua merupakan karakter dari sakralisasi terhadap doktrin dan dogma keagamaan. Sedangkan kekerasan dan radikalitas merupakan dampak lanjutan dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas agama tertentu. Kenyataan tersebut telah memberikan angin segar bagi kalangan tertentu untuk melakukan kekerasan yang seakan-akan mendapatkan justifikasi dari agama. Doktrin jihad dalam tradisi Islam sering kali dijustifikasi oleh sebagian kelompok dan sekte untuk mengabsahkan kekerasan. Jihad disakralkan sebagai pengorbanan untuk Tuhan, kendatipun dengan menggunakan kekerasan.

Oleh karenanya, ambisi kaum islamis untuk mendirikan khilafah Islam adalah sesuatu hal yang mustahil dan hanya membuang waktu untuk mengejar mimpi yang tak kunjung terwujud. Penyatuan wilayah di bawah satu naungan khilafah adalah mitos. Tidak terbukti dalam catatan sejarah. Melalui khilafah mereka berasumsi bahwa penerapan syariah dapat ditegakkan, kesatuan umat (pan-islamisme) dapat digalang, jihad dapat dilaksanakan. Pendek kata, dengan tegaknya pemerintahan Islam, segala bentuk korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral, dan persoalan lain dapat diselesaikan. Namun, untuk merealisasikan gagasan itu sungguh tidak semudah seperti membalikkan tangan. Asumsi-asumsi di atas, tentu menurut keyakinan penulis tak lebih hanyalah sekadar slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Ini terlihat dari upaya para pendukung gerakan itu yang hanya menggunakan label Islam tanpa memahami secara jernih konsep-konsep keagamaan yang dijadikan sebagai slogan.

Slogan-slogan yang mereka kampanyekan seperti ‘Islam Way of Life, Islam adalah cahaya, demokrasi adalah kegelapan’ pada prakteknya hanyalah alat kampanye belaka untuk mengais dukungan publik Muslim yang selanjutnya dijadikan sebagai dasar legitimasi untuk menindas atas nama Islam. Akibatnya, Islam hanya menjadi tameng bagi watak politis upaya-upaya tersebut. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada pembebasan kepada agama tanpa reserve. Akibatnya, agama menjadi dogma-dogma ekslusif.

Akan terwujudkah keinginan dan cita-cita mereka untuk menegakkan syariah Islam atau pemerintahan Islam? Dengan tegas saya jawab: Tidak Mungkin! Faktanya: pemberlakuan syariat Islam yang konon secara ‘kaffah’ itu diberbagai belahan negara Islam justru lebih banyak menimbulkan distorsi dan kejahatan kemanusiaan ketimbang memunculkan sebuah peradaban manusia yang egaliter, demokratis, berkeadilan, dan manusiawi. Apa yang terjadi di Sudan sebetulnya cukup menjadi bukti betapa riskannya memulai sesuatu dengan paras Islam yang sanksional. Mereka segera menerapkan sanksi hudud di tengah masyarakat yang terancam kelaparan. Dus, dengan berkedok agama, mereka (kaum islamis) sesungguhnya menunjukkan kemalasan, kebekuan serta ketidakmampuannya dalam merespon makna zaman.

Sekularisme: Pilihan Paling Tepat
Keberanian Fouda untuk menentang arus dan mau melihat keburukan sisi kelam sejarah sendiri patutlah mendapat apresiasi yang mendalam. Saya amat sangat yakin, apa yang ditulisnya merupakan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim yang memaparkan data-data sejarah secara obyektif dalam rangka melihat masa kini dan membangun harapan di masa depan. Fouda tidak bermaksud menggembosi ghirah kalangan islamis dalam menegakkan khilafah, tetapi sebaliknya, justru mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam lubang yang sama dari noktah-noktah gelap sejarah sendiri. Islamisme yang cenderung menafikan pluralisme, demokrasi, civil society, dan HAM pada akhirnya membangkitkan mitos sistem Khilafah Islamiyah yang lebih merupakan mitos yang bukan saja bertentangan dengan ruh Islam itu sendiri, akan tetapi juga secara sosial politik tidak mendapat dukungan yang luas. Bahkan lebih dari itu pengandaian ini memunculkan berbagai macam paradoks yang belum terselesaikan.

Karenanya menjadi sekuler adalah pilihan paling tepat. Menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Sekularisasi merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia sendiri. Jika tidak ada sekularisasi, maka eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana dan ilmu pengetahuan yang merupakan spirit sekularisme. Dari sinilah kemudian timbul pemikiran tentang perlunya sekularisasi dalam pengertian “pemisahan”. Yakni upaya pemisahan antara wilayah agama atau keyakinan dengan politik (negara), antara dimensi transenden (sakral) dengan yang imanen (profan). Dalam konteks ini, Fouda sepenuhnya sekularis. Menurutnya, Islam adalah agama non-negara. Lebih dari itu, negara yang disematkan pada Islam selalu menjadi beban dan mengebiri Islam sebagai agama. Islam negara, bagi Fouda, selalu mereduksi Islam agama.

Sejarah membuktikan, kebebasan berfikir di dunia Islam telah mengisi ruang-ruang peradaban dunia. Karenanya, gerakan liberalisasi, sekularisasi yang sanggup melakukan pembacaan kritis atas teks-teks keagamaan, sehingga nalarnya tidak eksklusif menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Bagaimanapun, kritik teks, baik sejarah maupun teks-teks suci adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain yang sejenis.

Sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak mungkin terulang lagi, dan teks sejarah adalah dokumentasi yang berisi penafsiran dan rekonstruksi atas sebuah peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara masa lalu dan masa kini mesti terdapat tabir. Yang menghubungkan sejarah dan kehidupan kita sekarang adalah makna yang dikandungnya. Karenanya tidak ada jalan atau solusi terbaik kecuali penafsiran secara kreatif produktif dengan keterbukaan masa kini dan masa depan, yang mana dalam proses penafsiran tersebut peneliti bukan sekedar mereproduksi teks-teks tersebut, melainkan menafsirkannya secara kreatif. Sejarah, akan memiliki makna ketika dipertemukan dengan keprihatinan masa kini untuk membangun harapan di masa depan. Di samping kritik teks sejarah, kita harus menempatkan al-Qur’an sebagai teks yang profan (baca: sekuler) bersejajar dengan karya-karya lain. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada sakralisasi al-Qur’an yang sebenarnya tidak sakral—karena sejatinya al-Qur’an adalah wahyu sekuler.


Dengan menempatkan al-Qur’an pada posisi yang tidak sakral tersebut, maka dengan sendirinya kita tidak punya beban psikologis untuk melakukan kritik dan dekonstruksi (baca: liberasi) terhadap makna aslinya. Bahkan jika perlu dilenyapkan eksistensinya untuk memperoleh makna baru atau signifikansi (al-magza)—meminjam istlah Nasr Hamid Abu Zayd. Saya sadar, untuk melakukan itu, diperlukan keberanian dan semangat intelektual. Al-Qur’an harus dilihat dan ditafsir sebagai teks yang hidup dan dikaji secara terus menerus sampai teruji oleh perjalanan sejarah. Karenanya—tidak bisa tidak— seperangkat alat-alat keilmuan yang canggih, di sini wajib kita gunakan. Alat-alat yang saya maksud adalah: pluralisme, liberalisme dan sekulerisme.

Kalifah Usman bin Affan dibunuh dengan kejam, TIDAK ADA KEINDAHAN di era empat Khalifah

1 comment:

  1. setahu saya setelah saya mempelajari filosofis keTuhanan dan filosofis hukum keabadian, ada 3 hal yg perlu kita sadari sebelum kita mempercayai atau mempelajari segala sesuatunya, : 1.bahwa Tuhan yg sejati adalah Tuhan yg memerdekakan, bukan membuat ketergantungan,yg menyelamatkan kita bukanlah agama, tempat ibadah & tokoh agama,melainkan karena anugerah Tuhan sendiri yg secara cuma2 & welas asih diberikan kepada umat ataupun manusia yg sudah dipilihNya sejak didalam kandungan. 2.iblis(satan)meski awalnya membahagiakan (secara duniawi& kedagingan),tetapi pada akhirnya menimbulkan ketakutan dan kekuatiran. Sifat dari pada iblis yg utama adalah sangat ingin membuat ketergantungan dan penderitaan pada umat manusia, agar supaya alam semesta tahu bahwa pemberontakannya itu bukan dibuat2, melainkan ingin membuka mata semua makhluk bahwa ALLAH itu tidak maha sempurna,oknum kegelapan saat ini berusaha keras supaya;"ternyata tanpa Tuhan kita bisa!seolah2 menciptakan kemerdekaan secara raga...tapi dunia jadi rusak oleh pemikiran itu (keuangan,tehnologi,sains),"ternyata Tuhan yg disebut maha sempurna nyatanya tidak! ( meski agama makin banyak, kesadaran org akan religi makin besar, tempat ibadah makin banyak dan makin penuh...tapi kejujuran, kebajikan, ketulusan dan kesucian makin tidak ada, dan kemunafikan serta kejahatan makin nyata dimuka bumi). 3.Ada tiga hal didlm diri kita manusia fana, pikiran& nalar, hati gelap dan hati Terang. Hati gelap pd tahap awal berusaha merubah kita menjadi binatang berwujud manusia, kita kadang tidak sadar kalau yg kita lakukan menyakiti atau mempersulit org atau makhluk lain, tahap berikutnya akan merubah kita menjadi iblis berwujud manusia, kita bisanya bahagia jika bisa mempersulit atau bahkan mencelakai yg lain, sedang Hati Terang berlaku sebaliknya, dan Hati Terang berusaha memandu kita supaya menjauhi laranganNya, dan menjalankan apa yang Dia mau....dan inti dari yg diberikan kepada kita oleh Hati Terang adalah,kita bisanya bahagia jika melihat dam membuat sesama dan semua makhluk bahagia. Dan kita akan dilatih utk meneladani sifat Ilahi, yaitu segala sesuatu yang sulit bahkan amat sulit, akan disederhanakan sehingga semua makhluk bisa memahami dan dengan kesadaran hati mau melakukan apa yang Terang mau....dan mau memberikan pengetahuan yang sudah disederhanakan itu dengan cuma2, sama seperti Tuhan memberikan segala unsur alam yg awalnya sangat rumit, tapi disederhanakan oleh Tuhan dan diberikan secara cuma2 kepada penghuni bumi ( air, udara, tanah, tumbuhan dan semua yang ada dibumi)

    *dan ada 2 hal yg amat penting yg pernah saya pelajari, mungkin agak susah dimengerti,standar yg dipakai di keabadian/ Surga dengan dibumi itu berbanding terbalik. Selama kita masih ketergantungan dengan fisik raga kita (mulut, mata,telinga,perut,alat kelamin) kita masih amat sangat jauh dari gerbang keabadian.....

    ReplyDelete