Tuesday, March 3, 2015

Kaum Atheis itu justru LEBIH TIDAK RASIONAL daripada orang yg beragama

Apakah menjadi atheis adalah sebuah pilihan akibat rasionalisasi dan sciene? Ternyata tidak, ternyata jika ditelusuri lebih mendalam dan komprehensif, atheis adalah suatu pilihan yang sama tidak rasional atau bahkan lebih tidak rasional daripada menjadi orang percaya (bukan sekedar beragama).
Pemahaman Atheis dipenuhi misteri-misteri bahkan tahayul-tahayul yang dikemas seolah-olah logis dan scientific. Bertrand Russel salah seorang penjuang Atheis, yang senang membombardir orang-orang bertuhan dengan argumen-argumen retoriknya, pernah dengan sangat “mudah” memberikan pernyataan ; ‘the universe is “just there.” Universal “tiba-tiba ada” dan bagaimana ada-nya itu tak terjelaskan secara ilmiah dengan baik dan bukan sama sekali penjelasan yang scientific, berdasarkan prinsip dari science “nothing that exists (or that is) can explain its own existence.” Lebih lanjut “Nothing Cannot Produce Something”.
Menjadi suatu pertanyaan yang tak terjawab untuk kaum Atheis sampai dengan saat ini. Kaum atheis ketika berbicara kosmologi, mengungkapan alur suatu teori yang sama sekali tak masuk akal, dari sesuatu yang tidak ada bisa menciptakan sesuatu yang ada, memang akan menjadi perdebatan yang tak berkesudahan mengenai prima causa, harus adanya satu penyebab dari semuanya ini bagi kaum theis sedang bagi kaum atheis tidak diperlukan suatu prima causa dalam tatanan kosmolologi, “sim sala bim” tiba-tiba semua ada, loncatan mistis inilah yang menjadi suatu titik otokritik bagi pemahaman atheis itu sendiri. Lebih semakin “mistis” lagi ketika Stephen Jay Gould menyampaikan “genesis” versi Atheis sebagai berikut; ‘We are here because one odd group of fishes had a peculiar fin anatomy that could transform into legs for terrestrial creatures; because the earth never froze entirely during an ice age; because a small and tenuous species, arising in Africa a quarter of a million years ago, has managed, so far, to survive by hook and by crook. We may yearn for a “higher” answer—but none exists.’
Bahkan seorang astronom yang sangat brilian seperti Carl Sagan pun memberikan penjelasan yang sama tidak jelasnya dengan Gould, “For me, it is far better to grasp the Universe as it really is than to persist in delusion, however satisfying and reassuring.’
Suatu jawaban yang menimbulkan berjuta pertanyaan lainnya, karena ternyata jawaban tersebut tak logis dan tidak ilmiah, namun ada suatu paradigma pada masyarakat dunia, sepanjang Sagan atau Einsten yang “bersabda” maka benarlah “sabda” dan “titah”nya tersebut, padahal ketika bicara mengenai Tuhan, baik Sagan, Einsten, saya dan saudara, tidak ada yang lebih pintar atau brilian untuk meniadakan keberadaan Tuhan. Sagan ataupun Einsten sekalipun memang brilian dalam bidangnya masing-masing yaitu ilmu eksak khususnya Fisika.
Namun Tuhan itu sendiri jauh dari jangkauan hitung-hitungan Matematika atau Fisika.
Sebenarnya baik Sagan ataupun Einsten, bukanlah seorang atheis murni seperti Betrand, Sam Harris atau Mark Twain (saya sepakat mereka adalah representasi dari kaum skeptis), Sagan dan Einstens masih bisa meletakan proporsi yang sebenar-benarnya tentang dimana wilayah science dan wilayah Tuhan, walau sering tergoda untuk mencampur adukan kedua wilayah tersebut.
Jadi atheispun masih bisa dibagi menjadi dua kategori,
·        para scientist dan free thinker sebagai kaum liberal atau agnoistik, dan
·        kaum skeptis yang “mistis” karena kehilangan pondasi ilmiah untuk merangkai argumen-argumen yang logis dan memberikan penjelasan secara terang benderang.
Untuk kaum free thinker agak sulit untuk menyikapinya, karena “kaki” mereka ada di dua “pijakan”, dan banyak dari free thinkerpun masih menghargai dan bertoleransi terhadap kebudayaan yang membentuk dan terbentuk atas keyakinan akan adanya Tuhan. Seperti Heidegger yang bukan seorang nir religius, berbeda dengan Marx yang adalah kaum skeptis, pada suatu kesempatan muridnya dibuat heran oleh bagaimana Heidegger dalam suatu hiking ke hutan, lalu sengaja mampir di sebuah kapel dan membuat tanda Salib dengan air suci (tradisi Katolik), dan ketika muridnya bertanya, bukankah tindakannya itu merupakan suatu tindakan yang tidak konsisten, dimana diketahui bahwa Heidegger mengambil jarak dengan gereja, dengan arif ia menjawab “ orang harus berpikir historis, dan dimanapun banyak orang berdoa, disana yang ilahi dekat dengan cara yang khusus”.
Karena itulah buat saya pribadi kaum free thinker masih menyisakan “kearifan lokal”, yang dibelahan bumi manapun, tidak ada yang buta “Tuhan”, hampir diberbagai pelosok, dipedalaman dsb, baik dari cara primitif sampai dengan yang sebenar-benarnya, konsep Tuhan itu nyata ada. sedang untuk kaum skeptis yang terkadang sering membabi buta dalam memberikan argumen yang paling tidak masuk akalpun, masih menganggap diri sebagai kaum intelektual dan scientist. Mari perhatikan argumen-argumen yang memang membabi buta tanpa konsep determinasi yang jelas dan rasional
The fact that a believer is happier than a skeptic is no more to the point than the fact that a drunken man is happier than a sober one. George Bernard Shaw
Why should we take advice on sex from the Pope? If he knows anything about it, he shouldn’t. —George Bernard Shaw
But who prays for Satan? Who, in eighteen centuries, has had the common humanity to pray for the one sinner that needed it most? – Mark Twain
Man is the Religious Animal. . . . He is the only animal that has the True Religion—several of them. He is the only animal that loves his neighbor as himself, and cuts his throat if his theology isn’t straight. He has made a graveyard of the globe in trying his honest best to smooth his brother’s path to happiness and heaven. – Mark Twain
So far as I can remember, there is not one word in the Gospels in praise of intelligence.- Bertrand Russel
And if there were a God, I think it very unlikely that He would have such an uneasy vanity as to be off ended by those who doubt His existence. - Bertrand Russel
Two great European narcotics, alcohol and Christianity. - Friedrich Nietzsche
[Jesus] died too early; he himself would have disavowed his doctrine had he attained to my age! -Friedrich Nietzsche
Masih banyak yang bisa dikutip dari pernyataan-pernyataan dari kaum skeptis ini, bisa dilhat dimana ada argumen dengan suatu penjelasan logis yang memberikan penjelasan?



Selain argumen sinis dan melecehkan seperti itu. Maka apakah menjadi atheis itu suatu pilihan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara scienetifik ? TIDAK sama sekali, walaupun itu hak asasi dari sudut padangan kemanusiaan, setiap orang berhak menentukan mau berTuhan, pura-pura berTuhan atau tidak berTuhan.
Namun jika kaum atheis, khususnya kaum skeptikal menganggap bahwa orang percaya menjadi irelevan dan blind faith, itu hak mereka dan yang bisa kita lakukan sebagai orang percaya, jikapun mereka mengajak diskusi perlu dipahami dan dipilah-pilah apakah kaum free thinker atau kaum skeptis sebagai teman diskusi.
Kaum Atheis free thinker, biasanya mereka masih menyisakan ruang untuk argumen-argumen yang rasional, namun jika kaum skeptis, jangan terlalu banyak berharap ada jalinan diskusi yang rasional, karena biasanya justru yang ada hanya argumen-argumen yang sinis dikarenakan lack of information atau lack of knowlegde.





No comments:

Post a Comment