Sunday, July 6, 2014

Pembunuhan Politis-Pembantaian Yahudi



Medina tahun 622 ditempati oleh beberapa suku-suku Yahudi; yang besar adalah suku/bani Al-Nadir, Bani Qurayza dan Bani Qaynuqa. Juga ada penghuni Arab pagan yang terbagi menjadi dua klan (klan = kelompok yang lebih kecil di dalam suku), Klan Aws dan Khazraj. Kesetiaan Yahudi juga terbagi, Bani Nadir dan Qurayza yang berpihak pada klan Aws dan Qaynuqa yang berpihak pada Khazraj. Bertahun-tahun persaingan berdarah ini membuat kedua belah pihak letih dan khawatir. Muhammad muncul dalam keadaaan demikian pada September 622M. Tidak lama setelah kedatangannya, Muhammad membuat perjanjian semacam federasi antara kelompok-kelompok Medina dan kelompok baru yang datang dari Mekah. Dokumen ini dikenal sebagai Konstitusi Medina, berikut diambil dari Ibn Ishaq:

Rasul Allah menulis dokumen perjanjian antara orang Emigran (yakni muslim pengikut Muhammad yang datang dari Mekah) serta orang-orang Ansar (yakni mualaf dari Medina), dan dengan orang Yahudi, yang menetapkan agama dan kepemilikan orang Yahudi dan memberikan mereka hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.

Menurut beberapa scholar terkenal[9], konstitusi ini menunjukkan bahwa dari awalpun Muhammad sudah punya maksud untuk melawan orang-orang Yahudi. Bagi Wellhausen, ini menunjukkan “ketidakpercayaan pada orang Yahudi”; sementara Wensinck percaya bahwa “Muhammad membuat konstitusi melulu hanya untuk menetralisasi pengaruh politis dari klan-klan Yahudi; dia menunda waktu sampai dia punya kesempatan untuk menaklukan mereka.”

Moshe Gil percaya bahwa:
Lewat persekutuannya dengan suku-suku Arab di Medina, sang Nabi akan mendapatkan cukup kekuatan untuk menerapkan kebijakan Anti- Yahudinya, meski ada keberatan dari pihak-pihak sekutu yang orang Medina… Malah Konstitusi Medina itu sejak ditulispun sudah berbau ‘pengusiran’ Yahudi.

Dokumen tersebut dengan demikian bukanlah sebuah perjanjian bagi orang Yahudi. Tapi sebaliknya berupa pernyataan resmi untuk tujuan agar melepaskan klan-klan Arab Medina dari orang Yahudi yg sampai saat itu masih merupakan tetangganya.[10]

Awalnya, Muhammad harus bertindak hati-hati, karena tidak semua orang Medina menyambut dia, dan posisi keuangan dia juga sedang lemah. Dia kemudian kecewa mendapatkan bahwa orang-orang Yahudi Medinapun menolak pengakuan kenabiannya. Muhammad lalu mulai mengirim pasukan-pasukan rampok; dari sini terbukti sebenarnya dia tidak lebih hanya seorang kepala bandit belaka, yang tidak mau mencari nafkah dari kerja halal. Muhammad sendiri yang memimpin tiga ekspedisi perampokan terhadap karavan-karavan Mekah di jalur ke/dari Syria yang hasilnya tidak sukses. Sukses pertama mereka ada di Nakhla, ketika para muslim – saat ini tanpa kehadiran Muhammad – menyerang orang-orang Mekah dibulan suci, dimana sebenarnya perang dilarang saat bulan suci itu. Seorang Mekah terbunuh, dua ditangkap, dan banyak harta jarahan dibawa ke Medina. Tapi, Muhammad terkejut, ternyata banyak orang Medina yang kaget akan ternodainya bulan suci oleh penyerangan itu. Meski demikian, Muhammad tetap saja mendapat seperlima dari barang rampokan dan untuk menghilangkan rasa bersalahnya dan membenarkan tindakan dia dimata pengikutnya, dia dengan nyaman mendapat sebuah wahyu yang “membenarkan peperangan meski dilakukan di bulan suci, hal itu dianggap sebagai kejahatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kejahatan terhadap Islam.”

Surah 2.217: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti- hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Muhammad saat itu menerima tebusan 40 ons perak untuk tiap satu tawanannya.

Pada saat ini pemimpin klan Aws, Sa’d b. Mu’adh, mengambil keputusan untuk mendukung Muhammad dan bahkan ikut ambil bagian dalam pasukan penyerang. Dengan demikian sebagian orang Medina pelahan mulai menerima Muhammad, tapi orang Yahudi terus menolak pengakuannya sebagai nabi dan mulai mengkritik dia, bilang bahwa beberapa ayat wahyunya bertentangan dengan kitab mereka. Sikap menerima dia akan beberapa praktek Yahudi juga tidak ada hasilnya, dan dia sadar bahwa orang Yahudi bisa menimbulkan bahaya bagi kekuatannya yang mulai membesar di Medina.

Titik balik keberuntungan Muhammad adalah perang Badar, dimana dengan ‘pertolongan’ Allah dan seribu malaikat, empat puluh sembilan orang Mekah berhasil terbunuh, banyak yang ditangkap, dan harta jarahan juga didapatkan. Ketika potongan kepala-kepala musuh hasil pancungan ditaruh di kaki Muhammad, Muhammad berteriak, “Ini lebih baik bagiku daripada Unta terhebat di seluruh Arab.”

Lalu dimulailah serangkaian pembunuhan ketika Muhammad yang mulai merasa lebih percaya diri untuk bergerak menentang musuh- musuhnya membereskan dendam-dendam lama dan secara keji membentangkan kekuasaannya. Pertama dia memerintahkan eksekusi al-Nadir – yang selalu mengejeknya ketika dia di Mekah dan yang bisa bercerita lebih baik dari kisah-kisah yang diceritakan sang nabi. Muir menuliskan pembunuhan tawanan lainnya, Oqba:
Dua hari kemudian, sekitar setengah jalan ke Medina, Oqba, tawanan lain, dikeluarkan untuk dipancung. Dia meminta untuk bicara dan menuntut kenapa dia diperlakukan lebih parah daripada tawanan lain. “Karena permusuhanmu pada Allah dan RasulNya,” jawab Muhammad. “Dan anak perempuanku yang masih kecil!” tangis Oqba, “siapa yang akan mengurusnya?” – “Api Neraka!” teriak sang penakluk tanpa hati itu; dan seketika itu juga si korban dijatuhkan ke tanah (untuk dipenggal). “celakalah kau!” lanjut Muhammad, “Penganiaya! Tidak percaya Allah dan rasulnya dan Kitabnya! Kupanjatkan syukur pada Allah yang telah menyiksamu dan membuat mataku nyaman dengan itu.”

Lagi-lagi, pembunuhan ini dibenarkan dan didukung oleh sebuah wahyu, dalam surah 8.68: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil."

Mulai saat itu Muhammad terus menyingkirkan pihak-pihak penentang yang berbahaya. “Bahkan bisik-bisik rahasiapun dilaporkan pada sang nabi dan berdasarkan laporan tersebut dia melakukan tindakan-tindakan yang kejam dan tak bermoral.”

Orang berikutnya yang ditindak Muhammad adalah penyair bernama Asma binti Marwan, yang berasal dari suku Aws. Perempuan ini tidak pernah menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Islam, dan telah menyusun beberapa bait puisi perihal klan-nya yang lebih mempercayai orang asing padahal orang itu memerangi klan-nya sendiri.

Aku memandang rendah Bani Malik dan Al Nabit. Dan auf dan bani Khazraj. Engkau mematuhi orang asing yang bukan golonganmu. Dia bukan Murad atau Madhhij. Apakah yang engkau harapkan darinya setelah kematian pemimpinmu. Seperti orang yang kelaparan yang menantikan kaldu. Tidak adakah orang yang berani menyerang dia dengan kejutan Dan mematahkan harapan mereka yang menantikan sesuatu darinya?[11]

Mendengar puisi ini Muhammad berkata, “Tak adakah yang mau menyingkirkan anak perempuan Marwan ini bagiku?” Seorang muslim fanatik, Umayr ibn Adi, memutuskan untuk melaksanakan kehendak nabinya, dan malam itu ia merangkak ke dalam rumah sang penyair ketika dia tidur, dikelilingi oleh anak-anaknya yg masih kecil. Malah satu anaknya masih sedang menyusu didadanya. Umayr melepaskan anak yang sedang menyusu itu dan menusukkan pedangnya ke sang penyair. Pagi berikutnya, ketika selesai shalat di Mesjid, Muhammad, yang mengetahui telah terjadi pembunuhan malam itu berkata pada Umayr: “Sudahkah kau membunuh anak perempuan Marwan?” “Ya” Jawabnya; “Tapi katakan apa aku akan menanggung dosa pembunuhan ini?” “Tidak,” Kata Muhammad, “Dua kambing tidak sudi bertumbukan kepala (maksudnya,kambingpun tak akan ambil peduli) baginya (Asma).” Muhammad lalu memuji Umayr dihadapan para muslim yang ada di mesjid karena pelayanannya pada Allah dan Nabinya.

Sprenger menulis, sisa kerabat Asma binti Marwan yang lain terpaksa masuk Islam karena tidak mau nyawa mereka melayang juga.
Segera setelah itu, Muhammad memutuskan untuk menyingkirkan penyair lain yang syair-syairnya berani mengkritik sang Nabi, seperti Abu Afak, yang berumur lebih dari 100 tahun, berasal dari klan Khazraj, dibantai ketika sedang tidur.

Sementara itu, Muhammad juga sedang menunggu waktu dan alasan yang tepat untuk menyerang bangsa Yahudi. Sebuah pertengkaran di pasar mencuat dan berujung pada dikepungnya suku Yahudi Bani Qaynuqa. Seperti Muir catat, meski mereka terikat oleh perjanjian persahabatan, Muhammad tidak melakukan sesuatu apapun untuk menyelesaikan pertengkaran kecil yang menjadi awal penyebab pengepungan tersebut. “Kalau saja tidak ada rasa benci yang besar dan keinginan yang memang sudah ada sebelumnya untuk mencerabut suku Yahudi, pertengkaran tersebut sebenarnya sangat mudah untuk diselesaikan.” Pada akhirnya suku Yahudi menyerah, dan persiapan untuk eksekusi pun digelar. Tapi pemimpin suku Khazraj, Abdallah b. Ubayy, memohon atas nama sukunya, dan Muhammad yang merasa tidak cukup punya rasa percaya diri untuk menolak permohonan demikian terpaksa harus setuju. Bani Qaynuqa diusir dari Medina dan menetap di Suriah. Harta benda milik mereka tidak boleh dibawa dan dibagikan kepada pasukan Muhammad, itu setelah Muhammad sendiri menerima haknya yang seperlima dari hasil jarahan. Pada kejadian ini Muhammad menerima ayat-ayat yang menjadi bagian dari surah 3.12: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya".

Setelah kejadian itu berturut-turut terjadi perampokan-perampokan selanjutnya, perampokan-perampokan terhadap karavan Mekah itu tidak selalu sukses, kadang diikuti beberapa bulan masa kosong. Tapi berbagai pembunuhan tetap berlanjut – “telah dilakukan tindakan pengecut dan keji lain yang menambah hitam halaman-halaman kehidupan sang nabi.” Kab Ibn Al-Ashraf adalah anak dari perempuan Yahudi Bani Nadir. Dia berangkat ke Mekah setelah perang Badar dan menyusun puisi untuk menghormati mereka yang gugur, mencoba membangkitkan semangat orang-orang Mekah agar membalaskan dendam pahlawan-pahlawan mereka yang gugur di Badar. Bodohnya dia kembali lagi ke Medina, dimana Muhammad sedang memohon pada Allahnya dengan suara kuat, “O Allah, berikan padaku anak si Ashraf, dengan cara apapun yang kau mau, karena hasutan-hasutan dan puisi-puisinya.” Tapi Bani Nadir masih cukup kuat untuk melindungi Kab, dan para muslim yang mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk membunuhnya menjelaskan pada sang Nabi bahwa kelicikan mereka perlukan untuk menyelesaikan tugas itu. Pemimpin persengkongkolan ini bertemu di rumahnya Muhammad, dan ketika mereka keluar dari rumahnya malam hari, mereka sudah mendapat restu dari sang Nabi. Mereka boleh berbohong, berbohong seakan mereka membenci sang nabi dan mencoba berteman dengan Kab, para muslim memancingnya keluar rumah dan ditempat yang cocok dekat air terjun mereka membunuhnya. Mereka memotong kepala Kab dan melemparnya ke kaki Muhammad. Muhammad memuji kerja baik mereka dijalan Allah. Salah seorang dari mereka menyebutkan: “Orang-orang Yahudi takut akan serangan kita pada musuh Allah. Dan tidak ada seorangpun Yahudi yang tidak takut.”
(Kisah selengkapnya dari Hadist tentang pembunuhan Ka’b bin Al- Ashraf:

Sahih Bukhari Volume 005, Book 059, Hadith Number 369.
------------------------------------------------------------
Diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah:
Rasul berkata, “Siapa yang mau membunuh Ka’b bin Al-Ashraf yang telah melukai Allah dan utusanNya?” Lalu Muhammad bin Maslama berdiri dan berkata, “O Rasul! Bolehkah aku yang membunuhnya?” Nabi berkata, “Ya,” Muhammad bin Maslama berkata, “Kalau begitu ijinkan saya berbohong (utk menipu Ka’b).” Nabi berkata, “Kau boleh berbohong.” Lalu Muhammad bin Maslama menemui Ka’b dan berkata, “Orang itu (yakni Muhammad SAW) menuntut sedekah dari kita, dan dia telah menyulitkan kita, saya datang untuk meminjam sesuatu darimu.” Dengan itu, ka’b Berkata, “Demi Allah, kau akan muak dengan dia (Muhammad SAW).” Muhammad bin Maslama berkata, “sekarang karena kita telah mengikuti dia, kita tidak mau pergi sampai melihat bagaimana akhirnya. Kami ingin kau meminjamkan makanan sekarung atau dua karung.” Ka’b bilang, “Ya, kupinjamkan.”, tapi kau harus menaruh jaminan untukku.” Akhirnya setelah tawar menawar, mereka menjaminkan senjata mereka.

Muhammad bin Maslama dan teman-temannya bilang akan kembali untuk mengambil makanan itu. Mereka mendatangi Ka’b malam hari bersama dengan saudara angkat Ka’b, Abu Na’ila. Ka’b mengundang mereka ke rumahnya, lalu berangkat bersama-sama. Istrinya bertanya, “Pergi kemana kali ini?” Kab menjawab, “Muhammad bin Maslama dan saudara angkatku Abu Na’ila datang, orang yang baik harus menjawab panggilan di malam hari meskipun misalnya dia diundang untuk dibunuhpun.” Mereka berangkat bersama dua orang lain (periwayat lain bilang orang itu adalah ‘Abu bin Jabr. Al Harith bin Aus dan Abbad bin Bishr). Sebelumnya Muhammad bin Maslama telah menginstruksikan pada mereka, “Jika Ka’b datang, aku akan menyentuh rambutnya dan mencium (bau rambut), dan ketika kau melihat aku sudah memegang kepalanya, lucuti dia.” Ka’b bin al- Ashraf mendatangi mereka memakai pakaian lengkap dan parfum. Muhammad bin Maslama bilang. “belum pernah kucium parfum sewangi ini.” Ka’b menjawab. “Aku punya parfum yang terbaik, perempuan arab yang tahu parfum kelas atas.” Muhammad bin Maslama meminta Ka’b “Bolehkan kucium kepalamu?” Ka’b bilang, “Ya.” Muhammad bin Maslama menciumnya dan meminta teman- temannya mencium juga. Lalu dia minta lagi, “boleh kucium (kepalamu) lagi?” Ka’b bilang, “Ya.” Ketika mencium dipegangnya kepala Ka’b kuat-kuat, dia bilang (pada teman-temannya) “Serang dia!” Lalu mereka membunuhnya, setelah itu mereka mendatangi sang nabi dan memberitahunya tentang keberhasilan pembunuhan ini. (Abu Rafi) terbunuh setelah Ka’b bin Al-Ashraf.)

Besok paginya setelah pembunuhan Kab nabi menyatakan: “’Bunuh Yahudi manapun yang jatuh ke tanganmu.’ (Muhammad dan Hitler adalah saudara se-“iman” yang anti Yahudi). Lalu Muhayyisa b. Masud menyerang Ibn Sunayna, seorang pedagang Yahudi dimana keluarga Muhayyisa punya hubungan sosial dan dagang dengannya, dan membunuhnya.” Ketika saudara dari Muhayyisa memprotes hal tersebut padanya, Muhayyisa menjawab bahwa jika Muhammad memerintahkan membunuh saudaranya itu dia akan lakukan juga. Saat itu si saudara bernama Huwayyisa yang belum muslim langsung masuk Islam sambil berkata, “agama apapun yang bisa membuatmu jadi begini (sadis) pastilah agama hebat!” Pembunuhan-pembunuhan ini secara jujur menggambarkan “fanatisme keji kemana ajaran-ajaran sang Nabi bergulir cepat.”[12]

Seperti kita telah ketahui, Perang Uhud merupakan kekalahan serius bagi para muslim dan menjadi ancaman menurunnya kekuasaan serta wibawa sang nabi. Akibat perang ini, terjadi dua eksekusi lagi yang dilakukan sang Nabi: Yaitu Abu Uzza, seorang tawanan sisa perang Badar dan Usman ibn Moghira

Karena butuh kemenangan, Muhammad memutuskan untuk menekan suku Yahudi lain, Bani Nadir, yang katanya menunjukkan kegembiraan secara terbuka akan kekalahan para muslim. Dengan alasan dia mendapat wahyu yang memperingatkan niat Bani Nadir untuk membunuh dia secara diam-diam, Muhammad memerintahkan Bani Nadir untuk meninggalkan Medina dalam waktu sepuluh hari atau mati. Setelah mengepung mereka selama beberapa minggu, orang-orang Yahudi itu menyerah dan diijinkan untuk pergi; mereka pergi dan bergabung dengan orang-orang Yahudi Khaybar, hanya untuk kemudian dibantai lagi dua tahun kemudian oleh gerombolan yang sama. Kemenangan atas kaum Yahudi ini diterangkan dengan panjang dalam surah 59. Sang Nabi sangat tahu akan banyaknya harta benda yang ditinggalkan Bani Nadir, dimana tanah mereka juga dibagi diantara para muslim; Bagian Muhammad membuat dia akhirnya tidak tergantung lagi secara keuangan pada siapapun.

Tahun 627 orang Mekah dan sekutunya memulai serangan ke Medina. Kepungan ini berakhir dalam dua minggu dan belakangan dikenal sebagai Perang Parit. Suku Yahudi terakhir yang ada di Medina, Bani Qurayza, ikut serta dalam pertahanan kota Medina, tapi secara keseluruhan mereka tetap berlaku netral. Meskipun demikian, kesetiaan mereka masih dipertanyakan dan tak ampun lagi setelah Perang Parit selesai Muhammad mulai bergerak menekan mereka. Sadar bahwa mereka tidak mungkin bisa melawan, Bani Qurayza setuju untuk menyerah dengan syarat mereka akan meninggalkan Medina tanpa membawa barang apapun. Muhammad menolak dan ingin mereka menyerah tanpa syarat. Orang Yahudi lalu memohon Abu Lubaba sekutu mereka di Bani Aws demi persahabatan mereka dengan Bani Aws agar mengunjungi mereka. Abu Lubaba ditanya apa kehendak Muhammad sebenarnya; dan jawaban Abu Lubaba hanyalah isyarat gerakan tangan ke leher, gerak seperti memotong leher, menandakan bahwa mereka harus berjuang sampai titik darah penghabisan karena hanya kematian yang bisa mereka terima. Akhirnya setelah beberapa minggu orang Yahudi menyerah dengan syarat agar nasib mereka ditentukan oleh keputusan sekutu mereka Bani Aws. Karena mereka anggap suku ini akan memberi ampunan pada mereka, tapi Muhammad memutuskan agar nasib kaum Yahudi itu diputuskan oleh satu orang saja dari Bani Aws. Muhammad menunjuk Sa’d Ibn Muadh menjadi hakimnya. Sa’d yang masih kesakitan dari luka-luka yang dia derita karena perang Parit, menyatakan, “Keputusan saya adalah bahwa semua lelaki harus dihukum mati, perempuan dan anak-anak dijual sebagai budak, dan harta yang mereka tinggalkan dibagikan kepada para muslim.” Muhammad menyatakan keputusan itu sama dengan apa yang ingin dia putuskan: “Sesungguhnya keputusan Sad adalah keputusan Allah yang dinyatakan dari surganya di langit ketujuh.”

Malamnya parit-parit yang cukup besar untuk dimasuki jenazah digali di sepanjang pasar tengah kota. Paginya Muhammad sendiri yang mengawasi tragedi berdarah ini, ia memerintahkan setiap tawanan lelaki dibawa dalam satu kelompok masing-masing terdiri dari lima atau enam orang sekaligus. Tiap kelompok diperintahkan untuk duduk di depan parit kuburan mereka, disana kepala mereka dipancung dan tubuhnya ditendang masuk parit… Pembantaian itu di mulai pagi hari berlangsung sepanjang hari dan diteruskan di malam hari dengan memakai obor. Seraya kakinya dibasahi darah karena tanah pasar yang dibanjiri darah dan setelah memberi perintah agar parit tersebut ditutup dengan tanah dan diratakan, Muhammad lalu langsung beranjak menghampiri Rihana, seorang perempuan Yahudi Bani Quraisa nan cantik yang suami dan para kerabatnya baru saja dipancung.[13]

(Betapa biadab nabi iblis itu, tidak peduli Rihana sedang berduka, eeehh.. si kucing “muhammad” garong malah horny dan pengen **e*o*in Rihana di hari yang sama saat suami, ayah dan saudara-saudara lelakinya dibantai oleh begundal muhammad. Orang beginian kok dibilang nabi dan teladan bagi umat manusia,..cuih, yg diurusin cuma seputar selangkangannya sendiri mulu.. - sekali lagi: Cuih !!! Terserah ente mo bilang gue pembenci muhammad kek, Islamophobia kek, what-so-ever... yang penting hati nurani gue gak buta, titik. – admin)

Harta jarahan dibagi-bagi, perempuan budak dibagi juga sebagai hadiah, perempuan yang kurang cantik dijual dan dilelang. Ya, tentu saja ada wahyu turun dari surga untuk membenarkan hukuman keji yang dijatuhkan pada orang Yahudi itu: Surah 33.25 “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Dihadapkan pada kekejian, kebiadaban tindakan barbar dan tidak manusiawi ini, para sejarawan modern menyatakan hal yang berbeda-beda.

1. Mereka yang masih punya nurani, sejarawan seperti Tor Andrae, H.Z. Hirschberg, Salo Baron dan William Muir mengutuk perlakuan biadab ini. Tor Andrae, yang biografi Muhammad-nya dianggap sebagai salah satu dari dua karya penting 60 tahun belakangan ini tanpa ragu mencela sang nabi atas “hukuman yang tidak manusiawi” dan menambahkan, “Dalam kejadian ini sekali lagi dia menunjukkan tidak adanya kejujuran dan moral, yang menjadi sifat buruk karakternya.” Meskipun demikian, Andrae tetap mencoba melihat “kekejaman Muhammad terhadap orang Yahudi melalui latar belakang fakta bahwa ejekan dan penolakan mereka terhadap dia menjadi kekecewaan terbesar dalam hidupnya.”[14]

2. Para pembela (apologis) seperti Watt (heran!) secara total membebaskan sang nabi dari kesalahan ini; membaca pembelaan menyimpangnya ini orang diingatkan akan ucapan Lord Acton: “Setiap penjahat selalu diikuti oleh seorang sesat yang siap dengan alat pembersih dibelakangnya.” Tapi seperti Rodinson katakan, dengan benar, “sulit untuk menerima bahwa Muhammad tidak bersalah.” Tak ada satupun dari tindakan-tindakannya menunjukkan kemurahan hati terhadap orang Yahudi. Seperti Moshe Gil nyatakan, sejak awal Muhammad setidaknya telah punya niat untuk mengusir Yahudi dari sana. Sebelumnya telah dengan terbuka memerintahkan pembunuhan beberapa orang Yahudi lalu kemudian memberi perintah umum untuk membunuh Yahudi mana saja yang jatuh ke tangan muslim. Dan jika membaca isyarat yang ditunjukkan Abu Lubaba, jelas bahwa nasib Bani Qurayza juga telah ditentukan dari awal. Pemilihan Sa’d sebagai pengambil keputusan bukanlah kebetulan belaka, orang ini terluka berat (dia mati tidak lama kemudian) ketika perang parit dan menyalahkan bani Qurayza yang dia anggap tidak sepenuh hati membantu kaum muslim dalam Perang Parit yang menyebabkan dia terluka itu; orang ini muslim fanatik; dan seperti dituliskan Andrae, “salah seorang pengikut Muhammad yang paling fanatik” (salah satu dari banyak orang yang pertama kali dipercaya oleh Muhammad). Terakhir, penyerahan sepenuhnya keputusan pada Sa’d terbukti membenarkan keputusan Muhammad ini.

3. Lalu ada para relativisme – baik relativis moral ataupun budaya – yang berdebat, “bukanlah penyalahan ataupun usaha pemulihan nama baik yang jadi isu disini. Nasib mereka memang pahit, tapi itu bukan suatu hal yang luar biasa jika melihat aturan-aturan yang keji pada masa perang jaman itu.”[15] Saya menyebut para relativisme ini sebagai penyakit jaman modern, dan saya akan menyempatkan diri untuk mendiskusikan hal ini lagi dalam bab terakhir saya. Tapi disini saya hanya akan membuat komentar mengenai poin-poin yang logis dulu.

# Satu keberatan mengenai pendapat di atas adalah “bahwa keputusan itu sendiri tidak bisa dianggap objektif. Relativisme itu sendiri tidak bisa dinyatakan, karena keputusan yang menjelaskan teori para relativisme itu sendiri tidaklah relativ. Anda butuh klaim kebenaran mutlak untuk itu”[16] Dengan kata lain, ada sesuatu hal yang tidak logis, yang sudah menjadi sifat dari relativisme
# Jika ada ketidak sesuaian antara jaman kita dengan jaman mereka dulu, logisnya kalau kita tidak boleh menolak penilaian moral jaman dulu dari sudut pandang jaman sekarang, dan kita juga tidak boleh menilai secara berpihak. Otomatis kita juga tidak boleh memuji masyarakat jaman dulu atau orang-orang jaman dulu dari sudut pandang jaman sekarang. Secara tidak konsisten para relativisme terus menerus memakai sifat-sifat yang sarat nilai untuk menjelaskan Muhammad, sebagai contoh, “murah hati” (Rodinson, hal 313). Dalam kutipan berikut dari Norman Stillman, nasib Bani Qurayza dijelaskan dengan kata “bernasib pahit”. Dari sudut pandang mana “nasib pahit” ini? Abad 20 atau abad tujuh? Lebih jauh lagi, Stillman membicarakan aturan perang yang katanya memang keji – ‘keji’ dari sudut pandang mana? Sangat mustahil menulis sejarah dari sudut pandang netral bahkan jika diminta untuk melakukan demikian pun. Buku Stillman sendiri, The Jews of Arab Lands penuh dengan ungkapan-ungkapan penilaian moral seperti “toleransi” dan tidak ada relativis yang bisa mengesahkan pujian Muhammad dengan istilah mutlak seperti misalnya pernyataan “salah seorang anak terbesar Adam” (Watt).

# Jika benar mereka itu penganut relativisme, maka sebagai konsekwensinya kita tidak bisa membandingkan Yesus Kristus atau Socrates atau Solon dengan Hitler. Kita tidak bisa begitu saja bilang bahwa Yesus lebih superior secara moral dibanding Hitler, yang mana ini adalah mustahil benar. Jika moral itu sepenuhnya relatif, maka “warganegara Amerika dan Inggris bisa saja tidak menyetujui perbudakan dan penganiayaan Yahudi, tapi mereka tidak bisa berkata bahwa hal-hal ini salah dengan sikap mutlak atau bahwa itu jadi urusan mereka yang mencoba menghentikan perbudakan atau penganiayaan tsb.”[17]

# Terpendam didalam dalil Stillman yang dikutip tadi, ada tesis yang terpisah sama sekali, katanya bahwa kita tidak bisa menyalahkan seseorang hanya karena orang itu “menjadi seorang besar dijamannya”. Tesis demikian menggeser kesalahan moral dari individu ke ‘jaman’ dimana sang individu yang didiskusikan hidup. Tapi hal ini tidak akan berhasil untuk sebuah pembelaan terhadap Muhammad. Jika Muhammad itu hidup dijaman yang barbar, dan oleh karenanya dia jadi orang barbar: lalu tidak ada bedanya dengan anggota masyarakat lainnya; tidak lebih jelek dan juga tidak lebih baik. (tentu saja para relativis tidak bisa begitu saja menyalahkan ‘waktu’).

Sekarang pengamatan empiris:
1. Sangat tidak benar bahwa arabia abad ke-7 begitu jelek moralnya dibanding jaman kita sekarang. Pengakuan Stillman ini bersifat mengecilkan hal-hal ekstrim. Seperti Muir[18] katakan, dalam hal pembunuhan orang Yahudi Ibn Sunayna, “Tidak ragu lagi bahwa orang muslim pada waktu-waktu tertentu terlibat banyak skandal kejahatan semacam ini; meski tidak ada kebiasaan/tradisi untuk menjaga catatan sejarah tentang apa yang mereka katakan sebagai moral. Kejadian ini adalah salah satu kejadian yang kebetulan dibisikan kedunia luar. Ketika Merwan menjadi gubernur Media, satu hari dia bertanya pada Benjamin, seorang mualaf dari sukunya Ka’b, dia tanya dengan cara apa sebenarnya Ka’b mati. “lewat tipu muslihat dan pengkhianatan”, kata Benjamin.” Rodinson[19] mengemukakan poin yang sama pula, Perihal yang diceritakan dalam hadis yang menceritakan penyimpangan- penyimpangan Muhammad menunjukkan bahwa pastilah cerita itu bisa menimbulkan perasaan tertentu. Rincian kisah ini bahkan muncul dari sumber yang sahih membuat kita jadi sulit untuk menerima ketidak bersalahan sang nabi setan itu.”

Sangat tidak mungkin jika mengemukakan dalil bahwa Rasa ampun, Rasa sayang dan Kemurahan hati sama sekali tidak dikenal di Arab abad 7. Seperti Isaiah Berlin[20] nyatakan, “Perbedaan antara orang- orang dan masyarakat bisa saja dibesar-besarkan. Tidak ada budaya yang kita kenal yang tidak punya pemikiran tentang baik dan jahat; benar dan salah. Keberanian misalnya, sejauh yang kita bisa katakan, keberanian itu dikagumi disetiap jenis masyarakat yang pernah kita kenal. Disana ada nilai-nilai universal. Ini adalah fakta empiris mengenai umat manusia.” Kebiadaban tetap menjadi kebiadaban dijaman manapun ia ditemukan.

Muhammad sendiri, ironisnya, mengajarkan bahwa kemuliaan sejati ada pada pengampunan, bahwa dalam Islam mereka yang menahan amarah dan mengampuni orang lain akan mendapatkan surga sebagai orang yang berbuat baik (Surah 3.128; 24.22). Tapi, dia sendiri gagal utk melakukan semua itu dalam perlakuannya terhadap Bani Qurayza.

2. Sejarawan-sejarawan terkenal tidak ragu untuk menilai secara moral pribadi-pribadi sejarah. Sir Steven Runciman dalam karya klasiknya “History of the Crusades” menjelaskan Sultan Baibar sebagai “keji, tidak loyal dan licik, kasar sikapnya dan kasar perkataaanya… sebagai seorang manusia dia adalah manusia jahat.”[21]

Setelah pemusnahan Yahudi Bani Qurayza, Muhammad melanjutkan penggarongan dan pembunuhan-pembunuhannya. Sekelompok bekas Bani Al-Nadir, yang diusir dan menetap di Khaybar, oasis terdekat, dicurigai telah membujuk suku Bedouin agar menyerang muslim. Muhammad memerintahkan pembunuhan pemimpin Yahudi tersebut, Abi Al Huqayq. Tukang pukul Nabi membunuh Huqayq di tempat tidurnya. Sadar bahwa pembunuhan ini tidak menyelesaikan masalah, Muhammad menyusun rencana baru; dia kirim sebuah delegasi ke Khaybar untuk membujuk pemimpin baru mereka, Usayr b. Zarim, agar datang ke Medina mendiskusikan kemungkinan dia (Muhammad) dijadikan pemimpin Khaybar. Setelah mendapat jaminan janji sumpah dari pihak Muhammad untuk keamanan dirinya, Usayr berangkat, tanpa senjata, hanya dengan 30 orang. Di jalan, dengan dalih yang dibuat- buat, para muslim berbalik menyerang tamu tak bersenjata mereka dan membunuh semuanya kecuali seorang yang bisa melarikan diri. Ketika kembali para muslim itu disambut oleh Muhammad, yang sudah mendengar tentang keberhasilan mereka, ia mengucapkan terima kasih dan berkata, “Sesungguhnya, Allah telah menjagamu dari orang-orang tak benar.” Dikesempatan lain, Muhammad menyatakan filosofi perangnya: “Perang adalah Penipuan (praktek tipu-muslihat).”

Muhammad dan pengikutnya menyerang benteng-benteng penjaga lembah Khaybar satu persatu, sambil berteriak-teriak, “O kalian yang telah diberikan kemenangan, bunuh! Bunuh!” Satu demi satu benteng- benteng itu jatuh, hingga para muslim sampai di benteng Khamus, yang pada akhirnya juga mengalah. Pemimpin orang Yahudi disana, Kinana b. al-Rabi dan sepupunya dibawa kehadapan Muhammad dan dituduh menyembunyikan harta benda suku Bani al-Nadir. Orang Yahudi protes dan berkata bahwa mereka tidak punya apa-apa lagi.
Lalu (disini saya kutipkan dari biografi Muhammad yang ditulis oleh Ibn Hisham) “Muhammad memberikan Kinana pada al-Zubayr, salah seorang pengikutnya, dan berkata, ‘siksa dia sampai kau dapatkan informasi harta itu darinya.’ Al-Zubayr memakai tongkat yang dibakar ujungnya kedada Kinana sampai mati apinya, berkali-kali. Lalu sang Nabi memberikannya ke Muhammad

b. Maslama utk dipotong kepalanya sebagai balasan dendam bagi saudaranya Mahmud b. Maslama.” [22]
Orang-orang Yahudi di benteng Khaybar lain akhirnya kena serang juga dan dipaksa menyerah tanpa syarat, “kecuali untuk Bani Nadir yang sama sekali tidak akan diberi ampun.”
Pembunuhan, pembantaian, kekejaman, dan siksaan semuanya harus dimasukkan dalam penilaian karakter moral Muhammad. Tapi katalog menyedihkan dari kelakuan bejatnya ini belumlah lengkap. Kita masih perlu menelaah tindakan-tindakannya pada kejadian lain, dan selalu mendasarkannya dengan memakai sumber-sumber muslim sendiri.

----------------
[9] Humphreys, R.S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal 92-98
[10] Dikutip oleh Humphreys, di halaman 97
[11] Dikutip dalam Rodinson, Maxime. Muhammad. New York, 1980. [12] Muir, Sir W. The Life of Muhammad. Edinburgh, 1923, hal 240 [13] Ibid., hal 307-308
[14] Tor Andrae, Mohammed, the Man and His Faith, diterjemahkan oleh T. Menzel, New York, 1955.
[15] Stillman, N.A. The Jews of Arab Lands. Philadelphia, 1979. Hal.16
[16] Jahanbegloo, R. Conversations with Isaiah Berlin. London, 1991. hal.107 [17] Hogbin dalam Firth, R., ed. Man and Culture. London, 1980.
[18] Muir, Sir W. The Life of Muhammad. Edinburgh, 1923, hal 241, note 1
[19] Rodinson, Maxime. Muhammad. New York, 1980., hal.213
[20] Jahanbegloo, R. Conversations with Isaiah Berlin. London, 1991. hal.37 [21] Runciman, S. A History of the Crusades. Cambridge, 1951-1954
[22] Dikutip dalam Stillman, N.A. The Jews of Arab lands. Philadelphia, 1979.

No comments:

Post a Comment