Friday, July 6, 2012

Perbandingan pemisahan negara dan agama dalam bangsa Eropa vs Islam


Tiadanya Pemisahan Mutlak antara Negara dan Mesjid (Agama).

Sekulerisme berdiri tegak di akhir abad ke-19 di negara-negara Protestan di Eropa, tapi pertama kali muncul di negara-negara Protestan di Eropa Utara di abad ke 17 setelah konflik Protestan-Katolik, dan sekulerisme ditegakkan setelah terjadi revolusi Amerika dan Perancis di abad ke-18. Orang bahkan bisa mengatakan bahwa sekulerisme memang bagian dari Kristen dari perkataan Yesus di Matius 22:21: “Berikan bagian Kaisar untuk Kaisar, dan berikan bagian Tuhan untuk Tuhan.”

Akan tetapi bagi Muslim, Tuhan adalah Kaisar, negara adalah negara milik Tuhan, tentara adalah tentara milik Tuhan, musuh adalah musuh Tuhan, dan di atas semuanya, Hukum Negara adalah Hukum Tuhan. Masalah pemisahan mesjid dan negara tidak berasal dari keberadaan mesjid itu sendiri, sebab dalam Islam, mesjid dan negara adalah satu dan sama. Muhammad itu nabi dan sosok militer, nabi dan negarawan. Karirnya sebagai negarawan sama pentingnya dengan tujuan kenabiannya. Karena itu dari awal, Islam sama halnya dengan penerapan kekuasaan. Dalam bahasa Arab kuno tidak ada pemisahan bagi kata “awam” dan “eklestial,” “rohani” dan “duniawi,” “sekuler” dan “agamawi.” Islam tidak membedakan hal-hal itu karena Islam mengatur semuanya dan menganut hukum atas seluruh kehidupan umatnya.

--
Masyarakat Barat mengembangkan badan-badan negara yang sangat penting bagi terbentuknya demokrasi dan sekulerisme. Salah satu badan itu adalah Badan Perwakilan Masyarakat (atau DPR), yang fungsinya sama seperti yang dijalankan dalam Undang-undang Romawi. Undang-undang ini melindung hak warga negara untuk diperlakukan sebagai badan usaha pribadi (corporate person) yang berhak membeli dan menjual, membuat persetujuan dagang, tampil sebagai pihak yang membela haknya, dll. Tiada hukum Islam yang setara dengan hukum perwakilan rakyat Romawi seperti itu. Islam tidak mengakui hak Muslim sebagai badan perusahaan pribadi. Hal ini dikatakan pula oleh Joseph Schacht: “Islam tidak mengenal hak-hak individual, bahkan keuangan masyarakat pun tidak dipandang sebagai sebuah badan tersendiri.”

Satu dari fungsi utama badan-badan perwakilan pemerintahan Barat adalah penetapan hukum negara, tapi hal ini pun tidak ada dalam hukum Islam, sehingga tidak diperlukan badan perwakilan apapun dalam negara-negara Islam. Negara Islam adalah negara agama yang diatur Tuhan. Bagi Muslim mu’min, hukum negara berasal dari Tuhan saja, dan penguasa negara berkuasa melalui hukum Tuhan, dan bukan hukum buatan manusia.

Pemimpin negara hanya mengartikan hukum-hukum Tuhan yang diturunkan melalui Muhammad. Karena tiadanya badan perwakilan masyarakat, Islam tidak mengembangkan prinsip-prinsip perwakilan, atau tata cara apapun untuk memilih wakil rakyat atau pemilu. Karena itulah maka tidak heran, seperti yang dikatakan Lewis, jika sejarah negara-negara Islam adalah “contoh kepemimpinan mutlak (absolut-totaliter). Muslim tunduk penuh di bawah pemimpin Islam sebagai bagian dari ibadah. Dengan sendirinya, tidak taat pada Pemerintah Islam merupakan dosa dan juga pelanggaran hukum.”

--
Islam mengaku sebagai kebenaran sejati, unggul di atas segala kepercayaan, satu-satunya kebenaran, dan diwahyukan pada satu orang saja, menghasilkan satu buku saja: Al-Qur’an. Sudah kewajiban Muslim untuk membuat seluruh dunia memeluk Islam. Hal ini dinyatakan pula oleh Frithjof Schuon, “…Muslim cenderung percaya bahwa non-Muslim tahu bahwa Islam merupakan kebenaran mutlak dan menolaknya karena keras kepala; atau non-Muslim itu benar-benar tidak tahu akan Islam dan dapat diajak masuk Islam melalui penjelasan singkat tentang Islam. MUSLIM TIDAK MAMPU MENGHADAPI KENYATAAN BAHWA NON-MUSLIM DAPAT MENENTANG ISLAM BERDASARKAN NURANI SENDIRI. Hal ini karena Islam telah tertanam sangat dalam di benak Muslim dan ini menghalangi mereka berpikir logis.” Aku tidak menentang pernyataan ini sama sekali.

Baca:
Islamists not successful with peasants, or rural elite, but urban poor, looking for help & meaning. Cf. E.Gellner, pp 9-15.’ High Islam / Low Islam, of the scholars/people respectively.

No comments:

Post a Comment