Keadaan politik sosial dunia Islam tidak
menghasilkan pendidikan yang mendorong kebebasan berpikir para murid seperti di
dunia Barat.
“Kendali anak tidak berasal dari ayahnya,
tapi dari penguasa negara. Tidak ada satupun penguasa mutlak yang bersedia
memberi peluang pada sistem pendidikan yang nantinya bakal mengakibatkan sang
penguasa kehilangan kekuasaannya.
Pendidikan, sama seperti berbagai badan
sosial modern lainnya, telah dikontrol oleh Pemerintah. Sistem pendidikan Arab
bertujuan untuk mengontrol masyarakat, dan bukannya kesadaran pribadi.”
Pendidikan telah mengajarkan “aturan hidup di
dunia modern tapi tidak menawarkan teknik dan semangat hidup itu sendiri.”
Dengan kata lain, universitas-universitas tidak menghasilkan mahasiswa yang dapat
mandiri berpikir untuk diri mereka sendiri, mampu mengritik diri sendiri atau
berpikir kritis, yang mampu menerapkan kemampuan analisis mereka pada
masalah-masalah sosial.
Di Mesir, para Islamis telah menyelusup di
25.000 sekolah-sekolah negeri. Mereka mencuci otak anak-anak dengan memainkan
rekaman suara penuh khotbah-khotbah kemarahan dari para pengkhotbah militan
seperti Sheikh Kishk dan Sheikh Omar Abdel Rahman. Anak-anak kecil ini diajar untuk mengenal diri mereka sebagai Muslim
dan bukannya orang Mesir.
Di Aljeria, seorang ayah mengeluh, “Putriku
meminta ijin padaku untuk pergi mendengar khotbah agama setiap hari. Gurunyalah
yang mengajarkan dia. Ini bagaikan menusuk diriku di rumahku sendiri.
Sikap fundamentalis seperti inilah yang harus
kita basmi. Ajaran-ajaran sekolah yang terbalik
inilah yang membentuk para fundamentalis. Ajaran-ajaran Islam belum disesuaikan
dengan keadaan modern sehingga orang dapat mudah terpengaruh untuk bersikap
prejudis (prasangka-curiga tanpa sebab yang jelas).
” Seorang Aljeria lain berkata, “Aku
dulu berpikir hanya Allah yang dapat menyelamatkan Aljeria. Tapi aku seringkali
merasa Dialah sumber segala kesengsaraan kami.”
Di sekolah-sekolah dasar, para murid diminta
untuk menghafal ayat-ayat Qur’an dalam bahasa Arab, bahkan pula di negara yang
tidak berbahasa Arab sekalipun. Tidak heran jika anak-anak itu tidak mengerti
apa yang mereka hafalkan. Sewaktu anak-anak ini dewasa dan masuk universitas,
tiada perubahan berarti dalam tingkah laku mereka; inilah yang dikatakan oleh
Shabbir Akhtar yang mengajar di International Islamic University di Malaysia
tahun 1990-an, tentang bekas mahasiswa-mahasiswanya: “Aku khawatir akan bekas
mahasiswaku. Dalam Islam, dan juga dalam Yudaisme dan Kong Hu Cu, ayat-ayat
perlu dihafal secara persis. Beberapa mahasiswa tidak hanya hafal Qur’an tapi
juga berusaha menghafal semua hal tentang Islam. Mahasiswa yang hebat adalah
yang hafal semuanya.”
Di hari terjadinya pembantaian turis di Luxor,
Mesir, harian Al Goumhouriya dengan berani menulis, “Semua orang Mesir
bertanggung jawab atas kejadian ini. Masyarakat kita telah disusupi oleh
kriminal-kriminal ini dan kita jadi tempat persembunyian nyaman mereka. Mereka
hidup, sembunyi, membunuh dan lalu kembali lagi hidup diantara kita.
[Universitas agama Islam Al Azhar dan madrasah-madrasah] penuh dengan
orang-orang yang dicuci otaknya dengan ajaran Islam. Demikian tulisan Mahfouz
al Ansari yang menyatakan Al Azhar dan madrasah adalah pabrik penghasil para
ekstrimis-terroris.
No comments:
Post a Comment