Sunday, January 6, 2013

Prof Jerman MANTAN MUALAF menduga kemungkinan bahwa Muhammad dianggap Nabi hanya setelah dia mati

Prof. Sven (Muhammad) Kalisch
Oleh Dr. Sami Alrabaa (penulis Kuwait Times)
05 Oct, 2008

Murtad* disini dimaksud secara de facto, tapi belum secara de jure. Sang Profesor hanya menyatakan tidak lagi percaya Muhammad eksis, tapi belum menyatakan diri murtad. Anehnya, bgm ia bisa mengucapkan Surat Fatihah 5x sehari sambil mengucapkan 'Muhamad rasulullah' kalau ia tidak percaya Muhamad eksis ??? (catatan dari penerjemah)

Surah2 yang mengandung ajakan melakukan kekerasan, kebencian, dan diskriminasi terhadap wanita dalam Qur’an dan Sunnah harus dilenyapkan atau dipandang sebagai hal yang hanya cocok untuk sejarah masa lampau saja jika Islam dan Muslim ingin diterima dalam masyarakat modern.

Di awal bulan September 2008, media Jerman melaporkan pendapat dari Profesor Jerman ahli Islam bernama Sven (Muhammad) Kalisch, seorang mualaf yg mengajar ilmu agama Islam di Universitas Munster di Jerman. Prof. Kalisch menyatakan bahwa dia merasa sangat ragu bahwa Muhammad sang Nabi Islam itu pernah benar2 ada. Dia juga menduga kemungkinan bahwa Muhammad dianggap Nabi hanya setelah dia mati


Keberanian ahli Islam seperti Prof. Kalisch mengungkapkan pendapat patut diacungkan jempol, mengingat banyak orang lain ketakutan mengritik Islam karena segala macam intimidasi Muslim. Hampir dua tahun yang lalu, pemikiran dan kuliah Prof. Kalisch sangatlah berbeda dengan sekarang. Contohnya, pada kuliah umumnya di tanggal 16 Maret 2006, dia membela Syariah sebagai hukum Tuhan. Sewaktu aku menentang pendapatnya sambil menunjukkan ayat2 keji Qur’an yang membujuk Muslim utk melakukan kekerasan, kebencian, dan diskriminasi atas wanita (silakan periksa Islam is a violent Faith (Islam adalah Agama Penuh Kekerasan)http://europenews.dk/en/node/13862), dia mulai gelagapan dan tidak tahu harus menjawab apa. 

Sudah jelas bahwa Kalisch secara drastis telah berubah dalam kurun waktu dua tahun, dari Muslim (mualaf) yang kolot mengikuti dogma Islam, menjadi Muslim “liberal” atau KTP saja. Apakah yang terjadi? Kita tidak tahu. Tapi satu hal yang jelas. Bagi kebanyakan Muslim kaffah, Kalisch jelas dianggap bid’ah atau bahkan murtad. Sekarang kita tinggal tunggu saja dikeluarkannya sebuah fatwa bagi pembunuhan Kalisch.

Dalam wawancaranya dengan harian Jerman di tanggal 29 Desember, 2004, Kalisch ditanyai mengapa dia memeluk Islam. Dia menjawab, “Karena nalar dijunjung tinggi dalam Islam.” Nalar?! Ini sungguh suatu hal yang sangat menggelikan. Qur’an dan Sunnah sarat dengan ancaman, ketakutan, benci, kekerasan, dan diskriminasi terhadap kafirun dan wanita. Arti Islam sebenarnya adalah “tunduk,” (dan bukan "menggunakan nalar" !)

Bahkan para mahasiswa Kalisch juga tercengang melihat perubahan dalam dirinya. Salah seorang mahasiswanya berkata padaku, “Aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada Prof. Kalisch. Dia dulu membela mati2an setiap kata dalam Qur’an, bahkan hal yang sudah tidak dilakukan lagi di jaman ini. Sekarang dia malah habis2an menolak Qur’an dan menuntut agar Islam diubah. Dia bahkan berkata bahwa Islam membutuhkan seorang Martin Luther.”

Para mahasiswa Kalisch yang dalam setahun akan lulus dan mulai mengajar di sekolah2 Islam, terbagi dalam kelompok Islam moderat dan Islam sejati (dogmatik – mengikuti ajaran Islam per kata dalam Qur’an). Asisten Kalisch yang bernama Lamya Kaddor sekarang masih mengajarkan Islam dogmatik. Bu Kaddor terkenal di kalangan murid2nya (yang umumnya adalah orang2 Turki dan Arab asli) di Universitas Münster dan Sekolah Negeri Glückauf di kota Jerman Barat bernama Dinslacken-Lohberg dekat Essen, seperti yang ditnaytakan koran Spiegel Online pada tanggal 14 Maret, 2008. Alasan mengapa dia terkenal ternyata tidak dimuat oleh Der Spiegel. Kaddor mengulang-ulang ajaran di hadapan para muridnya bahwa : seluruh dunia takut akan Islam karena Islam mengandung argumen yang kuat dan tak lama lagi Kalifah Muslim, kesultanan Islam, akan berdiri dan berkuasa di seluruh dunia. Karena itu, bergembiralah wahai Muslim!

Menurut harian Turki, Zaman, Kalisch menolak disertasi doktor (S3) Kaddor dengan tuduhan dissertasinya sarat plagiarisme. Kalisch juga menuduh asistennya mengkorupsi uang riset.

Seorang mahasiswa Kalisch mengatakan padaku bahwa mayoritas koleganya lebih memilih mengajarkan berbagai bentuk Islam dogmatik.

Menteri Pendidikan di NRW, sebuah negara bagian Jerman, menunjuk Kalisch untuk melatih guru2 Islam untuk sekolah2 Islam dan telah menetapkan aturan umum pendidikan Islam di sekolah2 NRW. Rincian aturannya tidak dijelaskan.

Ayub Axel Köhler, Ketua Konsul Pusat Muslim di Jerman dan beberapa mahasiswa Kalisch ngotot bahwa sekolah2 di Jerman harus mengajarkan Qur’an dan Sunnah karena “Keduanya adalah firman Allah SWT.”

Wolfgang Borgfeld, yang setelah mualaf lalu mengganti namanya menjadi Muhammad Siddiq, mendirikan organisasi yang disebutnya sebagai “Rumah Islam” di sebelah selatan Frankfurt. “Rumah” ini digunakan sebagai hotel dan tempat untuk berbagai seminar dan konferensi Islam yang didanai orang2 Saudi dan Kuwait. Akan tetapi, rumah ini umumnya merupakan sekolah untuk belajar Qur’an tanpa pengawasan resmi dari Pemerintah.

Baru2 ini aku mengunjungi “Rumah Islam” dan Pak Siddiq dengan gembira menunjukkan sekolahnya dan mempertemukan aku dengan murid2nya. Aku jadi ingin tahu apakah yang telah dipelajari murid2nya (8 sampai 18 tahun). Aku bertanya pada seorang murid perempuan berusia 16 tahun mengapa dia pakai jilbab. Dia menjawab bahwa dia sangat bangga dengan jilbabnya karena ini berarti dia memenuhi perintah Allah SWT.

Aku bertanya pada murid laki berusia 15 tahun apakah arti Jihad. Dia menjawab, “Jihad berarti berperang bagi Islam agar Islam menang.”

Aku bertanya lebih lanjut, “Apakah perlu pakai senjata?” Dia menjawab dengan tegas, “Jika perlu, YA harus pakai senjata.”

Rumah Siddiq ini memiliki sekitar 60 murid. Sepertiga dari mereka adalah mualaf dan mereka benar2 Muslim kaffah. Uta Rasche menulis di Frankfurter Allgemeine (September 1, 2004):
“Jumlah mualaf di Jerman adalah sekitar 13.000 sampai 60.000 berdasarkan beberapa perhitungan. Secara umum, mereka merupakan jumlah kecil dari 3 juta Muslim di Jerman. Tapi banyak mualaf yang punya kisah2 istimewa. Seringkali mereka sangat erat memeluk Islam – dan kadang2 mereka jadi berbahaya. Mereka ingin membuktikan pada umat Muslim bahwa mereka serius memeluk Islam dan ingin menunjukkan komitmen agamanya.”

Rasche melanjutkan:
“Memang benar bahwa tidak semua madrasah Islam menghasilkan Muslim ekstrimis dan tidak semua mualaf jadi teroris. Tapi tatkala fundamentalis Islamis mencari orang2 di Jerman yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan2 mereka, para mualaf baru ini seringkali jadi target yang ideal: mereka penuh semangat akan Islam, ingin membuktikan jati dirinya sebagai Muslim, telah memutuskan segala hubungan dengan rekan2 kafir Baratnya demi umat Muslim. Ada pula kelebihan dari mereka: mereka punya passport Jerman sehingga bisa pergi bebas ke seluruh Eropa, mampu berbahasa Inggris dengan baik, dan tidak tampak mencurigakan sama sekali."

Gudrun Krämer, seorang profesor ahli Islam dari Universitas Berlin (Berlin University (FU)) juga mendukung anggapan Professor Kalisch bahwa Muhammad sang pemimpin Muslim sebenarnya “mungkin tidak pernah ada.” Profesor wanita ini menjelaskan bahwa dia telah memikirkan akan hal itu dan berakhir dengan kesimpulan yang sama. Jika memang benar begitu, mengapa dunk dia membela Qur’an yang di setiap artikel dan buku yang ditulisnya? Contohnya, dia mencoba membenarkan ajaran Qur’an yang menerapkan diskriminasi terhadap wanita yang jadi saksi hukum. Penjelasan dia mengapa kesaksian wanita hanya separuh nilai kesaksian pria dalam Qur’an adalah karena saat wanita mengalami datang bulan, mereka tidak bisa berpikir dan mengingat dengan jelas. Lagipula, tambahnya, para wanita tersebut buta huruf. Padahal kenyataannya, sebagian besar pria di jaman Islam awal juga buta huruf.
(Adadeh: Nabinya sendiri juga buta huruf!!)

Krämer bukanlah satu2nya ahli Islam relatif (plintat-plintut) di dunia Barat. Sampai sekarang, tiada satu pun para ahli Islam ini yang berani mengritik Qur’an dan Sunnah yang penuh ajaran melakukan kekerasan, kebencian dan diskriminasi terhadap wanita dan kafirun. George Stauth, ahli Islam relatif lainnya, membela Islam sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan konsumerisme modern Barat. Stauth menambahkan bahwa Islam merupakan “gerakan protes” terhadap korupsi dan kemiskinan di dunia Muslim.

Jika memang begitu alasannya, maka para Islamis, yang melakukan kekerasan, kebencian, dan diskriminasi terhadap kafir dan wanita berdasarkan Qur’an dan Sunnah, sudah jelas tidak akan mampu memperbaiki keadaan umat Muslim. Jika para Islamis ini berkuasa, mereka akan mengganti satu bentuk kejahatan dengan kejahatan lain yang lebih buruk. Mereka akan menolak pluralisme dalam politik dan agama sama sekali.

Dalam segala kasus, kami para Muslim punya hak melaksanakan ibadah agama Islam, sama seperti umat agama lain. Tapi di saat yang sama, kita harus bersikap tidak peduli dengan ayat2 Qur’an dan Sunnah yang mengajarkan pelanggaran hak azasi manusia, atau kita bisa bekukan ayat2 itu, atau diskusikan ayat2 itu dalam konteks sejarah masa lalu saja. Pengikut2 ajaran agama lain telah melakukan hal tersebut, contohnya, umat Kristen, Yahudi, dll.

Bukan masalah apakah Nabi Muhammad itu pernah ada atau tidak. Akan tetapi, Islam adalah kenyataan hidup. Tapi jika kita umat Muslim ingin diterima masyarakat dunia, maka kita harus menolak kekerasan, kebencian dan diskriminasi terhadap kaum wanita. Kita harus menerima keberadaan agama lain seperti umat agama lain menerima kita.

Jalan mencapai tujuan itu akan panjang dan berduri. Baik masyarakat Barat maupun Muslim yang cinta damai harus bekerja sama untuk mencapainya. Kuliah2 Islam relatif dan rasa takut untuk menyatakan kebenaran hanyalah memperkuat kaum Islamis dan ideologi mereka yang menghancurkan. Perang melawan ekstrimisme dan fanatisme harus dimulai.

No comments:

Post a Comment