Perang Badr: kemenangan terbesar jihad Islam yang pertama
· Penjelasan teologis mengenai perang Badr
· Kontroversi di seputar rampasan perang
· Peperangan Muhammad melawan suku-suku Yahudi
· Muhammad memerintahkan pambantaian atas musuh-musuhnya
· Orang Quraysh menyerang balik: Perang Uhud
Perang Badr
Dengan semakin memburuknya hubungan Muslim dengan orang Yahudi, mereka kemudian mencapai titik akhir perpisahan mereka dengan orang Quraysh. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan orang Muslim terhadap karavan-karavan Quraysh menimbulkan perang besar Muslim yang pertama. Muhammad mendengar bahwa sejumlah besar karavan Quraysh yang memuat uang dan barang sedang dalam perjalanan dari Syria. “Ini adalah karavan orang Quraysh yang membawa harta”, katanya pada para pengikutnya. “Nampaknya Allah akan memberikannya padamu sebagai jarahan”.(1) Ibn Ishaq melaporkan bahwa “orang-orang itu menanggapi perintahnya, ada yang penuh semangat, sedang yang lainnya agak enggan karena mereka tidak berpikir bahwa rasul akan pergi berperang”. Muhammad menerima sebuah wahyu dari Allah yang mencaci-maki orang Muslim yang tidak mau berperang bagi sang nabi Islam: “Dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surat? Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka” (Sura 47:20).
Allah memerintahkan para pengikut Muhammad untuk berperang dengan kejam dan memenggal kepala musuh-musuh mereka: “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka; sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti” (Sura 47:4a). Ia mengingatkan mereka bahwa ini adalah kehendak-Nya, dan sebuah ujian yang diberikan-Nya kepada mereka: “Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka” (Sura 47:4b).
Muhammad bersiap pergi ke Mekkah untuk memimpin penyerangan. Ia tahu bahwa orang Quraysh akan mempertahankan karavan mereka dengan pasukan tentara kali ini, tapi ia yakin: “Majulah dengan berani”, katanya pada pasukannya, “karena Tuhan telah menjanjikan padaku salah-satu dari keduanya” – yaitu entah karavan atau tentaranya. “Dan demi Tuhan, sekarangpun aku sudah dapat melihat musuh (kita) bersujud”.(2) Ketika ia melihat orang Quraysh maju mendekati orang Muslim, ia berdoa: “Oh Tuhan, sudah datang orang Quraysh itu dengan kesombongan dan kehampaan mereka, melawan Engkau dan memanggil rasul-Mu seorang pembohong. Oh Tuhan, berikanlah pertolongan yang telah Engkau janjikan padaku. Hancurkanlah mereka pagi ini!”(3) Seorang pemimpin Quraysh, Abu Jahl (yang berarti “Bapa kebebalan”, nama yang diberikan padanya oleh sejarawan Muslim; nama aslinya adalah ‘Amr ibn Hisham), juga merasa bahwa sebuah peristiwa yang penting akan terjadi. Sambil meminyaki jubah sebelum berperang, ia berkata: “Tidak, demi Tuhan, kita tidak akan mundur hingga Tuhan memutuskan antara kita dengan Muhammad”.(4)
Dan kali ini orang Quraysh sudah lebih siap untuk menghadapi orang Muslim ketimbang waktu mereka berperang di Nakhla. Mereka menemui 300 pengikut Muhammad dengan kekuatan hampir 1000 orang.(5) Muhammad nampaknya tidak menduga jumlah itu dan berteriak kepada Allah dalam kecemasan: “Oh Tuhan, jika gerombolan ini binasa hari ini, Engkau akan lebih lagi disembah”. Tapi setelah beristirahat sebentar Muhammad merasa lebih baik, dan berkata kepada pengikut utamanya Abu Bakr, yang akan menggantikannya sebagai pemimpin orang Muslim: “Kuatkanlah hatimu, Abu Bakr. Pertolongan Tuhan telah datang padamu. Lihatlah Jibril memegang tali kekang kuda dan memimpinnya. Debu ada di gigi depannya”.(6)
Muhammad berkuda diantara pasukannya dan memberikan sebuah janji yang penting – janji yang telah memberanikan hati para pejuang Muslim di sepanjang abad: “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad, tidak seorangpun yang akan dibunuh pada hari ini saat memerangi mereka dengan keberanian penuh dan tidak mundur karena Tuhan akan membuatnya masuk ke Firdaus”. Salah seorang dari pejuang Muslim, ‘Umar bin al-Humam, berkata: “Baiklah, baiklah! Tidak adakah sesuatu hal diantara aku dan jalanku menuju ke Firdaus yang harus dibunuh oleh orang-orang ini?” Ia melemparkan beberapa kurma yang telah dimakannya, bergegas ke medan perang yang dahsyat, dan bertempur sampai ia terbunuh. Juga seorang pejuang Muslim, ‘Auf bin Harith, bertanya pada Muhammad, “Wahai rasul Allah, apakah yang membuat Allah tertawa dengan sukacita pada hamba-Nya?” Muhammad menjawab, “Ketika ia terjun ke tengah-tengah musuh tanpa perlindungan”. ‘Auf menanggalkan jubahnya dan terjun ke tengah pertempuran, bertempur dengan sekuat tenaga hingga ia terbunuh.(7)
Sang nabi Islam mengambil beberapa kerikil dan melemparkannya ke arah orang Quraysh, dan berkata: “Busuklah wajah-wajah itu!” Kemudian ia memerintahkan orang-orang Muslim untuk menyerang.(8) Walaupun jumlah mereka lebih banyak, orang Quraysh mengalami kekalahan. Beberapa tradisi Muslim mengatakan bahwa Muhammad sendiri turut serta dalam peperangan; yang lainnya menceritakan bahwa ia hanya memberi semangat pada para pengikutnya dari pinggir medan perang. Dalam peristiwa apapun, itu adalah kesempatan baginya untuk membalas dendamnya karena selama bertahun-tahun dijalaninya dengan frustrasi, penolakan, dan kebencian kepada kaumnya yang telah menolaknya. Salah seorang pengikutnya kemudian teringat akan sebuah kutuk yang diucapkan Muhammad terhadap para pemimpin Quraysh: “Nabi berkata, ‘O Allah! Hancurkanlah para pemimpin Quraysh, O Allah! Hancurkanlah Abu Jahl bin Hisham, ‘Utba bin Rabi’a, Shaiba bin Rabi’a, ‘Uqba bin Abi Mu’ait, ‘Umaiya bin Khalaf (atau Ubai bin Khalaf)’”.(9)
Semua orang ini ditangkap atau dibunuh dalam perang Badr. Seorang pemimpin Quraysh yang namanya disebut dalam kutuk itu, ‘Uqba, mohon belas kasihan atas hidupnya: “Siapakah yang akan mengurus anak-anakku, wahai Muhammad?”
Dalam konfrontasi itu, ‘Uqba telah melemparkan kotoran unta, darah dan isi perut kepada nabi Islam, demi kesenangan pemimpin Quraysh, ketika Muhammad sedang sujud bersembahyang.(10) Muhammad telah mengucapkan kutuk atas mereka, dan kini kutuk itu sedang digenapi. Siapa yang akan memperhatikan anak-anak ‘Uqba? “Neraka”, kata Muhammad, lalu ia memerintahkan agar ‘Uqba dibunuh.(11)
Abu Jahl dari kaum Quraysh dipenggal. Orang Muslim yang memenggal kepalanya dengan bangga membawanya sebagai trofi kepada Muhammad: “Aku telah memenggal kepalanya dan membawanya kepada rasul dan berkata, ‘Inilah kepala dari musuh Tuhan, Abu Jahl’”.
Muhammad sangat senang. “Demi Tuhan dan bukankah tiada yang lain selain Dia?” katanya, dan bersyukur kepada Allah atas kematian musuhnya.(12)
Menurut catatan lainnya, dua orang muda Muslim membunuh Abu Jahl ketika ia sedang “berjalan diantara kaumnya”. Salah seorang pembunuh menjelaskan mengapa: “Aku telah diberitahu bahwa ia melecehkan Utusan Allah. Demi Dia yang memegang jiwaku, jika aku bertemu dengannya, maka tubuhku tidak akan meninggalkan tubuhnya hingga salah-satu diantara kami bertemu dengan takdir”. Setelah mereka melakukan perbuatan itu, mereka menemui nabi Islam yang bertanya, “Siapakah diantara kalian yang telah membunuhnya?”
Kedua orang muda itu menjawab, “Aku telah membunuhnya”.
Muhammad memikirkan cara untuk memecahkan masalah ini, dan bertanya pada mereka: “Apakah kalian telah membersihkan pedang kalian?” Mereka mengatakan bahwa mereka belum melakukannya, lalu Muhammad memeriksa senjata mereka dan berkata: “Tidak diragukan lagi, kalian berdua telah membunuhnya dan barang-barang milik orang mati ini akan diberikan kepada Mu’adh bin ‘Amr bin Al-Jamuh’”, yang adalah salah satu dari para pembunuh itu.(13)
Jasad dari semua orang yang namanya disebutkan dalam kutuk itu dibuang ke sebuah jurang. Seorang saksi mata menceritakan: “Kemudian aku melihat mereka semua dibunuh dalam perang Badr dan jasad mereka dibuang ke dalam sebuah sumur kecuali jasad Umaiya atau Ubai, karena ia adalah seorang yang gemuk, dan ketika ia ditarik, bagian-bagian tubuhnya terpisah sebelum ia dilemparkan ke dalam sumur”.(14) Kemudian Muhammad mengejek mereka sebagai “orang-orang dalam jurang” dan memberikan sebuah pertanyaan teologis: “Sudahkah kamu mendapati bahwa janji Tuhan itu benar? Aku telah mendapati bahwa apa yang dijanjikan Tuhanku adalah benar”. Ketika ditanyai mengapa ia bertanya pada jenazah, ia menjawab: “Kamu tidak dapat mendengar apa yang kukatakan lebih baik daripada mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawab aku”.(15)
Allah berperang bagi orang Muslim
Kemenangan di Badr merupakan titik balik bagi orang Muslim. Peristiwa itu menjadi sebuah legenda, sebuah batu penjuru dari agama yang baru ini. Muhammad bahkan menerima sebuah wahyu yang mengatakan bahwa pasukan malaikat bergabung dengan orang-orang Muslim untuk memenggal orang Quraysh – dan bahwa di masa depan pertolongan yang sama akan datang untuk orang-orang Muslim yang setia kepada Allah: “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: ‘Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?’ Ya (cukup), jika kamu sabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda” (Sura 3:123-125). Allah mengatakan kepada Muhammad: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu:’Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut’. (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman. Kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (ketentuan) yang demikian adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya’” (Sura 8:9, 12-13). Ayat yang terakhir ini, yang mengatakan bahwa para malaikat mendukung pemenggalan musuh-musuh Allah dan Muhammad, menjadi salah satu pembenaran utama bagi praktek Islam – kini dan nanti – untuk memenggal sandera dan tawanan perang.
Ibn Ishaq mengatakan bahwa Muhammad menerima wahyu lainnya yaitu mengirimkan beberapa mantan Muslim yang telah berperang bersama dengan orang Quraysh ke neraka: “Sesungguhnya orang-orang yang telah diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)’. Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (Sura 4:97).
Namun wahyu lainnya dari Allah menekankan bahwa kesalehan dan bukanlah kekuatan militer, yang membawa kemenangan di Badr: “Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati” (Sura 3:13). Allah mengingatkan orang Quraysh agar tidak berusaha menyerang lagi, mengatakan pada mereka bahwa mereka akan dikalahkan tak peduli berapa banyak jumlah mereka daripada orang Muslim (8:19).
Di bagian lain dalam Qur’an dikatakan bahwa orang Muslim di Badr hanyalah alat yang pasif. Bahkan kerikil yang dilemparkan Muhammad ke arah orang Quraysh, dilempar oleh Allah, bukan Muhammad: “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Sura 8:17). Dan Allah akan memberikan kemenangan-kemenangan semacam itu kepada orang-orang Muslim yang saleh walaupun mereka menghadapi tantangan yang lebih besar daripada apa yang telah mereka kalahkan di Badr: “Hai nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti” (Sura 8:65).
Ini menjadi tema yang berulang dalam literatur jihad sepanjang abad, hingga hari ini: kesalehan akan membawa kemenangan militer, Allah akan mengirim para malaikat untuk berperang bersama orang Muslim yang beriman, dan mereka akan menaklukkan bahkan mengalahkan semua tantangan. Kemenangan di Badr terus bergema di sepanjang sejarah. Dalam kasus pemenggalan kepala sandera Amerika Nicholas Berg pada Mei 2004, sebagai contoh, pemimpin jihad Irak Abu Musab al-Zarqawi mengobarkan perang besar: “Bukankah sudah waktunya bagi kamu (orang Muslim) untuk mengambil jalan jihad dan mengangkat pedang nabi segala nabi?...Nabi, yang maha pemurah, memerintahkan (tentaranya) untuk menebas leher beberapa tawanan di (perang Badr) dan membunuh mereka...dan ia telah memberikan teladan yang baik bagi kita”.(16)
PERMASALAHAN MENGENAI RAMPASAN PERANG
Allah memberi upah kepada orang-orang yang telah diberi-Nya kemenangan. Ada rampasan perang yang sangat banyak bagi para pemenang – begitu banyaknya, kenyataannya, itu menjadi sumber pertikaian. Masalah ini begitu memecah-belah sehingga menjadi sebuah ancaman hingga Allah sendiri berbicara mengenai hal itu dalam sebuah bab dalam Qur’an yang keseluruhannya dikhususkan untuk merefleksikan perang Badr: bab atau Sura ke-8, yang berjudul Al-Anfal, “Rampasan Perang” atau “Jarahan”. Allah mengingatkan orang Muslim untuk tidak menganggap rampasan perang yang dimenangkan di Badr boleh dimiliki orang lain kecuali Muhammad: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul,sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan diantara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman’” (Sura 8:1). Akhirnya, Muhammad membagikan rampasan perang diantara orang Muslim dengan sama rata, dan mengambil seperlima bagian untuk dirinya (8:41). Ini sesuai dengan hak istimewa yang diberikan Allah kepada Muhammad. Muhammad menjelaskan: “Aku telah diberikan lima (hal) yang tidak diberikan kepada nabi siapapun sebelum aku. Ini termasuk kenyataan bahwa “Allah membuat aku menang dengan menakjubkan (dengan cara ia menakut-nakuti musuh-musuhku)” dan “rampasan perang yang telah dihalalkan untukku (dan tidak demikian untuk siapapun juga)”.(17)
Muhammad mewujudkan hak istimewa ini di Badr ketika dua dari sahabat pentingnya, Abu Bakr dan Umar, tidak bersepakat mengenai apa yang harus mereka lakukan pada para tawanan:
“Orang-orang Muslim pada hari itu (yaitu pada hari peperangan di Badr) membunuh 70 orang dan menangkap 70. Utusan Allah (kiranya damai ada atasnya) berkata kepada Abu Bakr dan ‘Umar (kiranya Allah berkenan pada mereka): ‘Apakah pendapatmu mengenai para tawanan ini?’ Abu Bakr berkata: ’Mereka adalah sanak keluarga kita. Menurutku engkau harus melepaskan mereka setelah menerima tebusan untuk mereka. Ini akan menjadi sumber kekuatan kita melawan orang kafir. Sangatlah mungkin Allah akan menuntun mereka kepada Islam”.
Sudah tentu tebusan itu akan menambah rampasan perang bagi orang Muslim. Tetapi Umar tidak setuju:
“Kemudian Utusan Allah (kiranya damai ada atasnya) berkata: ‘Apakah pendapatmu, Ibn Khattab [yaitu Umar]?’ Ia berkata: ‘Utusan Allah, aku tidak sependapat dengan Abu Bakr. Menurutku engkau harus menyerahkan mereka kepada kami sehingga kami dapat memenggal kepala mereka. Serahkanlah ‘Aqil kepada ‘Ali supaya ia dapat memenggal kepalanya, dan serahkanlah kerabat siapapun kepadaku supaya aku dapat memenggal kepalanya. Mereka adalah para pemimpin orang yang tidak beriman dan veteran diantara mereka”.
Muhammad berpihak kepada Abu Bakr, tetapi keesokan harinya Umar dipanggil menghadap Muhammad dan Abu Bakr meratap. “Utusan Allah”, katanya, “mengapa engkau dan sahabatmu menangis?”
Muhammad menjawab, “Aku menangis karena apa yang telah terjadi pada sahabat-sahabatmu karena mengambil tebusan (dari para tawanan). Aku telah diperlihatkan siksaan yang mereka alami. Itu ditunjukkan padaku sedekat pohon ini”. Dan ia menunjuk pohon yang terdekat. Sang nabi Islam sedang menceritakan tentang siksaan dalam neraka, karena Allah berpihak kepada Umar, dan menyatakan kepada Muhammad bahwa “tidak seorang nabi pun boleh mempunyai tawanan hingga ia telah membantai orang di negeri”. Ia mengejek Muhammad karena lebih menginginkan rampasan perang daripada melakukan keinginan Allah yaitu melakukan pembantaian: “Kamu menginginkan godaan dunia ini dan Allah menginginkan (bagi kamu) Akhirat, dan Allah itu Perkasa, Bijaksana”. Namun demikian, para sahabat tidak akan mengalami siksaan yang telah menanti mereka karena sebelumnya Allah telah mengijinkan Muhammad untuk mengambil rampasan perang: “Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu akan ditimpa sisaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Sura 8:68-69).(18)
Sejak itu, tidak terhitung orang Muslim yang mengamini konsep bahwa membunuh musuh-musuh Allah akan menolong untuk, menurut Ibn Ishaq, “mewujudnyatakan agama yang ingin Ia nyatakan”.(19)
Orang Muslim telah bertumbuh, dari sekelompok kecil komunitas yang dihina, menjadi sebuah kekuatan yang tidak boleh dianggap sepele oleh kaum pagan Arab. Mereka mulai menebar teror dalam hati musuh-musuh mereka: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Sura 8:60).
Perang Badr adalah contoh praktis pertama akan apa yang kemudian dikenal sebagai doktrin Jihad Islam.
Kaum Yahudi Qaynuqa
Tenggelam dalam kemenangan, Muhammad melanjutkan operasi perampokannya. Dalam sebuah penyerangan terhadap suku pagan Ghatafan, ia dikejutkan oleh seorang pejuang musuh ketika ia sedang beristirahat. Pejuang itu bertanya padanya: “Siapakah yang akan membelamu dari aku pada hari ini?”
Nabi Islam menjawab dengan tenang, “Allah” – lalu pejuang itu melepaskan pedangnya. Muhammad segera mengambilnya dan bertanya, “Siapa yang akan membelamu dari aku?”
“Tidak ada”, kata pejuang itu, dan ia mengucapkan kalimat syahadat, yaitu pengakuan iman Islam (“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya”), dan menjadi seorang Muslim.(20)
Di sekitar waktu itu sikap Muhammad semakin keras terhadap suku-suku Yahudi di wilayah itu. Panggilan kenabiannya kepada mereka mulai menekankan pada siksaan duniawi daripada penghukuman di akhirat – yaitu siksaan duniawi di tangan orang Muslim. Allah memberikan sebuah wahyu padanya yang mengijinkan untuk memutuskan perjanjian yang telah dibuatnya dengan kelompok-kelompok yang ia takutkan akan mengkhianatinya: “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat” (Sura 8:58). Setelah ia menerima wahyu ini, Muhammad berkata: “Aku takut akan Bani Qaynuqa” – yaitu suku Yahudi yang mempunyai kesepakatan dengannya. Ia memutuskan untuk memerangi mereka.
Sambil berjalan di pusat perdagangan Qaynuqa, sang nabi Islam memberi pengumuman kepada orang banyak: “Wahai orang Yahudi, hati-hatilah Tuhan akan memberikan padamu pembalasan yang telah diberikan-Nya kepada orang Quraysh dan jadilah Muslim. Kamu tahu bahwa aku adalah seorang nabi yang telah diutus – kamu dapat membacanya dalam kitab-kitab sucimu dan perjanjian Tuhan dengan kamu”. Ia menguatkan ancamannya dengan sebuah wahyu dari Allah: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: ‘Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati” (Sura 3:12-13). Sudah tentu kedua pasukan yang bertemu adalah orang Muslim dan orang Quraysh di Badr.
Orang Yahudi Qaynuqa menjawab dengan mencemooh, membuat nabi Islam menjadi semakin marah karena merendahkan pengharapannya bahwa orang Yahudi akan menerimanya sebagai seorang nabi: “Wahai Muhammad, nampaknya kau mengira kami adalah kaummu. Janganlah menipu dirimu sendiri karena engkau berhadapan dengan kaum yang tidak mempunyai pengetahuan tentang perang dan berhasil mengalahkan mereka; karena demi Tuhan jika kami memerangimu, engkau akan melihat bahwa kami adalah laki-laki sejati!”(22)
Pasukan Muhammad mengepung Qaynuqa hingga mereka menawarkan padanya penyerahan tanpa syarat. Tetapi orang Qaynuqa telah membuat kesepakatan dengan beberapa Muslim, dan sekarang mereka mengajukan masalah mereka pada nabi Islam. Muhammad ingin agar semua pria suku itu dibunuh.(23) Namun demikian, seorang Muslim – salah seorang dari para Munafik – yang bernama Abdullah bin Ubayy berkata kepada Muhammad: “Wahai Muhammad, bersikaplah baik kepada para klien saya”. Muhammad mengabaikannya, maka Abdullah mengulangi permohonannya, sehingga nabi Islam memalingkan wajahnya dari Abdullah. Abdullah bin Ubayy kemudian dengan segera mencengkeram leher jubah Muhammad, yang menurut Ibn Ishaq, “membuat rasul menjadi sangat marah sehingga wajahnya hampir menjadi hitam”. Muhammad berkata kepada Abdullah, “Jahanam kau, lepaskan aku”.
Tetapi Abdullah menjawab, “Tidak, demi Tuhan, aku tidak akan melepaskanmu sampai engkau bersikap baik kepada para klienku. Empat ratus priadan tiga ratus lagi melindungi aku dari musuh-musuhku; apakah engkau akan memenggal mereka semua dalam sehari? Demi Tuhan, aku adalah orang yang takut kalau situasi dapat berubah”. Muhammad kemudian meluluskan permintaanya, setuju untuk membiarkan orang Qaynuqa tetap hidup asalkan mereka menyerahkan harta kepunyaan mereka sebagai rampasan perang kepada orang Muslim dan meninggalkan Medina, yang kemudian mereka lakukan dengan segera.
Namun, Muhammad masih tidak senang dengan kesepakatan yang dibuat Abdullah dengan suku Yahudi itu. Pada titik inilah ia menerima sebuah wahyu penting mengenai hubungan yang seharusnya terjadi antara orang Muslim dan non-Muslim: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain...Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (Sura 5:51). Dan Allah menghina dengan kalimat-kalimat yang keras mereka yang, seperti Abdullah bin Ubayy, takut kehilangan prospek bisnis karena kemalangan orang Qaynuqa (5:52).(24)
Kemarahan terhadap orang Yahudi dan orang Kristen
Jelaslah permohonan Abdullah bin Ubayy agar orang-orang Yahudi dibiarkan hidup tidak bersesuaian dengan Muhammad, dan ia menjadi lebih marah lagi pada orang Yahudi. Sebuah wahyu menempatkan mereka di bawah kutuk Allah karena mengganti isi dari wahyu-wahyu terdahulu, dan mengemukakan bahwa banyak diantara mereka yang tidak dapat dipercayai: “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan (sebagian) dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat)..” Namun Allah masih memberikan kemurahan: “...maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Sura 5:13). Maafkanlah mereka, tapi tidak usah berharap lagi mereka akan memeluk Islam: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Sura 2:75).
Seorang utusan orang Kristen dari Najran datang untuk mendiskusikan soal teologi dengan Muhammad, dan nabi Islam tidak sabar terhadap mereka. Ia sangat terusik dengan pengakuan mereka bahwa Yesus adalah Putra Tuhan, karena – seperti yang seirng dikatakannya – “Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia” (Sura 19:35). Nabi Islam bersungguh-sungguh mengoreksi kesalahan-kesalahan teologi Kristen: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih Putra Maryam’. Katakanlah: ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia hendak membinasakan Al Masih Putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Sura 5:17). Yesus tidak ilahi dan tidak disalibkan – dan nabi Islam menghardik orang Yahudi karena menyombongkan diri bahwa mereka telah menyalibkan-Nya: “Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh Al masih, Isa Putra Maryam, Rasul Allah’, padahal mereka tidak membunuh-Nya, dan tidak (pula) menyalib-Nya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak punya keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa” (Sura 4:157).
Dengan menunjukkan hanya sedikit pemahaman akan doktrin Kristen mengenai Trinitas, Muhammad mengumumkan dalam sebuah wahyu lainnya bahwa Yesus sendiri akan menyangkali doktrin ini ketika ditanyai oleh Allah: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai, ‘Isa Putra Maryam, adakah Kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah Aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah? Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib’” (Sura 5:116).
Lalu bagaimana orang-orang Kristen mendapatkan gagasan ini? Karena mereka telah jauh dari apa yang sebenarnya diajarkan Yesus: “Dan diantara orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasrani’, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan” (Sura 5:14).
Muhammad menghimbau baik orang Yahudi maupun orang Kristen untuk memeluk Islam, menghadirkan Islam sebagai sebuah koreksi terhadap Yudaisme dan Kekristenan pada jamannya, dan pemulihan pengajaran-pengajaran asli dari Musa dan Yesus: “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan” (Sura 5:15-16).
Pembunuhan dan penipuan
Setelah perang Badr dan penyerangan terhadap orang Yahudi Qaynuqa, Nabi Islam mengarahkan kemarahannya kepada penyair Yahudi Ka’b bin Al-Ashraf, yang menurut Ibn Ishaq, “menyusun ayat-ayat picisan yang bersifat penghinaan terhadap wanita Muslim”.(25) Dengan amarah Muhammad bertanya kepada para pengikutnya: “Siapakah yang mau membunuh Ka’b bin Al-Ashraf yang telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?”(26)
Ia mendapatkan seorang pemuda Muslim yang mau menjadi sukarelawan, yang bernama Muhammad bin Maslama: “Utusan Allah, apakah engkau menginginkan agar aku membunuhnya?”
Nabi Islam menjawab dengan ketegasan, dan Muhammad bin Maslama membuat sebuah permohonan: “Maka ijinkanlah aku untuk mengatakan suatu hal (yang tidak benar) (yaitu untuk menipu Ka’b)”.
Nabi Islam kemudian memilih jalan yang menguntungkan ketimbang norma normal: “Engkau boleh mengatakannya”.
Kemudian Muhammad bin Maslama pergi menemui Ka’b dan mulai mengeluh mengenai tuannya. “Orang itu [yaitu Muhammad] menuntut Sadaqa[zakat, sedekah] dari kami, dan ia telah menyusahkan kami, dan aku datang untuk meminjam sesuatu darimu”.
Ka’b tidak terkejut, dan berkata: “Demi Allah, kamu akan jadi muak padanya!”(27)
Muhammad bin Maslama memainkan sandiwaranya dengan sungguh-sungguh. “Kedatangan orang itu [nabi] adalah sebuah kesusahan besar bagi kami. Kedatangannya memprovokasi kekerasan orang Arab, dan mereka semua bersatu melawan kami. Jalanan tidak dapat lagi dilalui sehingga keluarga-keluarga kami menjadi sangat miskin, dan kami dan keluarga-keluarga kami berada dalam kesusahan besar”.(28) Kemudian Muhammad bin Maslama menawarkan Ka’b sebuah kesepakatan, berusaha untuk mendaftarkan bantuan si penyair untuk menolongnya memisahkan diri dari Islam dan nabinya: “Kini karena kami telah mengikutinya, kami tidak ingin meninggalkannya kecuali hingga kami melihat bagaimana akhir hidupnya. Kini kami ingin engkau meminjamkan kami unta yang memuat makanan”. Ini bukanlah terakhir kalinya dalam sejarah ada seorang Muslim yang mengaku tidak senang dengan Muhammad dan agamanya, dan berminat untuk mengadakan perjanjian dengan seorang non-Muslim. Dan ini juga bukanlah kali yang pertama orang non-Muslim tertipu, bahkan hingga harus membayar harga dengan nyawanya.
Ka’b setuju dengan rencana Muhammad bin Maslama, tapi dengan satu keberatan: “Ya (aku akan meminjamkanmu), tapi engkau harus menggadaikan sesuatu padaku...Gadaikanlah perempuanmu padaku”.
Muhammad bin Maslama menjadi ragu: “Bagaimana kami dapat menggadaikan perempuan kami padamu sedang kau adalah yang paling tampan dari semua orang Arab?” Akhirnya mereka membuat perjanjian dengan persyaratan yang lain, dan Muhammad bin Maslama berjanji untuk kembali malam itu. Ia kembali, bersama dengan saudara angkatnya Abu Na’ila dan beberapa orang lainnya. Setelah mendapatkan kepercayaan Ka’b, Muhammad bin Maslama dan orang-orang yang bersamanya menemui Ka’b. Agar ia berada sangat dekat Ka’b untuk dapat membunuhnya, Muhammad bin Maslama mengaku bahwa ia mengagumi parfum Ka’b: “Belum pernah kucium wangi yang lebih baik daripada ini...Bolehkah aku mencium kepalamu?” Ka’b mengijinkannya; teman-teman Muhammad bin Maslama menciumnya juga. Kemudian Muhammad bin Maslama mencengkeram Ka’b dengan sangat kuat, dan memerintahkan para sahabatnya: “Bunuh dia!” Mereka membunuh Ka’b, dan kemudian bergegas memberitahu nabi, sambil membawa kepala Ka’b.(29) Ketika Muhammad mendengar berita itu, ia berteriak, “Allahu akbar!” dan memuji Allah atas kematian musuhnya.(30)
Orang-orang Yahudi yang marah berkata kepada Muhammad: “Pemimpin kami telah dibunuh dengan licik”. Muhammad, menurut Ibn Sa’d, mengingatkan mereka akan kesalahan-kesalahannya dan bagaimana ia telah menghasut mereka dan membuat mereka senang untuk berperang dengan orang Muslim dan bagaimana ia telah menyakiti mereka”.(31) Pembunuhan itu, dengan kata lain, terjadi setelah provokasi yang intens – sebuah pembelaan diri yang digunakan para jihadis hingga hari ini untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka.
Setelah pembunuhan Ka’b, Muhammad mengeluarkan sebuah perintah: “Bunuh semua Yahudi yang jatuh ke dalam kekuasaanmu”.(32) Ini bukanlah sebuah perintah militer: korban pertama adalah seorang pedagang Yahudi, Ibn Sunayna, yang mempunyai “relasi sosial dan bisnis” dengan orang Muslim. Si pembunuh, Muhayissa, ditegur keras atas perbuatannya itu oleh saudaranya Huwayissa, yang bukan seorang Muslim. Muhayissa tidak bertobat. Ia mengatakan kepada saudaranya: “Jika orang yang memerintahkan aku untuk membunuhnya juga memerintahkan aku untuk membunuhmu maka aku akan memenggal kepalamu”.
Huwayissa terkesan: “Demi Tuhan, agama yang telah membuatmu seperti ini pastilah sangat hebat!” Ia kemudian menjadi Muslim.(33) Hingga hari ini dunia masih melihat kehebatan seperti itu: Mohammed Robert Heft, seorang Kanada yang berpaling kepada Islam, secara pribadi berkenalan dengan beberapa orang dari 17 perencana teror jihad yang ditangkap pada Juni 2006, menjelaskan bahwa secara pribadi ia telah mengikuti para ekstrimis, dan selama itu ia akan membunuh orang-tuanya jika mereka merecoki komitmennya kepada Islam.(34) Muhayissa dan Huwayissa pasti mengerti.
Pada kesempatan lain Muhammad mengijinkan salah satu pengikutnya untuk kembali menggunakan tipuan supaya bisa membunuh musuhnya yang lain, yaitu Sufyan ibn Khalid al-Hudhali, yang oleh nabi Islam diumpamakan seperti Iblis itu sendiri: “Jika kamu melihatnya”, katanya kepada si pembunuh, “kamu akan menjadi takut dan tersesat dan kamu akan teringat kepada Satan”. Ketika tugas itu telah terlaksana dan Sufyan wafat, Muhammad memuji si pembunuh dan memberinya sebuah tongkat, dan berkata, “Berjalanlah dengan itu ke Firdaus”.(35)
Orang Quraysh balik menyerang
Setelah mengalami penghinaan di Badr, orang Quraysh berkeras untuk membalas dendam. Mereka mengumpulkan 3000 tentara melawan 1000 Muslim di sebuah gunung di dekat Mekkah yang disebut Uhud. Muhammad mengenakan 2 lapis jubah dan pedang, memimpin orang Muslim ke medan perang. Muhammad merasa yakin: ketika seorang Muslim bertanya padanya, “Wahai Rasul, bukankah mestinya kita meminta bantuan dari para sekutu kita, orang-orang Yahudi?” Nabi Islam menjawab: “Kita tidak memerlukan mereka”.(36) Atau boleh jadi ia sedang memikirkan betapa hubungannya dengan orang Yahudi telah menjadi pahit.
Saat ini, orang Quraysh sudah menjadi lebih nekad, dan orang Muslim telah dikepung. Muhammad sendiri berperang bersama pasukannya, melukai seorang pejuang Quraysh bernama Ubayy bin Khalaf di tengkuknya. Beberapa tahun silam, Ubayy pernah menghina nabi baru ini di Mekkah: “Muhammad, aku mempunyai seekor kuda bernama ‘Aud yang kuberi makan jagung yang banyak setiap hari. Aku akan membunuhmu sambil menungganginya”.
Muhammad menjawab, “Tidak, akulah yang akan membunuhmu jika Allah menghendaki”. Ubayy mengingatnya ketika ia kembali ke perkemahan Quraysh, ia terluka ringan di lehernya dan berkata, “Demi Tuhan! Muhammad telah membunuhku”. Ketika orang Quraysh menjawab, “Demi Tuhan! Engkau telah berkecil hati. Engkau tidak terluka”, Ubayy berkeras: “Ia mengatakan padaku di Mekkah bahwa ia akan membunuhku, dan demi Tuhan, jika ia bertengkar denganku maka ia akan membunuhku”. Ia meninggal dalam perjalanan kembali ke Mekkah, dibunuh oleh sang nabi perang, seperti yang telah diramalkannya.(37)
Aisha kemudian menceritakan bahwa orang-orang Muslim awalnya menang di Uhud, tapi kemudian pertahanan mereka jadi berantakan oleh karena adanya intervensi supranatural: “Setan, kiranya kutuk Allah ada padanya, berteriak dengan keras, ‘Wahai para penyembah Allah, hati-hatilah dengan apa yang ada di belakang!’ Mendengar itu barisan depan tentara (Muslim) berpaling dan mulai berperang dengan barisan belakang”.(38)
Dalam kebingungan, nabi Islam sendiri terluka wajahnya dan satu giginya tanggal; bahkan ada kabar burung yang tersebar di medan perang yang mengatakan bahwa ia terbunuh. Muhammad mencuci darah dari wajahnya dan bersumpah untuk membalas dendam: “Murka Tuhan sangatlah besar terhadap orang yang telah melukai wajah nabi-Nya”.(39) Kemudian ia meratapi lagi penolakan orang Quraysh terhadap orang yang telah dipilih Allah dari antara mereka untuk menjadi seorang nabi: “Bagaimanakah sebuah bangsa yang telah melukai wajah nabinya akan berhasil?”(40) Namun dalam hal ini Allah menasehatinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lalim” (Sura 3:128). Ketika Abu Sufyan, pemimpin orang Quraysh, menghina orang Muslim, Muhammad menegaskan kembali bahwa orang Quraysh semuanya memang benar-benar pelaku kejahatan. Ia mengatakan kepada Umar, letnannya, untuk menjawab demikian: “Tuhan itu Maha Tinggi dan Maha Mulia. Kita tidak setara. Orang-orang kami yang mati ada di surga; sedangkan orang-orang kalian ada di neraka”.(41)
Muhammad kembali bersumpah untuk membalas dendam ketika ia menemukan jenazah Hamza, pamannya. Hamza dibunuh di Uhud dan tubuhnya dimutilasi dengan sangat mengerikan oleh seorang wanita bernama Hind bint ‘Utba, yang memotong hidung dan telinga Hamza dan memakan sebagian hatinya. Ia melakukan ini sebagai pembalasan dendamnya kepada orang Muslim yang telah membunuh ayahnya, saudaranya, pamannya, dan putra pertamanya di Badr. Muhammad tidak ragu untuk memperlebar lingkaran dendamnya: “Jika Tuhan memberikanku kemenangan atas orang Quraysh di masa depan”, ia berseru, “aku akan memutilasi 30 pria mereka”. Karena tersentuh oleh duka dan kemarahannya, para pengikutnya membuat sumpah yang sama: “ Demi Tuhan, jika Tuhan memberikan kita kemenangan atas mereka di masa depan kita akan memutilasi mereka seperti yang belum pernah dilakukan orang Arab terhadap siapapun sebelumnya”.(42)
Insiden-insiden serupa masih mengisi surat-kabar pada masa kini. Setelah para jihadis melakukan serangan di Irak atau Israel, para pejuang jihad memperlakukan counter-measures oleh orang-orang Amerika atau pasukan Israel sebagai serangan-serangan tanpa alasan, yang pantas menerima pembalasan yang keji dan segera. Sejak itu, orang Muslim mulai berperang dengan mengikuti teladan nabi perang mereka, dan ini telah menjadi standar mereka dalam bertingkah-laku. Bukan “memberikan pipi yang satunya lagi”, namun memberi sikap permusuhan terhadap musuh-musuh mereka.
Orang yang membunuh Hamza, yaitu Wahshi, mengetahui bahwa Muhammad tidak akan membalas dendamnya dan membunuhnya jika ia menjadi Muslim. Wahshi segera mengucapkan kalimat syahadat dan menemui nabi Islam. Muhammad memintanya untuk menceritakan bagaimana ia membunuh pamannya, dan kemudian berkata, “Celakalah engkau, sembunyikanlah wajahmu dariku dan jangan sampai aku melihatmu lagi”.(43) Wahshi melakukan apa yang diperintahkan padanya, dan hidup lebih lama dari sang nabi. Ini juga merupakan apa yang membedakan orang beriman dengan orang yang tidak beriman, oleh karena itu orang Muslim tidak akan membunuh sesamanya orang Muslim (kecuali orang-orang yang mereka anggap sebagai bidat atau murtad), namun menganggap murah hidup orang non-Muslim.
Mengurangi keraguan setelah peristiwa Uhud
Orang dapat saja berharap bahwa kekalahan di Uhud akan menggoyahkan iman orang Muslim, oleh karena setelah Badr Muhammad seringkali menegaskan bahwa Allah sendiri berperang bagi orang Muslim. Tetapi Muhammad sudah siap dengan wahyu-wahyu yang lebih banyak lagi. Kali ini temanya adalah orang Muslim mengalami kekalahan karena mereka tidak menaati Allah dan lebih fokus pada rampasan perang daripada kemenangan. (Sura 3:152). Wahyu lainnya mendorong orang Muslim untuk berperang dengan gagah berani, meyakinkan mereka bahwa hidup mereka tidak berada dalam bahaya hingga hari dimana Allah memutuskan bahwa mereka harus mati: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Sura 3:145).
Allah mengingatkan orang Muslim akan pertolongan-Nya pada mereka di masa lalu, dan membuat pertolongan-Nya di masa depan bergantung pada ketaatan mereka: “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: ‘Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?’ Ya (cukup), jika kamu sabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda” (Sura 3:123-125).
Sekali lagi sebuah pola telah ditetapkan: jika orang Muslim mengalami hal yang buruk, para pemimpin Muslim akan menegaskan bahwa hal itu disebabkan karena mereka (umat) kurang beragama/tidak cukup islami. Pada 1948, Sayyid Qutb, seorang pemikir besar dari Persaudaraan Muslim, kelompok teroris Islam modern yang pertama, mengumumkan kepada dunia Islam bahwa “kita hanya perlu melihat dengan teliti sehingga dapat menyadari bahwa situasi sosial yang kita alami sudah sedemikian buruknya”. Namun “kita senantiasa menyingkirkan semua warisan spiritual kita, semua kemampuan intelektual kita, dan semua solusi yang kemungkinan besar dapat memberi pencerahan terhadap semua ini; kita mengesampingkan prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin fundamental kita sendiri, dan kita menerima demokrasi, atau sosialisme, atau komunisme.”(44) Dengan perkataan lain, satu-satunya jalan menuju sukses adalah Islam, dan semua kegagalan bersumber dari meninggalkan Islam. Setelah Uhud, Allah berjanji pada orang Muslim bahwa kemenangan tidak lama lagi akan kembali menjadi milik mereka, jika mereka hanya bergantung pada-Nya dan menolak semua kesepakatan dengan non-Muslim (Sura 3:149-151).
Hubungan teologis yang tajam antara kemenangan dan ketaatan di satu sisi dan kekalahan dan ketidaktaatan di sisi yang lain ditekankan kembali setelah kemenangan Muslim pada perang berikutnya, yaitu Perang Parit pada 627. Muhammad sekali lagi menerima sebuah wahyu yang menghubungkan kemenangan dengan intervensi supernatural Allah: “Hai orang-orang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang kamu tidak dapat melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan” (Sura 33:9).
Deportasi Bani Nadir
Tidak lama setelah perang Uhud, beberapa anggota suku Yahudi, yaitu Bani Nadir, berkonspirasi untuk membunuh Muhammad dengan menjatuhkan sebuah batu yang besar ke atas kepalanya saat ia melewati salah satu rumah mereka. Beberapa orang Muslim mengetahui rencana itu dan mengingatkan Muhammad. Bukannya membujuk para pemimpin Nadir untuk menyerahkan orang-orang yang bersalah itu, Muhammad malah mengirim pesan kepada Nadir: “Tinggalkan negeriku dan jangan tinggal denganku. Kamu telah berencana untuk berkhianat”. Orang yang membawa pesannya adalah Muhammad bin Maslama (pembunuh Ka’b bin Ashraf), seorang anggota suku Aw di Medina yang pernah membuat perjanjian dengan Bani Nadir. Tetapi ketika orang-orang Nadir memprotes dan mengingatkan akan perjanjian itu, Muhammad bin Maslama menjawab: “Hati telah berubah, dan Islam telah menghapus semua perjanjian yang terdahulu.”(45)
Abdullah bin Ubayy dan beberapa orang Munafik lainnya memaksa Bani Nadir agar tidak pergi, dan berjanji untuk datang menolong mereka jika mereka diserang. Oleh karena itu, Bani Nadir berkata kepada Muhammad: “Kami tidak akan meninggalkan kediaman kami; maka lakukanlah yang kau anggap pantas kau lakukan.” Dengan menempatkan tanggung-jawab kepada musuh yang kemudian menjadi karakteristik para pejuang jihad sepanjang abad, Muhammad berkata kepada orang-orang Muslim, “Orang Yahudi telah mengumumkan perang.”(46) Allah memberikannya sebuah wahyu, meyakinkannya bahwa orang-orang Munafik akan kelihatan sama curangnya seperti orang Yahudi terhadap Muhammad. Ia menjanjikan kemenangan atas Bani Nadir kepada nabi Islam. Bukankah Ia telah memberikan kemenangan kepada mereka yang “telah mendahului mereka”, orang-orang Yahudi Qaynuqa? Allah akan memberikan “teror” ke dalam hati orang Yahudi: “Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang lalim” (Sura 59:11-17).
Nabi Islam memerintahkan orang-orang Muslim bergerak maju memerangi suku itu dan mengepung mereka. Selama pengepungan itu, ia memerintahkan agar pohon-pohon kurma milik Bani Nadir dibakar.(47) Dengan terkejut Bani Nadir bertanya padanya: “Muhammad, engkau telah melarang pengrusakan tanpa alasan dan menyalahkan mereka yang melakukannya. Mengapa sekarang engkau menebang dan membakar pohon-pohon palem kami?”(48) Allah membenarkan tindakan Muhammad melalui sebuah wahyu yang baru: “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik” (Sura 59:5). Para apologis Islam seringkali mengutip larangan Muhammad terhadap pengrusakan tanpa alasan – tetapi tidak menyebutkan pelanggaran yang dilakukan Muhammad sendiri atas peraturan itu, dan peneguhan Allah terhadap kejahatan itu.
Pengepungan terhadap Bani Nadir berlangsung selama 2 minggu, sebelum akhirnya mereka sepakat untuk menjalani pembuangan. Muhammad mengijinkan orang-orang Yahudi untuk membawa apa yang dapat mereka bawa dengan unta mereka, tetapi menuntut agar mereka menyerahkan semua senjata mereka.(50) Beberapa orang Nadir menghancurkan rumah mereka. Apa yang tidak dapat dibawa orang-orang Yahudi itu menjadi milik pribadi Muhammad, yang ia bagikan sebagai rampasan perang diantara para muhajiroun, yaitu orang-orang Muslim yang telah berimigrasi dengannya dari Mekkah ke Medina.(51) Ia juga menyimpan beberapa barang untuk dirinya sendiri dan sebagai persiapan untuk perang-perang jihad berikutnya, seperti yang diceritakan Umar: “Harta benda yang ditinggalkan Bani Nadir adalah pemberian Allah kepada Rasul-Nya...Harta milik itu terutama dikhususkan untuk nabi Suci (kiranya damai ada atasnya). Ia akan memenuhi kebutuhan tahunan keluarganya dari pendapatan itu, dan akan menggunakan sisanya untuk membeli kuda-kuda dan senjata-senjata sebagai persiapan untuk jihad.”(52) Muhammad sangat dikenal sebagai orang yang mempunyai selera yang sederhana: ia tidak menyenangkan dirinya dengan kemewahan, tinggal di rumah yang megah, atau meninggikan dirinya dengan kemegahan. Ia menghabiskan apa yang ia miliki untuk jihad.
Dalam sebuah wahyu, Allah mengatakan kepada Muhammad bahwa teror ilahi-lah yang mengalahkan Bani Nadir, dan bahwa mereka semua sudah ditakdirkan untuk masuk neraka: “Dan jika tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka benar-benar Allah mengazab mereka di dunia ini. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka” (Sura 59:2-3). Sisa orang Yahudi yang masih tinggal di Medina adalah sasaran murka Muhammad yang berikutnya.
Catatan Kaki
1. Ibn Sa’d, vol. II, 9.
2. Ibn Ishaq, 294.
3. Ibid., 297.
4. Ibid., 298.
5. For various estimates on the number of Muslim warriors, see Ibn Sa’d, vol. II, 20-21.
6. Ibn Ishaq, 300.
7. Ibid., 300.
8. Ibid., 301.
9. Bukhari, vol. 4, book 58, no. 3185.
10. Bukhari, vol. 1, book 8, no. 520.
11. Ibn Ishaq, 308.
12. Ibid., 304.
13. Bukhari, vol. 4, book 57, no. 3141.
14. Bukhari, vol. 4, book 58, no. 3185.
15. Ibn Ishaq, 306.
16. Steven Stalinsky, “Dealing in Death,” National Review Online, May 24, 2004.
17. Bukhari, vol. 1, book 8, no. 438.
18. Ibn Ishaq, 308.
19. Ibn Ishaq, 326-327.
20. Ibn Sa’d, vol. II, 40.
21. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, The History of al-Tabari, Volume VII, The Foundation of the Community, M.V. McDonald, translator, State University of New York Press, 1987, 86.
22. Ibn Ishaq, 363.
23. Tabari, vol. VII, 86.
24. Ibn Ishaq, 363.
25. Ibid., 367.
26. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4037.
27. Ibid.
28. Ibn Ishaq, 367.
29. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4037; Ibn Sa’d, vol. II, 37.
30. Ibn Sa’d, vol. II, 37.
31. Ibn Sa’d, vol. II, 39.
32. Ibn Ishaq, 369; Ibn Sa’d, vol. II, 36.
33. Ibn Ishaq, 369.
34. “Man who knew some plot suspects says Islamic ‘anger’ prevalent,” CBC News, June 16, 2006.
35. Ibn Sa’d, vol. II, 60-61.
36. Ibn Ishaq, 372.
37. Ibid., 381-382.
38. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4065.
39. Ibn Ishaq, 382.
40. Bukhari, vol. 5, book 64, chapter 22.
41. Ibn ishaq, 386.
42. Ibid., 387. Muhammad was immediately convinced to forbit mutilation, however, Islamic exegetes have justified it today (notably after the Fallujah incident in Iraq in 2004) by appealing to Qur’an 16:126: “If ye punish, then punish with the like of that wherewith ye were afflicted.”
43. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4072: Ibn Ishaq, 376.
44. Sayyid Qutb, Social Justice in Islam, translated by John B. Hardie and Hamid Algar, revised edition, Islamic Publications International, 2000, 19.
45. Tabari, vol. VII, 158.
46. Ibid., 159.
47. Muslim, book 19, no. 4326.
48. Ibn Ishaq, 437.
49. Ibid., 437.
50. Ibn Sa’d, vol. II, 70.
51. Ibn Ishaq, 438.
52. Muslim, book 19, no. 4347.