Majapahit merupakan sebuah kerajaan terbesar di Nusantara ini yang mampu menyatukan Nusantara dari sabang sampai merauke terutama sejak pemerintahan Raja Hayam Wuruk bersama Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya.
Sebagai seorang mahkluk penghuni Nusantara ini tentulah bangga hati ini memiliki sejarah leluhur dengan budaya yang luar biasa ini, bangga dan rindu akan kebesaran Majapahit yang terbukti bisa menyatukan Nusantara dengan Rakyatnya adil makmur “Gemah Ripah Loh Jinawi”.
Namun banyak hal yang belum kita ketahui tentang sejarah Bangsa Indonesia ini saat itu. Seperti ditelan bumi cerita sejarah kerajaan dan candi-candi di nusantara ini terupakan. Candi Borobudur, Prambanan, dan candi-candi lainnya sebagai warisan leluhur kita terbengkalai seperti tidak ada yang peduli lagi dengan keberadaannya. Bukankah kita sering mendengar ungkapan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya?
Begitu inginnya hati ini sedikit mengorek tentang sejarah nusantara, tidak sengaja dipertemukan tentang sebuah catatan dan kutipan sejarah Majapahit. Bagaimana Kerajaan Majapahit berakhir di masa itu? Apakah benar-benar berakhir?
Dengan tidak bermaksud untuk menyinggung masalah SARA namun semata-mata hanya keinginan untuk mengetahui kembali sejarah Nusantara, Kutipan ini saya ambil dari sebuah Forum Sabda Palon.
Marilah kita mulai cerita ini dengan susunan Raja Majapahit:
Susunan Raja-Raja dari Kerajaan Mojopait, dari awal sampai akhir yaitu mulai dari berdiri hingga keruntuhannya, hanya 7 kali turunan, ialah:
Raja Browijoyo I = Joko Sesuruh atau R.Wijaya
Raja Browijoyo II = Jayanegara atau Prabu Anom
Raja Browijoyo III = Adiningkung
Raja Browijoyo IV = Hayamwuruk
Raja Browijoyo V = Lembu Aminisani
Raja Browijoyo VI = Brotanjung
Raja Browijoyo VII = Raden Alit ayah dari Raden Fatah (Prabu Brawijaya).
Dalam serat Dharmagandhul (Serat Dharmo Gandul) pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon Naya Genggong di Blambangan.
Pertemuan terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah (Putra Prabu Brawijaya dari Putri Campa/Dara Petak putri saudagar Cina Muslim) yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam.
Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya (Raden Alit) mereka berpisah.
Sebelum perpisahan terjadilah ucapan-ucapan seperti pada Kidung Pupuh Sinom berikut ini:
SABDA PALON NAYA GENGGONG
Pupuh Sinom:
1). Pada sira ngelingana
Carita ing nguni-nguni
Kang kocap ing serat babad
Babad nagri Mojopahit
Naika duking nguni
Sang-a Brawijaya Prabu
Pan Samya pepanggihan
Kaliyan Njeng Sunan Kali
Sabda Palon Naya Genggong rencangira
Artinya :
Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang Negara Mojopahit, Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.
2). Sang – a Prabu Brawijaya
Sabdanira arum manis
Nuntun dhateng punakwan
“Sabda palon paran karsi”
Jenengsun sapuniki
Wus ngrasuk agama Rosul
Heh ta kakang manira
Meluwa agama suci
Luwih becik iki agama kang mulya
Artinya:
Prabu Brawijaya berkata lemah-lembut kepada punakawannya: “Sabda palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu. Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.
3). Sabda Palon matur sugal,
“Yen kawula boten arsi,
Ngrrasuka agama Islam
Wit kula puniki yekti
Ratuning Dang Hyang Jawi
Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata,
Kang jemeneng Tanah Jawi,
Wus pinasthi sayekti kula pisahan”.
Artinya:
Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tidak masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dah Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Sudah digariskan kita harus berpisah.
4). Klawan Paduka sang Nata,
Wangsul maring sunya ruri,
Nung kula matur petungna,
Ing benjang sakpungkur mami,
Yen wus prapta kang wanci,
Jangkep gangsal atus tahun,
Wit ing dinten punika,
Kula gantos kang agami,
Gama Budha kula sebar tanah Jawa.
Artinya:
Berpisah dengan Sang Prabu kembali keasal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi (maksudnya kawruh budhi/pengetahuan budhi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
5). Sinten tan purun nganggeya,
Yekti kula rusak sami,
Sun sajeken putu kula,
Berkasakan rupi-rupi,
Dereng lega kang ati,
Yen during lebur atempur,
Kula damel pratandha,
Pratandha tembayan mami,
Hardi Merapi yen wus rijeblug mili lahar.
Artinya:
Bila tidak ada yang mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya..
6). Ngidul ngilen purugina,
Ngganda banger ingkang warih,
Nggih punika medal kula,
Wus nyebar Agama Budi,
Merapi janji mami,
Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata,
Sadaya gilir gumanti,
Boten kenging kalamunta kaowahan.
Artinya:
Lahar tesebut mengalir ke barat daya. Baunya tidak sedap. Itulah pratanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Budha (maksudnya kawruh budhi/pengetahuan budhi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus berganti. Tidak dapat bila dirubah lagi.
7). Sanget-sangeting sangsara,
Kan tuwuh ing tanah Jawi,
Sinengkalan tahunira,
Lawon Sapta Ngesthi Aji,
Upami nyabrang kali,
Prapta tengah-tengahipun,
Kaline bajir bandhang,
Jerone ngelebne jalmi,
Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
Kelak waktunya paling sengsara di tanah jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesti Aji (1.878 atau 1.877). Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang ditengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8). Bebaya ingkang tumeka,
Warata sa Tanah Jawi,
Ginawe kang paring gesang,
Tan kenging dipun singgahi,
Wit ing donya puniki,
Wonten ing sakwasanipun,
Sadaya pra Jawata,
Kinarya amertandhani,
Jagad iki yekti anak akng akarya.
Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
9). Warna-warna kang bebaya,
Angrusaken Tanah Jawa,
Sagung tiyang nambut karya,
Pamedal boten nyekapi,
Priyayi keh beranti,
Sudagar tuna sadarum,
Wong glidhik ora mingsra,
Wong tani ora nyukupi,
Pametune akeh serna aneng wana,
Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.
10). Bumi ilang berkatira,
Ama kathah ingkang ilang,
Cinolong dening sujanmi,
Pan sisaknya nglangkungi,
Karana rebut rinebut,
Risak tetaning janma,
Yen dalu grimis keh maling,
Yen rina-wa kathah tetiyang ambegal.
Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang mnyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tetapi bila siang hari banyak begal.
11). Heru hara sakeh janma,
Rebutan ngupaya bukti,
Tan ngetang angering praja,
Tan tahan perihing ati,
Katungka praptaneki,
Pageblug ingkang linangkung,
Lelara ngambra-ambra.
Waradin saktanah Jawi,
Enjing sakit sorenya sampun pralaya.
Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan Negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut masih berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12). Kasandung wohing pralaya,
Kaselak banjir ngemasi,
Udan barat salah mangsa,
Angin gung anggegirisi,
Kayu gung brasta sami,
Tinempuhing angina angun,
Katah rebah amblasah,
Lepen-lepen samya banjir,
Lamun tinon pan kados samodra bena.
Bahaya penyakit luar biasa. Disana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir, sehingga bila dilihat persis lautan pasang.
13). Alun minggah ing daratan,
Karya rusak tepis wiring,
Kang dumunung kering kanan,
Kajeng akeh ingkang keli,
Kang tumuwuh apinggir,
Samya kentir trusing laut,
Sela geng sami brasta,
Kabalebeg katut keli,
Gumalundhung gumludhug suwaranira.
Seperti lautan meluap arinya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri, Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan bergemuruh suaranya.
14). Hardi agung-agung samya,
Huru-hara nggeririsi,
Gumleger suwaranira,
Lahar wutah kanan kering,
Ambleber angelelebi,
Nrajang wana lan desagung,
Manugsanya keh brasta,
Kebo sapi samya gusis,
Surna gempang tan wenten mangga puliha.
Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap kekanan serta kekiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15). Lindu ping pitu sedina,
Karya sisahing sujanmi,
Sitinipun samya nela,
Brekasakan kang ngelesi,
Anyeret sagung janmi,
Manungsa pating galuruh,
Kathah kang nandhang roga,
Warna-warni ingkang sakit,
Awis waras akeh kang praptng pralaya,
Gempa bumi 7 kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia masuk ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16). Sabda Palon nulya mukswa,
Sakedhap boten kaeksi,
Wangsul ing jaman limunan,
Langkung ngungun Sri Bupati,
Njegreg tan bisa angling,
Ing manah langkung gegetun,
Keduwung lepatira,
Mupus karsaning Dewadi,
Kodrat itu sayekti tan kena owah.
Artinya:
Demikian kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi dirinya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin dirobah lagi.
——-
Kidung Pupuh Sinom ini masih sering dinyanyikan bahkan diyakini di tanah Jawa maupun di tanah Bali.
dari Serat Dharmo Gandul, Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya dalam ungkapannya dikatakan :
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
Artinya : (“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang (arti kiasnya: sebagai pedoman hidup), Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)
Kalau menyusuri sejarah maka tahun 1478 Mojopahit jatuh. Kerajaan di Jawa Timur yang masih bertahan adalah Blambangan, hingga akhirnya Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra), ke Bali tahun 1489 M.
Dalam hal ini yang dimaksud Sabda Palon di tanah Jawa adalah Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra).
Apakah ini hanyalah sebuah mitos, atau memang merupakan sejarah yang sebenarnya terjadi?
Kebenaran dari cerita ini perlu lebih banyak pembandingan dan pembuktian yang bisa dilihat di beberapa pustaka seperti: Serat Dharmo Gandul Sabdo Palon, Dwijendra tatwa, dan lain-lain.
Bila ini memang benar adanya maka kita semua tahu dan sadar bahwa kita sedang berada di jaman dimana kebangkitan Kerajaan Majapahit dan Sabda di atas sedang berlangsung.
http://imadeharyoga.com/2009/09/menunggu-bangkitnya-kerajaan-majapahit/
No comments:
Post a Comment