Kegagalan membentuk negara-negara modern terjadi dalam
dunia Islam. Edward Said menjelaskan hal ini, “Sejarah dunia Arab modern –
dengan kegagalan politiknya, pelanggaran kemanusiaan, kebobrokan militer yang
mencengangkan, nilai produktivitas yang semakin berkurang, orang-orang Arab
yang tidak berprestasi dalam perkembangan demokrasi, teknologi, dan ilmu
pengetahuan – babak belur karena penerapan aturan-aturan dan gagasan-gagasan
yang ketinggalan jaman, …
“Kegagalan ini juga terjadi pada banyak negara-negara
Islam non-Arab. Jumlah masyarakat Muslim meningkat, tapi pemerintah tidak mampu
memenuhi kebutuhan mereka, tidak mampu menciptakan lowongan kerja, perumahan,
fasilitas-fasilitas kesehatan, transportasi, inflasi tak terkendali, dan penuh
dengan pelanggaran kemanusiaan (penyiksaan, hukum yang memihak, pembunuhan bagi
yang berani menentang pemerintah).
Kegagalan ini digembar-gemborkan oleh para Islamis guna
mendongkrak ketenaran diri sendiri, guna lebih berkuasa, dan akhirnya malah
meningkatkan Islamisasi dalam masyarakat.
Mungkin kau akan bertanya: bagaimana kaum ulama bisa
berkuasa? Jawabnya yang pertama adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an berlaku bagi semua
Muslim, dan tidak hanya para “fundamentalis” saja, karena Al-Qur’an merupakan
perkataan Tuhan sendiri. Firman Tuhan berlaku sepanjang masa dan tempat,
kebenarannya mutlak dan tidak boleh dikritik atau dipertanyakan. Kalau berani
mempertanyakan Al-Qur’an itu berarti menentang firman Tuhan dan ini dianggap
sebagai penghujatan.
Tugas seorang Muslim adalah percaya dan tunduk di bawah
firman Tuhan. Karena pentingnya Al-Qur’an dan Sunnah, maka diperlukan
orang-orang yang mampu mengartikan ayat-ayat dan pesan-pesan suci itu. Mereka
itu adalah para ulama. Karena kekuasaan ulama semakin besar dalam masyarakat,
mereka jadi tambah percaya diri dan mengaku sebagai orang yang berhak mengurus
segala perihal agama dan negara. Doktrin masyarakat harmonis Muslim (ijma) juga
akhirnya memberi mereka kekuasaan mutlak.
Semua agama yang memerlukan ketaatan mutlak kepada
pemimpin agama (ulama) tidak akan menghasilkan masyarakat yang mampu untuk
BERPIKIR SECARA KRITIS; masyarakat yang mampu berpikir sendiri.
Keadaan ini tentunya menguntungkan para ulama yang berkuasa dan merekalah yang
menyebabkan kecerdasan, budaya, ekonomi masyarakat Islam diam di tempat selama
beberapa abad. Dalam perkembangan sejarah Islam, tiada pemisahan antara negara
dan agama. Segala kritik tentang satu hal dipandang sebagai kritik tentang hal
lain.
Setelah Perang Dunia II, masyarakat Muslim dunia ketiga
mengartikan Islam secara salah sebagai paham Nasionalisme. Kritik terhadap
Islam dianggap sebagai kritik Nasionalisme, dan karenanya yang berani mengritik
Islam dianggap anti nasionalis dan berpihak pada penjajah dan imperialis. Tiada negara Islam yang mampu
mengembangkan demokrasi yang stabil. Muslim terus saja ditindas penguasa mereka
sendiri. Di bawah penindasan tersebut, masyarakat Muslim tidak mampu melakukan
kritik sosial yang membangun, padahal pemikiran kritis dan kemerdekaan
merupakan satu kesatuan.
Unsur-unsur di atas menjelaskan mengapa Islam umumnya
tidak pernah diperiksa dan dipelajari secara ilmiah. Islam tidak mendorong
penemuan-penemuan baru dan segala masalah dilihat sebagai masalah agama dan
bukan masalah sosial atau ekonomi.
Kebanyakan negara-negara dunia Islam menerapkan sebagian
atau seluruh hukum Sharia. Turki adalah perkecualian dengan melakukan pemisahan
mutlak antara negara dan agama, menghilangkan kata Islam dari UU negara, dan menolak
Sharia. Berlakunya hukum negara Islam bisa dilihat di Iran yang
menerapkan agama sebagai pusat sumber hukum. Negara lain seperti Syria hanya
menganut Sharia sebagai gagasan dasar UU negara. Saudi Arabia tidak punya
UU negara tertulis dan menganut Sharia sebagai hukum negara.
Karena ingin tetap berkuasa dan cari-cari alasan atas
kegagalan ekonomi negara, para pemimpin negara-negara Muslim kompromi dengan
para ulama, yang pada akhirnya juga minta kekuasaan bagi diri mereka sendiri
pula. Para Sheikh, imam, ulama yang khotbah di mesjid-mesjid semakin lama
semakin ganas dan kaset khotbahnya laku keras, semakin mendapat tempat di hati
pendengarnya kaum muda Muslim yang frustasi dengan keadaan ekonomi mereka.
Islam bagaikan obat bagi penderitaan harian mereka dan khayalan untuk dapat
hidup yang lebih baik di masa depan.
Baca: Averroes (1126–1198)
superseded by Ibn Taimiya (1263-1328)
No comments:
Post a Comment