Sunday, July 6, 2014

Pembunuhan Politis-Pembantaian Yahudi



Medina tahun 622 ditempati oleh beberapa suku-suku Yahudi; yang besar adalah suku/bani Al-Nadir, Bani Qurayza dan Bani Qaynuqa. Juga ada penghuni Arab pagan yang terbagi menjadi dua klan (klan = kelompok yang lebih kecil di dalam suku), Klan Aws dan Khazraj. Kesetiaan Yahudi juga terbagi, Bani Nadir dan Qurayza yang berpihak pada klan Aws dan Qaynuqa yang berpihak pada Khazraj. Bertahun-tahun persaingan berdarah ini membuat kedua belah pihak letih dan khawatir. Muhammad muncul dalam keadaaan demikian pada September 622M. Tidak lama setelah kedatangannya, Muhammad membuat perjanjian semacam federasi antara kelompok-kelompok Medina dan kelompok baru yang datang dari Mekah. Dokumen ini dikenal sebagai Konstitusi Medina, berikut diambil dari Ibn Ishaq:

Rasul Allah menulis dokumen perjanjian antara orang Emigran (yakni muslim pengikut Muhammad yang datang dari Mekah) serta orang-orang Ansar (yakni mualaf dari Medina), dan dengan orang Yahudi, yang menetapkan agama dan kepemilikan orang Yahudi dan memberikan mereka hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.

Menurut beberapa scholar terkenal[9], konstitusi ini menunjukkan bahwa dari awalpun Muhammad sudah punya maksud untuk melawan orang-orang Yahudi. Bagi Wellhausen, ini menunjukkan “ketidakpercayaan pada orang Yahudi”; sementara Wensinck percaya bahwa “Muhammad membuat konstitusi melulu hanya untuk menetralisasi pengaruh politis dari klan-klan Yahudi; dia menunda waktu sampai dia punya kesempatan untuk menaklukan mereka.”

Moshe Gil percaya bahwa:
Lewat persekutuannya dengan suku-suku Arab di Medina, sang Nabi akan mendapatkan cukup kekuatan untuk menerapkan kebijakan Anti- Yahudinya, meski ada keberatan dari pihak-pihak sekutu yang orang Medina… Malah Konstitusi Medina itu sejak ditulispun sudah berbau ‘pengusiran’ Yahudi.

Dokumen tersebut dengan demikian bukanlah sebuah perjanjian bagi orang Yahudi. Tapi sebaliknya berupa pernyataan resmi untuk tujuan agar melepaskan klan-klan Arab Medina dari orang Yahudi yg sampai saat itu masih merupakan tetangganya.[10]

Awalnya, Muhammad harus bertindak hati-hati, karena tidak semua orang Medina menyambut dia, dan posisi keuangan dia juga sedang lemah. Dia kemudian kecewa mendapatkan bahwa orang-orang Yahudi Medinapun menolak pengakuan kenabiannya. Muhammad lalu mulai mengirim pasukan-pasukan rampok; dari sini terbukti sebenarnya dia tidak lebih hanya seorang kepala bandit belaka, yang tidak mau mencari nafkah dari kerja halal. Muhammad sendiri yang memimpin tiga ekspedisi perampokan terhadap karavan-karavan Mekah di jalur ke/dari Syria yang hasilnya tidak sukses. Sukses pertama mereka ada di Nakhla, ketika para muslim – saat ini tanpa kehadiran Muhammad – menyerang orang-orang Mekah dibulan suci, dimana sebenarnya perang dilarang saat bulan suci itu. Seorang Mekah terbunuh, dua ditangkap, dan banyak harta jarahan dibawa ke Medina. Tapi, Muhammad terkejut, ternyata banyak orang Medina yang kaget akan ternodainya bulan suci oleh penyerangan itu. Meski demikian, Muhammad tetap saja mendapat seperlima dari barang rampokan dan untuk menghilangkan rasa bersalahnya dan membenarkan tindakan dia dimata pengikutnya, dia dengan nyaman mendapat sebuah wahyu yang “membenarkan peperangan meski dilakukan di bulan suci, hal itu dianggap sebagai kejahatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kejahatan terhadap Islam.”

Surah 2.217: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti- hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Muhammad saat itu menerima tebusan 40 ons perak untuk tiap satu tawanannya.

Pada saat ini pemimpin klan Aws, Sa’d b. Mu’adh, mengambil keputusan untuk mendukung Muhammad dan bahkan ikut ambil bagian dalam pasukan penyerang. Dengan demikian sebagian orang Medina pelahan mulai menerima Muhammad, tapi orang Yahudi terus menolak pengakuannya sebagai nabi dan mulai mengkritik dia, bilang bahwa beberapa ayat wahyunya bertentangan dengan kitab mereka. Sikap menerima dia akan beberapa praktek Yahudi juga tidak ada hasilnya, dan dia sadar bahwa orang Yahudi bisa menimbulkan bahaya bagi kekuatannya yang mulai membesar di Medina.

Titik balik keberuntungan Muhammad adalah perang Badar, dimana dengan ‘pertolongan’ Allah dan seribu malaikat, empat puluh sembilan orang Mekah berhasil terbunuh, banyak yang ditangkap, dan harta jarahan juga didapatkan. Ketika potongan kepala-kepala musuh hasil pancungan ditaruh di kaki Muhammad, Muhammad berteriak, “Ini lebih baik bagiku daripada Unta terhebat di seluruh Arab.”

Lalu dimulailah serangkaian pembunuhan ketika Muhammad yang mulai merasa lebih percaya diri untuk bergerak menentang musuh- musuhnya membereskan dendam-dendam lama dan secara keji membentangkan kekuasaannya. Pertama dia memerintahkan eksekusi al-Nadir – yang selalu mengejeknya ketika dia di Mekah dan yang bisa bercerita lebih baik dari kisah-kisah yang diceritakan sang nabi. Muir menuliskan pembunuhan tawanan lainnya, Oqba:
Dua hari kemudian, sekitar setengah jalan ke Medina, Oqba, tawanan lain, dikeluarkan untuk dipancung. Dia meminta untuk bicara dan menuntut kenapa dia diperlakukan lebih parah daripada tawanan lain. “Karena permusuhanmu pada Allah dan RasulNya,” jawab Muhammad. “Dan anak perempuanku yang masih kecil!” tangis Oqba, “siapa yang akan mengurusnya?” – “Api Neraka!” teriak sang penakluk tanpa hati itu; dan seketika itu juga si korban dijatuhkan ke tanah (untuk dipenggal). “celakalah kau!” lanjut Muhammad, “Penganiaya! Tidak percaya Allah dan rasulnya dan Kitabnya! Kupanjatkan syukur pada Allah yang telah menyiksamu dan membuat mataku nyaman dengan itu.”

Lagi-lagi, pembunuhan ini dibenarkan dan didukung oleh sebuah wahyu, dalam surah 8.68: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil."

Mulai saat itu Muhammad terus menyingkirkan pihak-pihak penentang yang berbahaya. “Bahkan bisik-bisik rahasiapun dilaporkan pada sang nabi dan berdasarkan laporan tersebut dia melakukan tindakan-tindakan yang kejam dan tak bermoral.”

Orang berikutnya yang ditindak Muhammad adalah penyair bernama Asma binti Marwan, yang berasal dari suku Aws. Perempuan ini tidak pernah menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Islam, dan telah menyusun beberapa bait puisi perihal klan-nya yang lebih mempercayai orang asing padahal orang itu memerangi klan-nya sendiri.

Aku memandang rendah Bani Malik dan Al Nabit. Dan auf dan bani Khazraj. Engkau mematuhi orang asing yang bukan golonganmu. Dia bukan Murad atau Madhhij. Apakah yang engkau harapkan darinya setelah kematian pemimpinmu. Seperti orang yang kelaparan yang menantikan kaldu. Tidak adakah orang yang berani menyerang dia dengan kejutan Dan mematahkan harapan mereka yang menantikan sesuatu darinya?[11]

Mendengar puisi ini Muhammad berkata, “Tak adakah yang mau menyingkirkan anak perempuan Marwan ini bagiku?” Seorang muslim fanatik, Umayr ibn Adi, memutuskan untuk melaksanakan kehendak nabinya, dan malam itu ia merangkak ke dalam rumah sang penyair ketika dia tidur, dikelilingi oleh anak-anaknya yg masih kecil. Malah satu anaknya masih sedang menyusu didadanya. Umayr melepaskan anak yang sedang menyusu itu dan menusukkan pedangnya ke sang penyair. Pagi berikutnya, ketika selesai shalat di Mesjid, Muhammad, yang mengetahui telah terjadi pembunuhan malam itu berkata pada Umayr: “Sudahkah kau membunuh anak perempuan Marwan?” “Ya” Jawabnya; “Tapi katakan apa aku akan menanggung dosa pembunuhan ini?” “Tidak,” Kata Muhammad, “Dua kambing tidak sudi bertumbukan kepala (maksudnya,kambingpun tak akan ambil peduli) baginya (Asma).” Muhammad lalu memuji Umayr dihadapan para muslim yang ada di mesjid karena pelayanannya pada Allah dan Nabinya.

Sprenger menulis, sisa kerabat Asma binti Marwan yang lain terpaksa masuk Islam karena tidak mau nyawa mereka melayang juga.
Segera setelah itu, Muhammad memutuskan untuk menyingkirkan penyair lain yang syair-syairnya berani mengkritik sang Nabi, seperti Abu Afak, yang berumur lebih dari 100 tahun, berasal dari klan Khazraj, dibantai ketika sedang tidur.

Sementara itu, Muhammad juga sedang menunggu waktu dan alasan yang tepat untuk menyerang bangsa Yahudi. Sebuah pertengkaran di pasar mencuat dan berujung pada dikepungnya suku Yahudi Bani Qaynuqa. Seperti Muir catat, meski mereka terikat oleh perjanjian persahabatan, Muhammad tidak melakukan sesuatu apapun untuk menyelesaikan pertengkaran kecil yang menjadi awal penyebab pengepungan tersebut. “Kalau saja tidak ada rasa benci yang besar dan keinginan yang memang sudah ada sebelumnya untuk mencerabut suku Yahudi, pertengkaran tersebut sebenarnya sangat mudah untuk diselesaikan.” Pada akhirnya suku Yahudi menyerah, dan persiapan untuk eksekusi pun digelar. Tapi pemimpin suku Khazraj, Abdallah b. Ubayy, memohon atas nama sukunya, dan Muhammad yang merasa tidak cukup punya rasa percaya diri untuk menolak permohonan demikian terpaksa harus setuju. Bani Qaynuqa diusir dari Medina dan menetap di Suriah. Harta benda milik mereka tidak boleh dibawa dan dibagikan kepada pasukan Muhammad, itu setelah Muhammad sendiri menerima haknya yang seperlima dari hasil jarahan. Pada kejadian ini Muhammad menerima ayat-ayat yang menjadi bagian dari surah 3.12: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya".

Setelah kejadian itu berturut-turut terjadi perampokan-perampokan selanjutnya, perampokan-perampokan terhadap karavan Mekah itu tidak selalu sukses, kadang diikuti beberapa bulan masa kosong. Tapi berbagai pembunuhan tetap berlanjut – “telah dilakukan tindakan pengecut dan keji lain yang menambah hitam halaman-halaman kehidupan sang nabi.” Kab Ibn Al-Ashraf adalah anak dari perempuan Yahudi Bani Nadir. Dia berangkat ke Mekah setelah perang Badar dan menyusun puisi untuk menghormati mereka yang gugur, mencoba membangkitkan semangat orang-orang Mekah agar membalaskan dendam pahlawan-pahlawan mereka yang gugur di Badar. Bodohnya dia kembali lagi ke Medina, dimana Muhammad sedang memohon pada Allahnya dengan suara kuat, “O Allah, berikan padaku anak si Ashraf, dengan cara apapun yang kau mau, karena hasutan-hasutan dan puisi-puisinya.” Tapi Bani Nadir masih cukup kuat untuk melindungi Kab, dan para muslim yang mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk membunuhnya menjelaskan pada sang Nabi bahwa kelicikan mereka perlukan untuk menyelesaikan tugas itu. Pemimpin persengkongkolan ini bertemu di rumahnya Muhammad, dan ketika mereka keluar dari rumahnya malam hari, mereka sudah mendapat restu dari sang Nabi. Mereka boleh berbohong, berbohong seakan mereka membenci sang nabi dan mencoba berteman dengan Kab, para muslim memancingnya keluar rumah dan ditempat yang cocok dekat air terjun mereka membunuhnya. Mereka memotong kepala Kab dan melemparnya ke kaki Muhammad. Muhammad memuji kerja baik mereka dijalan Allah. Salah seorang dari mereka menyebutkan: “Orang-orang Yahudi takut akan serangan kita pada musuh Allah. Dan tidak ada seorangpun Yahudi yang tidak takut.”
(Kisah selengkapnya dari Hadist tentang pembunuhan Ka’b bin Al- Ashraf:

Sahih Bukhari Volume 005, Book 059, Hadith Number 369.
------------------------------------------------------------
Diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah:
Rasul berkata, “Siapa yang mau membunuh Ka’b bin Al-Ashraf yang telah melukai Allah dan utusanNya?” Lalu Muhammad bin Maslama berdiri dan berkata, “O Rasul! Bolehkah aku yang membunuhnya?” Nabi berkata, “Ya,” Muhammad bin Maslama berkata, “Kalau begitu ijinkan saya berbohong (utk menipu Ka’b).” Nabi berkata, “Kau boleh berbohong.” Lalu Muhammad bin Maslama menemui Ka’b dan berkata, “Orang itu (yakni Muhammad SAW) menuntut sedekah dari kita, dan dia telah menyulitkan kita, saya datang untuk meminjam sesuatu darimu.” Dengan itu, ka’b Berkata, “Demi Allah, kau akan muak dengan dia (Muhammad SAW).” Muhammad bin Maslama berkata, “sekarang karena kita telah mengikuti dia, kita tidak mau pergi sampai melihat bagaimana akhirnya. Kami ingin kau meminjamkan makanan sekarung atau dua karung.” Ka’b bilang, “Ya, kupinjamkan.”, tapi kau harus menaruh jaminan untukku.” Akhirnya setelah tawar menawar, mereka menjaminkan senjata mereka.

Muhammad bin Maslama dan teman-temannya bilang akan kembali untuk mengambil makanan itu. Mereka mendatangi Ka’b malam hari bersama dengan saudara angkat Ka’b, Abu Na’ila. Ka’b mengundang mereka ke rumahnya, lalu berangkat bersama-sama. Istrinya bertanya, “Pergi kemana kali ini?” Kab menjawab, “Muhammad bin Maslama dan saudara angkatku Abu Na’ila datang, orang yang baik harus menjawab panggilan di malam hari meskipun misalnya dia diundang untuk dibunuhpun.” Mereka berangkat bersama dua orang lain (periwayat lain bilang orang itu adalah ‘Abu bin Jabr. Al Harith bin Aus dan Abbad bin Bishr). Sebelumnya Muhammad bin Maslama telah menginstruksikan pada mereka, “Jika Ka’b datang, aku akan menyentuh rambutnya dan mencium (bau rambut), dan ketika kau melihat aku sudah memegang kepalanya, lucuti dia.” Ka’b bin al- Ashraf mendatangi mereka memakai pakaian lengkap dan parfum. Muhammad bin Maslama bilang. “belum pernah kucium parfum sewangi ini.” Ka’b menjawab. “Aku punya parfum yang terbaik, perempuan arab yang tahu parfum kelas atas.” Muhammad bin Maslama meminta Ka’b “Bolehkan kucium kepalamu?” Ka’b bilang, “Ya.” Muhammad bin Maslama menciumnya dan meminta teman- temannya mencium juga. Lalu dia minta lagi, “boleh kucium (kepalamu) lagi?” Ka’b bilang, “Ya.” Ketika mencium dipegangnya kepala Ka’b kuat-kuat, dia bilang (pada teman-temannya) “Serang dia!” Lalu mereka membunuhnya, setelah itu mereka mendatangi sang nabi dan memberitahunya tentang keberhasilan pembunuhan ini. (Abu Rafi) terbunuh setelah Ka’b bin Al-Ashraf.)

Besok paginya setelah pembunuhan Kab nabi menyatakan: “’Bunuh Yahudi manapun yang jatuh ke tanganmu.’ (Muhammad dan Hitler adalah saudara se-“iman” yang anti Yahudi). Lalu Muhayyisa b. Masud menyerang Ibn Sunayna, seorang pedagang Yahudi dimana keluarga Muhayyisa punya hubungan sosial dan dagang dengannya, dan membunuhnya.” Ketika saudara dari Muhayyisa memprotes hal tersebut padanya, Muhayyisa menjawab bahwa jika Muhammad memerintahkan membunuh saudaranya itu dia akan lakukan juga. Saat itu si saudara bernama Huwayyisa yang belum muslim langsung masuk Islam sambil berkata, “agama apapun yang bisa membuatmu jadi begini (sadis) pastilah agama hebat!” Pembunuhan-pembunuhan ini secara jujur menggambarkan “fanatisme keji kemana ajaran-ajaran sang Nabi bergulir cepat.”[12]

Seperti kita telah ketahui, Perang Uhud merupakan kekalahan serius bagi para muslim dan menjadi ancaman menurunnya kekuasaan serta wibawa sang nabi. Akibat perang ini, terjadi dua eksekusi lagi yang dilakukan sang Nabi: Yaitu Abu Uzza, seorang tawanan sisa perang Badar dan Usman ibn Moghira

Karena butuh kemenangan, Muhammad memutuskan untuk menekan suku Yahudi lain, Bani Nadir, yang katanya menunjukkan kegembiraan secara terbuka akan kekalahan para muslim. Dengan alasan dia mendapat wahyu yang memperingatkan niat Bani Nadir untuk membunuh dia secara diam-diam, Muhammad memerintahkan Bani Nadir untuk meninggalkan Medina dalam waktu sepuluh hari atau mati. Setelah mengepung mereka selama beberapa minggu, orang-orang Yahudi itu menyerah dan diijinkan untuk pergi; mereka pergi dan bergabung dengan orang-orang Yahudi Khaybar, hanya untuk kemudian dibantai lagi dua tahun kemudian oleh gerombolan yang sama. Kemenangan atas kaum Yahudi ini diterangkan dengan panjang dalam surah 59. Sang Nabi sangat tahu akan banyaknya harta benda yang ditinggalkan Bani Nadir, dimana tanah mereka juga dibagi diantara para muslim; Bagian Muhammad membuat dia akhirnya tidak tergantung lagi secara keuangan pada siapapun.

Tahun 627 orang Mekah dan sekutunya memulai serangan ke Medina. Kepungan ini berakhir dalam dua minggu dan belakangan dikenal sebagai Perang Parit. Suku Yahudi terakhir yang ada di Medina, Bani Qurayza, ikut serta dalam pertahanan kota Medina, tapi secara keseluruhan mereka tetap berlaku netral. Meskipun demikian, kesetiaan mereka masih dipertanyakan dan tak ampun lagi setelah Perang Parit selesai Muhammad mulai bergerak menekan mereka. Sadar bahwa mereka tidak mungkin bisa melawan, Bani Qurayza setuju untuk menyerah dengan syarat mereka akan meninggalkan Medina tanpa membawa barang apapun. Muhammad menolak dan ingin mereka menyerah tanpa syarat. Orang Yahudi lalu memohon Abu Lubaba sekutu mereka di Bani Aws demi persahabatan mereka dengan Bani Aws agar mengunjungi mereka. Abu Lubaba ditanya apa kehendak Muhammad sebenarnya; dan jawaban Abu Lubaba hanyalah isyarat gerakan tangan ke leher, gerak seperti memotong leher, menandakan bahwa mereka harus berjuang sampai titik darah penghabisan karena hanya kematian yang bisa mereka terima. Akhirnya setelah beberapa minggu orang Yahudi menyerah dengan syarat agar nasib mereka ditentukan oleh keputusan sekutu mereka Bani Aws. Karena mereka anggap suku ini akan memberi ampunan pada mereka, tapi Muhammad memutuskan agar nasib kaum Yahudi itu diputuskan oleh satu orang saja dari Bani Aws. Muhammad menunjuk Sa’d Ibn Muadh menjadi hakimnya. Sa’d yang masih kesakitan dari luka-luka yang dia derita karena perang Parit, menyatakan, “Keputusan saya adalah bahwa semua lelaki harus dihukum mati, perempuan dan anak-anak dijual sebagai budak, dan harta yang mereka tinggalkan dibagikan kepada para muslim.” Muhammad menyatakan keputusan itu sama dengan apa yang ingin dia putuskan: “Sesungguhnya keputusan Sad adalah keputusan Allah yang dinyatakan dari surganya di langit ketujuh.”

Malamnya parit-parit yang cukup besar untuk dimasuki jenazah digali di sepanjang pasar tengah kota. Paginya Muhammad sendiri yang mengawasi tragedi berdarah ini, ia memerintahkan setiap tawanan lelaki dibawa dalam satu kelompok masing-masing terdiri dari lima atau enam orang sekaligus. Tiap kelompok diperintahkan untuk duduk di depan parit kuburan mereka, disana kepala mereka dipancung dan tubuhnya ditendang masuk parit… Pembantaian itu di mulai pagi hari berlangsung sepanjang hari dan diteruskan di malam hari dengan memakai obor. Seraya kakinya dibasahi darah karena tanah pasar yang dibanjiri darah dan setelah memberi perintah agar parit tersebut ditutup dengan tanah dan diratakan, Muhammad lalu langsung beranjak menghampiri Rihana, seorang perempuan Yahudi Bani Quraisa nan cantik yang suami dan para kerabatnya baru saja dipancung.[13]

(Betapa biadab nabi iblis itu, tidak peduli Rihana sedang berduka, eeehh.. si kucing “muhammad” garong malah horny dan pengen **e*o*in Rihana di hari yang sama saat suami, ayah dan saudara-saudara lelakinya dibantai oleh begundal muhammad. Orang beginian kok dibilang nabi dan teladan bagi umat manusia,..cuih, yg diurusin cuma seputar selangkangannya sendiri mulu.. - sekali lagi: Cuih !!! Terserah ente mo bilang gue pembenci muhammad kek, Islamophobia kek, what-so-ever... yang penting hati nurani gue gak buta, titik. – admin)

Harta jarahan dibagi-bagi, perempuan budak dibagi juga sebagai hadiah, perempuan yang kurang cantik dijual dan dilelang. Ya, tentu saja ada wahyu turun dari surga untuk membenarkan hukuman keji yang dijatuhkan pada orang Yahudi itu: Surah 33.25 “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Dihadapkan pada kekejian, kebiadaban tindakan barbar dan tidak manusiawi ini, para sejarawan modern menyatakan hal yang berbeda-beda.

1. Mereka yang masih punya nurani, sejarawan seperti Tor Andrae, H.Z. Hirschberg, Salo Baron dan William Muir mengutuk perlakuan biadab ini. Tor Andrae, yang biografi Muhammad-nya dianggap sebagai salah satu dari dua karya penting 60 tahun belakangan ini tanpa ragu mencela sang nabi atas “hukuman yang tidak manusiawi” dan menambahkan, “Dalam kejadian ini sekali lagi dia menunjukkan tidak adanya kejujuran dan moral, yang menjadi sifat buruk karakternya.” Meskipun demikian, Andrae tetap mencoba melihat “kekejaman Muhammad terhadap orang Yahudi melalui latar belakang fakta bahwa ejekan dan penolakan mereka terhadap dia menjadi kekecewaan terbesar dalam hidupnya.”[14]

2. Para pembela (apologis) seperti Watt (heran!) secara total membebaskan sang nabi dari kesalahan ini; membaca pembelaan menyimpangnya ini orang diingatkan akan ucapan Lord Acton: “Setiap penjahat selalu diikuti oleh seorang sesat yang siap dengan alat pembersih dibelakangnya.” Tapi seperti Rodinson katakan, dengan benar, “sulit untuk menerima bahwa Muhammad tidak bersalah.” Tak ada satupun dari tindakan-tindakannya menunjukkan kemurahan hati terhadap orang Yahudi. Seperti Moshe Gil nyatakan, sejak awal Muhammad setidaknya telah punya niat untuk mengusir Yahudi dari sana. Sebelumnya telah dengan terbuka memerintahkan pembunuhan beberapa orang Yahudi lalu kemudian memberi perintah umum untuk membunuh Yahudi mana saja yang jatuh ke tangan muslim. Dan jika membaca isyarat yang ditunjukkan Abu Lubaba, jelas bahwa nasib Bani Qurayza juga telah ditentukan dari awal. Pemilihan Sa’d sebagai pengambil keputusan bukanlah kebetulan belaka, orang ini terluka berat (dia mati tidak lama kemudian) ketika perang parit dan menyalahkan bani Qurayza yang dia anggap tidak sepenuh hati membantu kaum muslim dalam Perang Parit yang menyebabkan dia terluka itu; orang ini muslim fanatik; dan seperti dituliskan Andrae, “salah seorang pengikut Muhammad yang paling fanatik” (salah satu dari banyak orang yang pertama kali dipercaya oleh Muhammad). Terakhir, penyerahan sepenuhnya keputusan pada Sa’d terbukti membenarkan keputusan Muhammad ini.

3. Lalu ada para relativisme – baik relativis moral ataupun budaya – yang berdebat, “bukanlah penyalahan ataupun usaha pemulihan nama baik yang jadi isu disini. Nasib mereka memang pahit, tapi itu bukan suatu hal yang luar biasa jika melihat aturan-aturan yang keji pada masa perang jaman itu.”[15] Saya menyebut para relativisme ini sebagai penyakit jaman modern, dan saya akan menyempatkan diri untuk mendiskusikan hal ini lagi dalam bab terakhir saya. Tapi disini saya hanya akan membuat komentar mengenai poin-poin yang logis dulu.

# Satu keberatan mengenai pendapat di atas adalah “bahwa keputusan itu sendiri tidak bisa dianggap objektif. Relativisme itu sendiri tidak bisa dinyatakan, karena keputusan yang menjelaskan teori para relativisme itu sendiri tidaklah relativ. Anda butuh klaim kebenaran mutlak untuk itu”[16] Dengan kata lain, ada sesuatu hal yang tidak logis, yang sudah menjadi sifat dari relativisme
# Jika ada ketidak sesuaian antara jaman kita dengan jaman mereka dulu, logisnya kalau kita tidak boleh menolak penilaian moral jaman dulu dari sudut pandang jaman sekarang, dan kita juga tidak boleh menilai secara berpihak. Otomatis kita juga tidak boleh memuji masyarakat jaman dulu atau orang-orang jaman dulu dari sudut pandang jaman sekarang. Secara tidak konsisten para relativisme terus menerus memakai sifat-sifat yang sarat nilai untuk menjelaskan Muhammad, sebagai contoh, “murah hati” (Rodinson, hal 313). Dalam kutipan berikut dari Norman Stillman, nasib Bani Qurayza dijelaskan dengan kata “bernasib pahit”. Dari sudut pandang mana “nasib pahit” ini? Abad 20 atau abad tujuh? Lebih jauh lagi, Stillman membicarakan aturan perang yang katanya memang keji – ‘keji’ dari sudut pandang mana? Sangat mustahil menulis sejarah dari sudut pandang netral bahkan jika diminta untuk melakukan demikian pun. Buku Stillman sendiri, The Jews of Arab Lands penuh dengan ungkapan-ungkapan penilaian moral seperti “toleransi” dan tidak ada relativis yang bisa mengesahkan pujian Muhammad dengan istilah mutlak seperti misalnya pernyataan “salah seorang anak terbesar Adam” (Watt).

# Jika benar mereka itu penganut relativisme, maka sebagai konsekwensinya kita tidak bisa membandingkan Yesus Kristus atau Socrates atau Solon dengan Hitler. Kita tidak bisa begitu saja bilang bahwa Yesus lebih superior secara moral dibanding Hitler, yang mana ini adalah mustahil benar. Jika moral itu sepenuhnya relatif, maka “warganegara Amerika dan Inggris bisa saja tidak menyetujui perbudakan dan penganiayaan Yahudi, tapi mereka tidak bisa berkata bahwa hal-hal ini salah dengan sikap mutlak atau bahwa itu jadi urusan mereka yang mencoba menghentikan perbudakan atau penganiayaan tsb.”[17]

# Terpendam didalam dalil Stillman yang dikutip tadi, ada tesis yang terpisah sama sekali, katanya bahwa kita tidak bisa menyalahkan seseorang hanya karena orang itu “menjadi seorang besar dijamannya”. Tesis demikian menggeser kesalahan moral dari individu ke ‘jaman’ dimana sang individu yang didiskusikan hidup. Tapi hal ini tidak akan berhasil untuk sebuah pembelaan terhadap Muhammad. Jika Muhammad itu hidup dijaman yang barbar, dan oleh karenanya dia jadi orang barbar: lalu tidak ada bedanya dengan anggota masyarakat lainnya; tidak lebih jelek dan juga tidak lebih baik. (tentu saja para relativis tidak bisa begitu saja menyalahkan ‘waktu’).

Sekarang pengamatan empiris:
1. Sangat tidak benar bahwa arabia abad ke-7 begitu jelek moralnya dibanding jaman kita sekarang. Pengakuan Stillman ini bersifat mengecilkan hal-hal ekstrim. Seperti Muir[18] katakan, dalam hal pembunuhan orang Yahudi Ibn Sunayna, “Tidak ragu lagi bahwa orang muslim pada waktu-waktu tertentu terlibat banyak skandal kejahatan semacam ini; meski tidak ada kebiasaan/tradisi untuk menjaga catatan sejarah tentang apa yang mereka katakan sebagai moral. Kejadian ini adalah salah satu kejadian yang kebetulan dibisikan kedunia luar. Ketika Merwan menjadi gubernur Media, satu hari dia bertanya pada Benjamin, seorang mualaf dari sukunya Ka’b, dia tanya dengan cara apa sebenarnya Ka’b mati. “lewat tipu muslihat dan pengkhianatan”, kata Benjamin.” Rodinson[19] mengemukakan poin yang sama pula, Perihal yang diceritakan dalam hadis yang menceritakan penyimpangan- penyimpangan Muhammad menunjukkan bahwa pastilah cerita itu bisa menimbulkan perasaan tertentu. Rincian kisah ini bahkan muncul dari sumber yang sahih membuat kita jadi sulit untuk menerima ketidak bersalahan sang nabi setan itu.”

Sangat tidak mungkin jika mengemukakan dalil bahwa Rasa ampun, Rasa sayang dan Kemurahan hati sama sekali tidak dikenal di Arab abad 7. Seperti Isaiah Berlin[20] nyatakan, “Perbedaan antara orang- orang dan masyarakat bisa saja dibesar-besarkan. Tidak ada budaya yang kita kenal yang tidak punya pemikiran tentang baik dan jahat; benar dan salah. Keberanian misalnya, sejauh yang kita bisa katakan, keberanian itu dikagumi disetiap jenis masyarakat yang pernah kita kenal. Disana ada nilai-nilai universal. Ini adalah fakta empiris mengenai umat manusia.” Kebiadaban tetap menjadi kebiadaban dijaman manapun ia ditemukan.

Muhammad sendiri, ironisnya, mengajarkan bahwa kemuliaan sejati ada pada pengampunan, bahwa dalam Islam mereka yang menahan amarah dan mengampuni orang lain akan mendapatkan surga sebagai orang yang berbuat baik (Surah 3.128; 24.22). Tapi, dia sendiri gagal utk melakukan semua itu dalam perlakuannya terhadap Bani Qurayza.

2. Sejarawan-sejarawan terkenal tidak ragu untuk menilai secara moral pribadi-pribadi sejarah. Sir Steven Runciman dalam karya klasiknya “History of the Crusades” menjelaskan Sultan Baibar sebagai “keji, tidak loyal dan licik, kasar sikapnya dan kasar perkataaanya… sebagai seorang manusia dia adalah manusia jahat.”[21]

Setelah pemusnahan Yahudi Bani Qurayza, Muhammad melanjutkan penggarongan dan pembunuhan-pembunuhannya. Sekelompok bekas Bani Al-Nadir, yang diusir dan menetap di Khaybar, oasis terdekat, dicurigai telah membujuk suku Bedouin agar menyerang muslim. Muhammad memerintahkan pembunuhan pemimpin Yahudi tersebut, Abi Al Huqayq. Tukang pukul Nabi membunuh Huqayq di tempat tidurnya. Sadar bahwa pembunuhan ini tidak menyelesaikan masalah, Muhammad menyusun rencana baru; dia kirim sebuah delegasi ke Khaybar untuk membujuk pemimpin baru mereka, Usayr b. Zarim, agar datang ke Medina mendiskusikan kemungkinan dia (Muhammad) dijadikan pemimpin Khaybar. Setelah mendapat jaminan janji sumpah dari pihak Muhammad untuk keamanan dirinya, Usayr berangkat, tanpa senjata, hanya dengan 30 orang. Di jalan, dengan dalih yang dibuat- buat, para muslim berbalik menyerang tamu tak bersenjata mereka dan membunuh semuanya kecuali seorang yang bisa melarikan diri. Ketika kembali para muslim itu disambut oleh Muhammad, yang sudah mendengar tentang keberhasilan mereka, ia mengucapkan terima kasih dan berkata, “Sesungguhnya, Allah telah menjagamu dari orang-orang tak benar.” Dikesempatan lain, Muhammad menyatakan filosofi perangnya: “Perang adalah Penipuan (praktek tipu-muslihat).”

Muhammad dan pengikutnya menyerang benteng-benteng penjaga lembah Khaybar satu persatu, sambil berteriak-teriak, “O kalian yang telah diberikan kemenangan, bunuh! Bunuh!” Satu demi satu benteng- benteng itu jatuh, hingga para muslim sampai di benteng Khamus, yang pada akhirnya juga mengalah. Pemimpin orang Yahudi disana, Kinana b. al-Rabi dan sepupunya dibawa kehadapan Muhammad dan dituduh menyembunyikan harta benda suku Bani al-Nadir. Orang Yahudi protes dan berkata bahwa mereka tidak punya apa-apa lagi.
Lalu (disini saya kutipkan dari biografi Muhammad yang ditulis oleh Ibn Hisham) “Muhammad memberikan Kinana pada al-Zubayr, salah seorang pengikutnya, dan berkata, ‘siksa dia sampai kau dapatkan informasi harta itu darinya.’ Al-Zubayr memakai tongkat yang dibakar ujungnya kedada Kinana sampai mati apinya, berkali-kali. Lalu sang Nabi memberikannya ke Muhammad

b. Maslama utk dipotong kepalanya sebagai balasan dendam bagi saudaranya Mahmud b. Maslama.” [22]
Orang-orang Yahudi di benteng Khaybar lain akhirnya kena serang juga dan dipaksa menyerah tanpa syarat, “kecuali untuk Bani Nadir yang sama sekali tidak akan diberi ampun.”
Pembunuhan, pembantaian, kekejaman, dan siksaan semuanya harus dimasukkan dalam penilaian karakter moral Muhammad. Tapi katalog menyedihkan dari kelakuan bejatnya ini belumlah lengkap. Kita masih perlu menelaah tindakan-tindakannya pada kejadian lain, dan selalu mendasarkannya dengan memakai sumber-sumber muslim sendiri.

----------------
[9] Humphreys, R.S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal 92-98
[10] Dikutip oleh Humphreys, di halaman 97
[11] Dikutip dalam Rodinson, Maxime. Muhammad. New York, 1980. [12] Muir, Sir W. The Life of Muhammad. Edinburgh, 1923, hal 240 [13] Ibid., hal 307-308
[14] Tor Andrae, Mohammed, the Man and His Faith, diterjemahkan oleh T. Menzel, New York, 1955.
[15] Stillman, N.A. The Jews of Arab Lands. Philadelphia, 1979. Hal.16
[16] Jahanbegloo, R. Conversations with Isaiah Berlin. London, 1991. hal.107 [17] Hogbin dalam Firth, R., ed. Man and Culture. London, 1980.
[18] Muir, Sir W. The Life of Muhammad. Edinburgh, 1923, hal 241, note 1
[19] Rodinson, Maxime. Muhammad. New York, 1980., hal.213
[20] Jahanbegloo, R. Conversations with Isaiah Berlin. London, 1991. hal.37 [21] Runciman, S. A History of the Crusades. Cambridge, 1951-1954
[22] Dikutip dalam Stillman, N.A. The Jews of Arab lands. Philadelphia, 1979.

Perang Badar adalah PERAMPOKAN BRUTAL



Introductory Remarks

On the 17th of Ramadan of every year, Muslims celebrate Islam’s most blessed and most important day – the battle of Badr, which took place two years after Hijra. From the Muslims’ point of view, the battle symbolized the victory of what is the right (Haq) against what is wrong (Batel), the oppressed against the oppressors, the Muslims against the Kuffar; in short it symbolized the victory of Islam against the enemies of Allah. The Muslim army won the battle and Mohammed emerged as a rising leader in Arabia that every tribe should fear and respect- or else.

Badr

In Badr, the Muslims demonstrated their best. They have never been that good before or after that ‘glorious’ day.  Since then, Badr has been a medal that honored those  Muslims who were lucky enough to join Mohammed and fight the battle. There is nothing more prestigious to any of the Sahaba (Mohammed’s companions) than to refer to him as a Muslim who had witnessed Badr  ‘shahida badr‘ – meaning fought in Badr.

Being such a blessed name, the Muslims of today often use the name Badr in military exercises /operations or prestigious organizations.

Badr Reflections

Our knowledge about that battle comes only from the Islamic sources because there are no others. There are no accounts from the defeated party, the Kuffar, who were completely annihilated and no accounts from other neutral parties. This is a typical example of the adage “history is written by the victorious”. It is logical to assume that the Muslim historians did their best to paint a picture that is biased towards Islam.

Mohammed’s immigration to Medina went well, but soon the inevitable happened and he ran out of money. Normal people who find themselves in similar circumstances would look for work or learn new skills to support themselves, but I don’t think the idea crossed Mohammed’s mind. It was, simply put, not his nature. Mohammed opted for the easy money that comes through  raiding other tribes and stealing their properties.

That was the beginning of that form of jihad known as ‘gazwat’, which is a polished word for raids. Mohammed and his followers carried out a number of those raids before the battle of Badr, which was a continuation of those raids, only on a larger scale.

A Prelude to Badr

The Quraish was a tribe of trade. Their richest caravan was coming home from Syria heading to Mecca under the leadership of Abu Sufyan. The rich caravan was protected by some thirty men. The news of the arrival of the caravan reached Mohammed, who couldn’t resist the temptation. He called for the Muslims and said: “These are the camels of Quraish with their money, go for it may Allah make it yours”(1). What a nice preaching!. He then organized a force of over three hundreds of his followers to intercept the caravan and raid it before it arrives to Mecca.

Abu Sufyan was a careful leader. He knew what was on stake and how rich the caravan was. His strategy was to send spies to explore the roads ahead and screen them for gangs who might be tempted to raid the caravan. Indeed, the news came that there was a huge gang, an army in fact, under the command of Mohammed, waiting to ambush the caravan at the place called Badr. Abu Sufyan diverted the caravan to an alternative  route that went towards Yanbu’, at the red sea coast. At the same time, he sent to Mecca to alert them that Mohammed and his gang were planning to ambush the caravan.

The Battle

Nearly every Meccan family had a stake in that caravan, so the news generated a lot of anger. About a thousand men gathered in haste and rushed to Badr to protect their caravan. Just as they were about to reach Badr, The news came to them that their caravan has arrived safely to Mecca. However, the two armies were destined for a confrontation and the Meccans decided to teach Mohammed and his gang a lesson. Because they had time on their side, the Muslims were better positioned as they already occupied the water sources. Mohammed was encouraged by a dream he had the night before that the Meccan army was a small army, which he interpreted as a good sign(2). Angel Gabriel, with three thousands of his angels, supported the Muslims’ army (3). The battle lasted only a few hours and ended by the early afternoon as many of the leaders of the Meccan army were killed

The caravan was saved, but the Quraish lost some of its best men in that battle, including Omar Ibn Hisham and Nadr Ibn Al Harith, who often exposed Mohammed’s ignorance when he was still in Mecca. Both men often asked Mohammed questions to which he had no immediate answers. After weeks of thinking, Mohammed used to come up with useless responses in the form of Quranic verses like “they ask you about the spirit, say the spirit is something my god understands!…”. Amr Ibn Hisham was a respected man renowned of his knowledge about religions and history. Mohammed was not comfortable with Amr Ibn Hisham’s status and reputation and later changed his title to Abu Jahl (father of ignorance), which suggests that the original title was ‘father of knowledge’, as Mohammed was known to reverse the titles he didn’t like. Ibn Al Harith was not killed in the battle but was taken as a prisoner but Mohammed did not like to see him alive and gave his orders to Ali to kill him, to which Ali obliged by beheading him! Of course, Mohammed released the necessary verses to justify his actions(4).

Summary of the Events at Badr

No matter how you read it, or from which angle you look at it, this is what happened in Badr:

1. A trading caravan coming home from Syria to Mecca.

2. Muslims armed gang was waiting to ambush the caravan, kill its men and seize the caravan and the merchandise for themselves.

There is nothing else to see in the story, as the Muslims told it, other than killing the prisoners, which was (and still) against the prevailing ethics of war.

And that was Islam at its best!

That is what Muslims celebrate on the 17th of Ramadan every year!

Critical Analysis

The battle of Badr was piracy on a large scale carried out by a gang of merciless and blood thirsty murderers against innocent traders- plain and simple. It will remain a disgraceful piracy to the end of time. When Mohammed and his companions left Medina to intercept that rich caravan, they were not interested in preaching a religion or teaching ethics; they were only interested robbery and murder.

But that is all that Mohammed had ever done. He and his companions were professional gangsters who made a living from murders and theft.

Why don’t Muslims see the reality of Badr?

When Muslims read the story of Badr, they do not sense any piracy or murder, which looks bizarre to non Muslims. This is also true when Muslims read about Mohammed’s other raids. Indeed, sensing any of Islam’s inanities is not as straightforward to Muslims as the non Muslims think. I spent decades in Islam without feeling there was anything disgraceful in the battle of Badr or any of Mohammed’s other raids, which were far worse. Some may wonder how does that happen? is there something wrong with the Muslims’ intellectuality?

The fact that it happens emphasizes the concerns that Islam cripples the mind. The problem is that we keep comparing Islam to other religions; the fact is that Muslims are brought up in a completely different way than the followers of other religions. It may look as an overstatement, but I do believe that professional research is required to understand the effects of Islam on the mind. I do believe that Islam is dangerous to mental health and something must be done about it. The fact that people who convert to Islam suddenly become dangerous to their relatives and their societies says it all. We all know that people commit suicides or murders soon after converting to Islam. If it is observed that people commit suicides after taking a drug, that drug would be banned.

In my experience, Muslims’ inability to see the reality of Islam has to do with the extensive brain washing the Muslim is subjected to since his/her birth(5). By the time a Muslim comes to read about the battle of Badr, his/her mind is already conditioned to revere words like rasool, PBUH, Sahaba and their titles, Muslims ..etc. At the same time, his/her mind is conditioned to despise and be repelled by words like Kuffar, enemies of Allah, Mushrikoon etc. The Muslim’s basic facts are established at an early stage in life as absolute facts, and that becomes difficult to change later in life. When the Muslims read the Sirat books, they are already prepared to accept, even think highly, of anything “the prophet PBUH” might do or say.

A Muslim school book introduces the story by claiming that the Quraish had already confiscated the properties of the “prophet of Allah PBUH, and the Muhajeroon, may ridwan of Allah(acceptance) be upon them”, therefore, raiding a caravan was approved by “Allah SWT and his prophet PBUH” as a justified action to make the ‘haq’(right) victorious and the ‘batel’(wrong) loser. The Muslims’ books actually put the blame on the Quraish and depict them as war mongers and portray Mohammed and his gang as peace loving people! “The battle could have been averted, as the caravan arrived safely to Mecca. The prophet PBUH and the sahaba, may ridwan (acceptance)Allah be upon them, were preparing to leave, but the  enemies of Allah SWT seized the opportunity to fight the Muslims to extinguish the divine light of Islam, but Allah SWT will protect his light to eternity”

The killing of the prisoners is also justified: “The prophet PBUH asked for the Sahaba’s (May ridwan Allah be upon them) opinion. But Allah SWT, the all knowing, revealed verse Q.8:67, which blamed the prophet PBUH for being soft and nice to the enemies of Allah SWT and ordered him to apply Allah’s punishment on them, because SWT, the all knowing, knew that the hearts of those prisoners were too black and filled with hatred to Allah SWT and his prophet PBUH. Keeping them alive would be too dangerous to Islam. Allah SWT knew what was best for his religion and his prophet”.

It is worth mentioning that most of Mohammed’s companions in Badr were from the Ansar, who lived in Medina, and had no properties at all in Mecca. The battle of Badr was not a one off piracy; the Muslims raided many other tribes where Muslims, Muhajeroon and Ansar, had no properties at all. Interestingly, the issue of properties never came up in any of the negotiations Mohammed had with the Quraish after hijra, which means it never existed.

Criminals are never short of justifications, but a piracy is always a piracy and a murder is always a murder.



That was the battle of Badr, when Muslims did their best and Islam appeared in its best form!

 ———————————————————————-

References



    Sirat Ibn Hisham
    Q. 8: l 43,44
    Q. 3: 123,124
    Q.8:  67

Friday, July 4, 2014

ISIS bersumpah HANCURKAN KABAH jika kuasai Mekah

TEMPO.CORiyadh - Kelompok gerilyawan yang menamakan diri Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bersumpah akan menghancurkan Kabah jika berhasil menguasai Arab Saudi. Mereka menyatakan Kabah menyebabkan seseorang "menyembah batu selain Allah". 

Menurut Khaama Press, anggota senior ISIS, Abu Turab Al Mugaddasi, menegaskan hal itu melalui akun Twitter-nya. "Jika Allah menghendaki, kami akan membunuh mereka yang menyembah batu di Mekah dan menghancurkan Kabah. Orang-orang pergi ke Mekah untuk menyentuh batu, bukan untuk Allah," katanya. 

Kelompok ini mengindikasikan bahwa mereka akan mengambil alih Kabah setelah berhasil menembus wilayah Aruss di Arab Saudi melalui padang Anbar. ISIS juga mengancam untuk membunuh pemimpin Syiah Ayatollah Ali al-Sistani.

"Saat ini pemimpin agama Syiah di Irak adalah seseorang bernama Ali Sistani yang merupakan sisa dari generasi Safawi. Kami memperingatkan kaum Syiah bahwa Sistani harus meninggalkan Irak. Jika tidak, kami akan membunuhnya," demikian pernyataan kelompok ini. 

Laporan menunjukkan bahwa akun Twitter yang mengirimkan pesan asli, telah dihapus. Sejauh ini, keaslian akun sebagai milik anggota ISIS belum diverifikasi.

Namun, Khaama Press menyatakan cuit itu agak aneh. Menurut mereka, jika memang pernyataan itu dari seorang anggota ISIS, maka akan sangat mengejutkan mengingat bahwa ISIS telah berusaha untuk meningkatkan perekrutan dari kaum muslim di seluruh dunia dengan menyatakan tujuan organisasi ini adalah untuk mendirikan kekhalifahan Islam.

Kabah adalah situs yang paling suci umat Islam. Rumah Allah ini menjadi kiblat salat bagi kaum muslim di seluruh dunia.

KHAAMA PRESS | INDAH P.

www.tempo.co

Istri Bunuh Suami karena Poligami

TEMPO.COAl-Jouf - Seorang pria Arab Saudi dilaporkan tewas ditembak oleh istrinya hanya beberapa hari setelah korban menikah lagi dengan perempuan lain.

Pria dan istri barunya itu diserang oleh istri tua di Al-Jouf, sebuah kawasan di sebelah utara Arab Saudi. "Laki-laki tersebut meninggal seketika setelah istri pertama menembaknya berkali-kali," kata sumber yang tak disebutkan namanya kepada Al Arabiya News Channel berbahasa Arab.

Selain menembak suaminya, pelaku juga menghujani istri muda suaminya dengan timah panas hingga kritis. "Kini korban dirawat di rumah sakit karena kondisinya kritis," tambah sumber tadi. Poligami atau memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan di Arab Saudi.

Bila terbukti benar, pelaku bisa dijatuhi hukuman mati dengan cara kepalanya dipenggal dan mayatnya dibakar. Hukuman tersebut pernah dijatuhkan Mahkamah Pengadilan Kerajaan Arab Saudi pada 2009 kepada seorang perempuan Laila bin Hamdan al-Shammari.

Shammari dipenggal kepalanya oleh algojo di sebelah utara Kota Hayel setelah kedapatan membunuh suaminya. Kementerian Dalam Negeri dalam keterangannya saat itu menerangkan, perempuan ini membunuh suaminya setelah terjadi perselisihan. Namun Kementerian tak menjelaskan bentuk perselisihannya. 

Menurut data yang diperoleh kantor berita Associated Press, Kerajaan telah menjatuhkan hukuman penggal kepala terhadap 24 orang pada 2009.

www.tempo.co

Tuesday, June 17, 2014

Fatwa Muhammad Abduh (1849-1945) Tentang Larangan Poligami.

Abduh adalah tokoh pembaharuan Islam Mesir yang luas pengaruhnya, juga ke negeri kita. Ia pernah jadi grand mufti Mesir. Di antara fatwanya adalah soal poligami, yang lalu dimuat muridnya Rashid Rida di majalah Al Manar pada 1927.

Fatwanya: yajuz lil hakim aw li sahibiddin an yamna' ta'addud alzaujat shiyanatan lil buyut 'anil fasad ri'ayatan lil mashlahah al 'ammah. Boleh bagi hakim/pemimpin agama melarang poligami untuk mencegah kerusakan rumahtangga demi maslahat umum.

Bagaimana Abduh bisa sampai pada fatwa larangan poligami? Apa argumen dan dalilnya? 

Perlu ditegaskan bahwa dalam memahami Qur'an, Abduh menekankan pentingnya tahu hikmah/alasan di balik ayat-ayat suci. Abduh percaya, wahyu dan akal sama-sama dari Allah, tak mungkin bertabrakan. Ini sejalan dengan Ibnu Rushd.

Bagaimana jika tampaknya ada ayat-ayat Qur'an yang bertentangan dengan akal? Menurut Abduh: yang dimaksud ayat tersebut pasti selain arti harfiah.  Abduh juga sangat hati-hati/kritis dalam memakai hadits-hadits ahad, meski sahih. kecuali hadits mutawatir, yang sedikit jumlahnya.

Kembali ke soal fatwa antipoligami. Kita mesti memahami dulu bagaimana Abduh mendefinisikan pernikahan. Abduh mengkritik definisi fiqh tentang nikah yang menurutnya reduksionis, yakni sebagai akad yang dengannya laki-laki halal ber-ML dengan perempuan.

Bagi Abduh, definisi fiqh tersebut tak menampung hakekat nikah menurut QS 30:21 sakinah, mawaddah, rahmah. Tiga konsep tersebut bagi Abduh bukan hanya himbauan, tapi inti dari nikah: cinta antara dua insan. tak semata sex.

Abduh juga menegaskan, perempuan dan laki-laki mesti setara dalam hak dan kewajiban, sesuai Qur'an - Walahunna mitslu alladzi 'alaihinna bil ma'ruf (QS 2: 228). Bagaimana itu bisa terealisir?

Utk merealisirnya, muslimah mesti sadar akan hak-haknya. Dan itu mengandaikan pemberdayaan mereka via pendidikan. Makanya Abduh sangat mendukung pendidikan untuk perempuan, agar mandiri dan sadar akan kesetaraan hak dan kewajibannya.
Nah bagaimana dengan poligami? Abduh membahasnya dari aspek doktrinal dan historis. Dalam membahas QS 4:3 yang membolehkan poligami, Abduh menegaskan ayat itu muqayyad (bersyarat), yakni keadilan. Tapi ada ayat lain, QS 4: 129 yang bilang laki-laki/suami tidak akan bisa adil meski mereka sangat ingin. Menurut Abduh, ayat poligami yang bersyarat keadilan mesti dipahami dalam kaitan dengan ayat yang bilang suami tidak mungkin bisa adil.

Dalam tinjauan historis, Islam datang ketika poligami sudah melembaga, tak hanya di dunia Arab tapi juga di tempat lain. Di Arab, laki-laki kaya dan berpengaruh bisa saja berpoligami tanpa batas. Nah ketika Islam datang, tak mungkin sekaligus menghapusnya. Islam lalu membatasi jumlahnya, dari tak terbatas menjadi maksimum 4. Tapi hakekatnya mengekang poligami, bukan mengumbarnya.

Jadi menurut Abduh, sikap dasar Islam tentang poligami adalah membatasi dan mengekangnya, bukan malah merayakannya. Abduh mengutip contoh terkenal tentang Ghayan yang masuk Islam dengan 10 istri, lalu Nabi minta dia untuk bertahan dengan 4, mencerai sisanya.

Tapi pembatasan yang paling mendasar adalah pada syarat suami untuk adil, yang menurut Qu'an tak bakal mampu. Abduh mengkritik pendapat sejumlah ulama yang melihat faktor keadilan sebagai sekedar himbauan untuk suami yang mau poligami.  Abduh juga mengkritik pendapat yang memahami keadilan sebagai semata-maya pemerataan soal materi dan seks.

Bagi Abduh, pandangan semacam itu mereduksi hakekat keadilan, yang timbul karena definisi sempit fiqh tentang pernikahan seperti saya sebut tadi. Padahal menurut Abduh, Qur'an sendiri mengartikan pernikahan sebagai kasih, cinta, dan ketentraman. Dan itu tak mungkin dibagi.

Kata Abduh: tak ada perempuan terhormat dan berakal sehat yang mau membagi suaminya dengan perempuan lain, sebagaimana suami juga tak mau begitu. Berdasar syarat mutlak keadilan itulah menurut Abduh kebolehan poligami mesti dikritisi.

Abduh mengakui memang ada sedikit orang yang bisa betul-betul adil, seperti Nabi dan Para Sahabat. Tapi kita kan bukan mereka. Apalagi pada masanya, Abduh menyaksikan bagaimana praktek poligami di Mesir secara luas disalahgunakan. Abduh mencatat, poligami menyebabkan pemusuhan antar istri, pemuasan sepihak laki-laki, dan anak-anak jadi korban.

Dengan kata lain, poligami terbukti membawa mafsadah (kerusakan) pada rumahtangga, yang ujungnya merusak tatanan sosial. Padahal tujuan utama syariah adalah untuk menegakkan kemaslahatan dan menghapus mafsadah (kerusakan).

Dari situlah kemudian lahir fatwa Abduh ini: "Jika poligami disyaratkan adil, dan adil itu tidak mungkin, dan mungkin hanya satu dari sejuta orang yang bisa adil dalam poligami, maka atas dasar pertimbangan kemaslahatan umum hakim (pemerintah)/ pemimpin agama boleh mengeluarkan larangan poligami demi mencegah kerusakan yang meluas pada rumahtangga muslim. Abduh kasih satu pengecualian: bila istri terbukti mandul, suami boleh berpoligami, asal atas persetujuan istri dan seijin hakim.
Walhasil, fatwa Abduh tentang larangan poligami berpijak pada prinsip maslahat, yang adalah tujuan utama syariah.

Selain Abduh, pandangan yang keras menentang poligami dilontarkan Fazlur Rahman, gurunya Cak Nur dan Buya Syafii Maarif di Chicago. Menurut Rahman, ajaran Islam mesti dibedakan antara bunyi hukum yang situasional dan konsep etikanya yang permanen. Menurut Rahman, institusi poligami sudah ada sebelum Islam. Islam sejatinya pro monogami, tapi tidak bisa langsung menghapus poligami sekaligus. Bukti bahwa Islam pro monogami: persyaratan keadilan yang sangat tegas, yang mustahil dipenuhi suami.

Nah kalau memang Islam itu hakekatnya mengarah ke monogami, bagaimana status ayat yang membolehkan poligami?

Perbudakan sudah ada sebelum Islam. Islam hakekatnya anti perbudakan. Tapi Qur'an Sunnah sama sekali tak menegaskan larangan perbudakan. Tapi tak menegaskan larangan bukan berarti setuju, karena Islam banyak sekali menganjurkan pembebasan budak.

Islam tak eksplisit mengeluarkan larangan perbudakan karena realita sosial pada abad 7 M tak memungkinkan itu. Sama dengan poligami. Tapi bukan berarti Islam merayakan perbudakan. Bukti: ketika peradaban sampai pada larangan perbudakan, lahir ijma' untuk anti perbudakan. Tapi kita tahu, ayat-ayat perbudakan masih tetap ada di Qur'an. Atasa dasar itulah Rahman menganalogikannya dengan ayat poligami.

Jangan salah. Rahman sama seklai tak menyamakan poligami dengan perbudakan. Yang dia analogikan itu cara kita bersikap terhadap ayat-ayat tentang itu. Pandangan Rahman itu termaktub dalam bukunya, Major Themes of the Qur'an (sudah diterjemahkan).

Sekian penjelasan saya tentang antipoligami. Wallahu a'lam bi al-shawab. Salam.