Dalam sebuah debat yang disponsori oleh dewan mahasiswa sebuah universitas midwestern, lawan debat saya seorang calon anggota kongres dari Partai Buruh Progresif (Marxist) di New York, mengatakan dalarn kata pembukanya: "Para sejarawan dewasa ini dapat dikatakan telah menghapuskan Yesus Kristus dari sejarah ... " Saya nyaris tidak mempercayai telinga saya (tapi saya bersyukur sesudahnya, karena 2.500 orang mahasiswa yang mendengarnya segera menyadari bahwa dia tidak membuat persiapan apa pun tentang sejarah). Kebetulan saya membawa catatan dan dokumentasi ini sebagai bahan sanggahan saya.Pasti bukan sejarawan (mungkin ada beberapa ekonom) yang mempropagandakan teori bahwa Yesus Kristus adalah sebuah mitos.
Sebagaimana yang dinyatakan dengan tepat sekali oleh F. F. Bruce, profesor Rylands dalam penelitian kritis dan penjelasan Alkitab dari Universitas Manchester:
"Beberapa pengarang boleh saja bermain-main dengan suatu 'mitos Kristus,' tetapi mereka tidak melakukannya berdasarkan bukti-bukti sejarah. Bagi sejarawan yang tidak memihak, latar belakang sejarah Kristus adalah sarna pastinya dengan latar belakang sejarah Julius Caesar. Jadi yang mempropagandakan teori 'mitos Kristus' pasti bukan scjarawan." 2/119
Otto Betz menyimpulkan bahwa "tidak ada ilmuwan serius yang berani mencoba-coba mengajukan teori tentang ketidaksejarahan Yesus." 1/9
I. Sumber-sumber Kristen untuk Mendukung Kesejarahan Yesus
a. DUA PULUH TUJUH DOKUMEN PERJANJIAN BARU YANG BERBEDA
John Montgomery bertanya:
"Jadi, kalau begitu, apa yang diketahui seorang sejarawan tentang Yesus? Yang paling utama dia tahu bahwa dokumen-dokumen Perjanjian Barn dapat dipercaya untuk memberikan garnbaran yang akurat tentang Dia. Dan dia tahu bahwa garnbaran ini tidak dapat diubah-ubah menurut pikiran yang muluk-muluk, praduga filosofis, atau rekayasa kesusasteraannya." 6/40
b. BAPA-BAPA GEREJA
Polikarpus, Eusebius, Irenaeus, Ignatius, Justin, Origenes, dan lain-lain.
II. Sumber-Sumber di Luar Alkitab untuk Mendukung Kesejarahan Yesus Kristus
a. CORNELIUS TACITUS (Iahir 52-54 sM)
Seorang sejarawan Roma, pada tahun 112 M, Gubemur Asia, menantu pria Julius Agricola yang menjadi Gubemur Britania pada tahun 80-84 M. Ketika menu lis tentang pemerintahan Nero, Tacitus menyinggung tentang kematian Kristus dan keberadaan orang-orang Kristen di Roma:
''Tetapi tidak ada pertolongan yang datang dari seorang manusia, tidak pula anugerah yang dikaruniakan putra mahkota, atau korban silih yang dipersembahkan kepada dewa-dewa, yang dapat menyelamatkan Nero dari keaiban oleh karena dituduh telah sengaja menimbulkan kebakaran besar di Roma. Jadi, untuk menghentikan desas-desus itu, dia mengalihkan tuduhan dengan memfitnah dan menghukum dengan siksaan paling keji terhadap orang-orang yang disebut Kristen, yang dibenci oleh karena kejahatannya. Kristus, yang menjadi pendiri kepercayaan itu, telah dihukum mati oleh Pontius Pilatus, wali negeri Yudea di bawah pemerintahan Tiberius: tapi kepercayaan tahayul yang merusak itu, setelah mereda untuk sementara, bangkit kembali, bukan hanya di Yudea, di mana kejahilan itu berasal, tapi juga di seluruh Kota Roma." Annals XV. 44
Tacitus menyinggung lebih jauh tentang kekristenan dalam fragmen-fragmen tulisannya Histories, ketika mengupas tentang pembakaran Bait Allah Yerusalem pada tahun 70 M, yang diabadikan oleh Sulpicius Severns (Chron. ii. 30.6).
b. LUCIANUS DARI SAMOSATA
Seorang satiris dari abad ke-2, yang berbicara dengan sinis tentang Kristus dan kekristenan. Dia mengaitkan Yesus dengan sinagoge-sinagoge di Palestina dan menyebut Kristus sebagai ". . . orang yang disalibkan di Palestina karena memperkenalkan aliran kepercayaan baru ini kepada dunia . . . Selanjutnya, pemimpin mereka yang pertarna-tama meyakinkan bahwa mereka semua adalah saling bersaudara setelah mereka menyeberang sekali dan untuk selama-lamanya dengan menyangkal dewa-dewa Yunani dan menyembah pecundang yang disalibkan itu sendiri serta menaati hukum-hukumnya" The Passing Peregrinus.
Lucianus juga beberapa kali menyinggung tentang orang-orang Kristen dalarn bukunya Alexander the False Prophet, unit 25 dan 29
c. FLAVIUS JOSEPHUS (lahir 37 M)
Seorang sejarawan Yahudi yang menjadi seorang Farisi pada usia 19 tahun; pada tahun 66 M dia menjadi komandan pasukan Yahudi di Galilea. Setelah tertangkap dia ditempatkan di markas besar Romawi. Berikut adalah kata-katanya yang banyak dikutip dan diperdebatkan:
"Pada masa inilah Yesus, seorang manusia bijaksana, kalau boleh disebut manusia, karena dia adalah pelaku berbagai perbuatan yang luar biasa, pengajar orang-orang yang menerima kebenaran dengan sukacita. Dia telah menarik banyak orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi. Dia adalah Kristus, dan ketika Pilatus, atas desakan orang-orang penting di antara kita, telah menghukurnnya di kayu salib, mereka yang mengasihinya sejak semula tidak melupakan Dia; karena Dia telah menampakkan diri lagi kepada mereka dalam keadaan hidup pada hari yang ketiga; sebagaimana yang telah diramalkan oleh para nabi Allah sarna seperti puluhan ribu hal lainnya ten tang Dia. Dan kaum Kristen, yang dinarnai demikian menurut namanya, belum juga punah sampai hari ini." Antiquities. xviii.33. (Awal abad kedua) .
Teks Arab dari perikop di atas adalah sebagai berikut:
''Pada masa ini hiduplah seorang pria bijaksana bemama Yesus. Prilakunya baik, dan (Dia) dikenal hidup suci. Banyak orang, baik Yahudi maupun bengsa-bangsa lain yang menjadi murid-Nya.
Pilatus menghukum-Nya untuk disalibkan sampai mati. Dan mereka yang telah menjadi murid-Nya tetap setia kepada-Nya. Kata mereka Dia telah menampakkan diri kepada mereka tiga hari setelah di¬salibkan dan bahwa Dia hidup; jadi, mungkin Dia adalah Mesias yang tentang-Nya para nabi telah memberitakan berbagai keajaiban."
Perikop di atas ditemukan dalam naskah Arab yang berjudul:
"Kitab AI-Unwan AI-Mukallal Bi-Fadail Al-Hikma Al-Mutawwaj Bi-Anwa Al-Falsafa AI-Manduh Bi-Haqaq AI-Marifa." Terjemahannya kira-kira adalah: Kitab Sejarah yang Dituntun oleh Segala Unsur Kebijaksanaan. Disempumakan oleh Filosofi dan Diperkaya oleh Kebenaran dan Pengetahuan."
Naskah di atas yang digubah oleh Uskup Apapius pada abad ke-l0 berisi sebuah unit yang dibuka dengan kata-kata: "Kami temukan dalam banyak buku karangan para ahli filsafat bahwa mereka menyinggung tentang hari ketika Kristus disalibkan." Lalu dia memberikan beberapa kutipan dari beberapa pengarang kuno. Ada yang sudah dikenal oleh para cendekiawan modem ada yang belum. 8/hlmn
Kita juga menemukan rujukan kepada Yakobus saudara Yesus dalam tulisan Josephus. Dalam Antiquities XX 9:1 dia menggarn¬barkan perbuatan imam agung Ananus:
"Tetapi Ananus yang lebih muda, seperti yang kami katakan, diangkat menjadi imarn agung, mempunyai watak yang berani, dan agak nekad; dia menganut aliran Saduki, yang paling keras dalam menjalankan hukum di antara orang Yahudi, sebagaimana yang telah kami tunjukkan. Jadi, karena Ananus telah memegang kekuasaan itu, dia berpikir bahwa sekaranglah saat yang paling tepat, setelah Festus wafat, dan selagi Albinus masih dalam perjalanan; maka dia membentuk dewan hakim, dan membawa ke hadapan mereka saudara Yesus yang disebut Kristus, yang namanya adalah Yakobus, serta beberapa orang lainnya, dan menuduh mereka sebagai pelanggar hukum, dan menyuruh agar mereka semua dilontari batu." 2/107
d. SUETONIUS (120 M)
Juga seorang sejarawan Roma, pejabat istana di bawah Hadrianus, penulis sejarah Imperial House. Dia mengatakan:
"Karena orang-orang Y ahudi terus menimbulkan kerusuhan atas hasutan Chrestus (ejaan lain dari Kristus), mereka diusir dari Roma." Life of Claudius, 25.4
Dia juga menulis: "Nero menjatuhkan hukuman ke atas orang¬orang Kristen, yaitu sekelompok orang yang menganut suatu tahayul bam yang jahat." Lives of the Caesars, 26.2
e. PLINIUS SECUNDUS, PLINIUS YANG MUDA
Sebagai Gubemur Bitinia di Asia Keeil (112 M), Plinius menu lis kepada Kaisar Trayanus meminta pendapat tentang bagaimana harus memperlakukan orang-orang Kristen.
Plinius menjelaskan bagaimana dia telah membunuh baik lelaki maupun wanita, anak lelaki atau anak perempuan. Sudah begitu banyak yang dibunuhnya sehingga dia ragu apakah dia hams terus rnernbunuh mereka yang kedapatan sebagai orang Kristen, atau hanya membunuh orang-orang tertentu saja. Plinius menjelaskan bagaimana dia telah memaksa orang-orang Kristen untuk menyembah patung-patung Trayanus. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa dia juga telah "memaksa mereka menyumpahi Kristus, yang tak mungkin dilakukan seorang Kristen sejati." Dalam surat yang sarna dia mengatakan tentang orang-orang yang diadili:
"Namun terbukti bahwa semua kesalahan mereka, kekeliruan mereka adalah bahwa mereka mempunyai kebiasaan untuk berkumpulpada hari-hari tertentu sebelum hari terang. Mereka akan menyanyikan lagu-Iagu pujian kepada Kristus seperti kepada dewa, dan mengikat sumpah dengan sungguh-sungguh bukan untuk melakukan suatu kejahatan, tetapi untuk tidak menipu, mencuri, berzina, bersumpah palsu, tidak berkhianat bila mereka harns mempertanggungjawabkannya." Epistles X.9
f. TERTULIANUS
Ahli teologi dan hukum dari Karthage. Dalam pembelaannya terhadap kekristenan (197 M) di depan penguasa Roma di Afrika, dia menyinggung tentang perbedaan pendapat di antara Tiberius dan Pontius Pilatus:
"Pada masa ketika nama Kristen mulai muneul di dunia, Tiberius yang telah menerima kebenaran tentang keilahian Kristus, membawa perkara ini ke hadapan senat, disertai keputusannya sendiri untuk membela Kristus. Karena ia sendiri tidak menyetujuinya, senat menolak usulan Tiberius. Kaisar tetap berpegang pada pendapatnya, dan mengancam mereka yang mendakwa orang-orang Kristen (Apology, V.2). Beberapa sejarawan meragukan nilai sejarah dari perikop ini. Juga, Cr. Justinus Martyr, Apology, 1.35.
g. THALLUS, SEJARA WAN KETURUNAN SAMARIA
Salah seorang penulis bukan Yahudi yang pertama-tama menyinggung tentang Kristus adalah Thallus yang menulis pada tahun 52 M. Namun tulisan aslinya sudah musnah dan kita menge¬tuhui tulisannya hanya mclnlui beborapa kutipan oleh pengarang-pengarang lain. Salah seorang di antaranya adalah Julius Africanus, seorang pengarang Kristen yang hidup sekitar tahun 221 M. Dalam sebuah paragraf yang sangat menarik dia menyinggung tentang komentar Thallus. Julius Africanus menulis:
"Thallus, dalam buku sejarahnya yang ketiga, menggambarkan kegelapan ini seperti suatu gerhana matahari - sesuatu yang kurasa tidak masuk akal' (tentu saja tidak masuk akal, karena gerhana matahari tidak dapat terjadi pada saat bulan purnama, dan pada masa Paskah ketika bulan sedang purnama Kristus wafat)."
Jadi, dari sumber ini kita dapat melihat bahwa berita Injil tentang kegelapan yang meliputi daerah itu pada saat Yesus disalibkan juga diketahui banyak orang dan menuntut penjelasan alamiah dari orang-orang tidak percaya yang turut menyaksikannya. 2/113
h. PHLEGON, SEORANG SEJARAWAN DARI ABAD PERTAMA
Kitab Tawarikhnya sudah hilang, tapi sebuah kutipan kecil dari karyanya, yang menegaskan tentang kegelapan yang meliputi bumi pada saat penyaliban, juga disinggung oleh Julius Africanus. Setelah komentarnya (Africanus) tentang tidak masuk akalnya pendapat Thallus tentang kegelapan itu, dia mengutip Phlegon yang menga¬takan bahwa "pada masa Kaisar Tiberius sebuah gerhana matahari terjadi pada masa bulan purnama." 7/IIB, bagian 256 fl6, hlm, 1165
Phlegon juga disebut-sebut oleh Origenes dalam Contra Celsum, Buku ke 2, bagian 14, 33, 59.
Philopon (De. opif. mund. II 21) mengatakan: "Dan mengenai kegelapan ini ... Phlegon mengenangnya dalam Olympiads (judul buku sejarahnya)." Dia berkata bahwa "Phlegon berbicara tentang gerhana matahari yang terjadi pada waktu penyaliban Tuhan Kristus, dan bukan yang lain (gerhana), jelas sekali bahwa dia tidak mengetahui dari sumbernya sendiri tentang gerhana lain (yang serupa) pada masa-masa sebelumnya . . . dan hal ini ditunjukkan dalam catatan sejarah itu sendiri tentang Kaisar Tiberius." 41IIB, bagian 257 fl6, c, hlm, 1165.
i. SURAT MARA BAR-SERAPION
F. F. Bruce mencatat bahwa:
" . . . di British Museum ada sebuah naskah menarik yang memuat sebuah surat yang ditulis setelah tahun 73 M, tetapi kapan tepatnya tidak diketahui. Surat ini dikirim oleh seorang Siria ber¬nama Mara Bar-Serapion kepada putranya Serapion, Pada saat itu Mara Bar-Serapion sedang berada dalam penjara, tetapi dia menulis untuk meneguhkan putranya agar terus mencarl kcbijaksanaan, dan menunjukkan bahwa mereka yang menganiaya orang bijaksana akan ditimpa kemalangan. Dia memberi contoh kematian Socrates, Phytagoras, dan Kristus:
[color=darkblue]'''Keuntungan apa yang diperoleh orang-orang Athena dengan membunuh Socrates? Bencana kelaparan dan wabah penyakit menimpa mereka sebagai hukuman atas kejahatan mereka. Keuntungan apa yang diperoleh orang-orang di Samos dengan membakar Phytagoras? Dalam sekejap tanah mereka diliputi oleh pasir. Keuntungan apa yang diperoleh orang-orang Yahudi dengan membunuh Raja mereka yang bijaksana? Tidak lama setelah itu kerajaan mereka dihancurkan. Allah telah membalas kematian ketiga orang bijaksana ini dengan adil: orang-orang Athena mati kelaparan; orang-orang Samos ditelan samudra; orang-orang Yahudi, kalah perang dan terusir dari tanah airnya, terpencar ke seluruh dunia. Tetapi Socrates tidak binasa; dia hidup dalam ajaran Plato. Phytagoras tidak binasa; dia hidup dalam patung Hera. Begitu pula sang Raja bijaksana tidak binasa; Dia hidup dalam ajaran yang diberikan-Nya.'" 2/114
j. JUSTINUS MARTYR
Sekitar tahun ISO 'M, Justinus Martyr, dalam Defence of Christianity yang ditujukan kepada Kaisar Antonius Pius, mengingatkan Kaisar pada 1aporan Pilatus, yang menu rut Justinus pasti tersimpan dalam arsip kerajaan. Tetapi kata-kata, "Mereka menikam tangan dan kakiku," katanya, "menjelaskan tentang paku-paku yang tertancap di tangan dan kaki-Nya ke kayu salib; dan setelah Dia disalibkan, mereka yang menyalibkan-Nya membuang undi atas pakaiannya, dan membagi-baginya di antara mereka; dan bahwa hal ini adalah benar, Anda dapat melihatnya dalam "Kisah" yang dicatat dalam pemerintahan Pontius Pilatus." Selanjutnya dia berkata:
"Bahwa Dia telah melakukan mukjizat-mukjizat, Anda dapat memeriksanya dalam 'Kisah' Pontius Pilatus." Apology, 1.48
Elgin Moyer, dalam Who Was Who in Church History, melukiskan Justinus sebagai " ... ahli filsafat, martir,' apologis (orang yang membuat pembelaan bagi suatu keyakinan dan lain-lain), yang dilahirkan di Flavia Neapolis. Berpendidikan tin&gi, dan tampaknya mempunyai cukup sarana untuk mendukung penelitian dan perjalanannya. Sebagai seorang yang haus pada kebenaran, dia telah menimba banyak pengetahuan tentang Stoicisme, Aristotelisme, Phytagoreanisme, dan Platonisme, tetapi membenci Epicureanisme. Pada masa-masa itu dia mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan orang-orang Yahudi, tapi tidak tertarik pacta agama mereka. Rupanya dia paling condong pada Platonisme dan mengira bahwa dia sudah hampir mencapai tujuan filosofinya melihat Allah ketika suatu hari selagi berjalan-jalan seorang diri di tepi pantai, ahli filsafat muda itu bertemu dengan seorang Kristen tua yang tampak agung, berwajah menyenangkan dan lembut berwibawa. Orang Kristen yang rendah hati ini menggoyahkan kepercayaannya pada kebijaksanaan manusia, dan menunjukkan nabi-nabi Yahudi 'orang-orang yang hidup jauh sebelum semua ahli filsafat yang mulia, yang telah meramalkan kedatangan Kristus dalam semua tulisan dan ajarannya . . . ' Mengikuti nasihat orang tua ini, penganut Platonisme yang bersemangat ini menjadi seorang Kristen yang percaya. Katanya, 'Aku mendapatkan bahwa inilah satu-satunya filosofi yang aman dan menguntungkan.' Setelah pertobatannya, yang terjadi pada usia mudanya, dia membaktikan seluruh hidupnya pada pembelaan dan penyebaran agama Kristen." 7/227
k. TALMUD YAHUDI
Tol'doth Yeshu. Yesus disebut sebagai "Ben Pandera."
Talmud Babilonia. (Memberi pendapat orang:orang Amori) menulis " ... dan menggantung dia pada hari menjelang Paskah."
Talmud memberikan sebutan kepada Yesus: "Ben Pandera (atau 'Ben Pantere')" dan "Yeshu ben Pandera." Banyak cendekiawan mengatakan "pandera" adalah suatu permainan kata, suatu plesetan dari kata Yunani untuk perawan "parthenos," untuk menyebut-Nya "putra seorang perawan." Joseph Klausner, seorang .Yahudi, mengatakan "kelahiran Yesus yang di luar nikah adalah suatu masalah hangat di kalangan orang-orang Yahudi . "
Komentar yang terdapat dalam Baraila mempunyai nilai historis yang tinggi:
''Pada hari sebelum Paskah mereka menggantung Yeshu (dari Nazaret) dan selama 40 hari sebelumnya telah beredar pengumuman yang mengatakan bahwa (Yeshu dari Nazaret) akan dilontari batu dan' bahwa dia telah melakukan sihir dan telah menipu dan menyesatkan orang-orang Israel. Hendaknya setiap orang yang mempunyai pembelaan terhadap dia datang dan memohonkan peng¬ampunan baginya. Tetapi karena tidak ada yang datang untuk membela dia mereka menyalibkannya pada hari menjelang Paskah'' (Sanhedrin; Babilonia 43a). - "Hari menjelang Paskah."
Amoa 'Ulla' ("Ulla" adalah seorang murid R. Youchanan dan diam di Palestina pada akhir abad ketiga.) menambahkan:
"Dan apakah menurut Anda baginya (Yeshu dati Nazaret) ada hak untuk memohon pengampunan? Dia adalah seorang penipu, dan Yang Maha Pemurah telah mengatakan: 'Janganlah engkau mengampuni atau melindunginya.' Tapi entah dengan Yeshu, karcna dia dekat dengan pemerintah sipil."
Penguasa Yahudi tidak menyangkal bahwa Yesus telah melakukan tanda-tanda dan mukjizat (Matius 9:34; 12:24; Markus 3:22) tapi mereka menghubungkannya dengan perbuatan sihir, 5/23
"Talmud," tulis cendekiawan Yahudi Joseph Klausner,
"memakai istilah menggantung bukan menyalibkan, karena hukuman mati ala Roma yang mengerikan ini hanya dikenal oleh cendekiawan Yahudi dari pengadilan-pengadilan Roma, dan tidak terdapat dalam sistem hukum Yahudi. Bahkan Rasul Paulus (Galatia 3:13) menerapkan nas "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib" (UIangan 21:23) pada Yesus." 5/28
Sanhedrin 43a juga menyehut-nyebut tentang rasul-rasul Yesus.
Yeb. IV 3; 49a: "R. Shimeon ben Azzai berkata (tentang Yesus): 'AIm menemukan sebuah gulungan silsilah di Yerusalem di dalamnya tercatat, dia itu tiada lain seorang anak haram anak pezina. '"
Klausner menambahkan: "Edisi barn dari Misynah menambahkan: 'untuk mendukung kata-kata R. Yehoshua' (yang, dalam Misynah yang sama, mengatakan: Apakah anak haram itu? Mereka . yang orang tuanya layak dijatuhi hukuman mati oleh Beth Din). Bahwa yang dimaksud di sini adalah Yesus rasanya tidak perIu diragukan lagi . . . " 5/35
Sebuah Baraita kuno, di mana R. Eliezer menjadi tokoh utamanya, menyebut-nyebut nama Yesus. Tanda kurung di sini memang asli ada dalam kutipannya. Eliezer berkata: "Dia menjawab, Akibat engkau telah mengingatkan aku! Suatu ketika aku pemah berjalan-jalan di pasar atas (dalam Tosefta 'jalan') di Sepphoris dan berternu dengan seorang [Yesus dari Nazaret) dan Yacob dari Kefar Sekanya (dalam Tosefta 'Sakkanin') adalah namanya Dia berkata kepadaku, dalam Hukummu ada tertulis, 'Janganlah engkau membawa upah persundalan, dan lain-lain.' Jadi, apa yang harus dilakukan dengannya - kakus untuk Imam Agung? Tetapi aku tidak menjawab sepatah kata pun. Dia berkata kepadaku, begitulah [Yesus dari Nazaret] mengajarku [dalam Tosefta 'Jeshu bin Pantere']; 'Dari upah persundalan dia mendapatkannya, dan akan kembali kepada upah persundalan'; karena dari tempat yang kotor mereka berasal, maka ke tempat kotorlah mereka akan kembali. Dan peribahasa itu menyenangkan hatiku, dan oleh karenanya aku ditangkap untuk Minuth. Dan aku telah melanggar apa yang tertulis dalam Hukum; 'Jauhkanlah dirimu dati temp at ini' - itulah Minuth; dan 'Janganlah engkau mendekati' ambang pintu rumahnya' - Itulah peraturan pemerintah." 5/38
Tanda-tanda kurung di atas diketemukan dalam Dikduke So! rim to Abada Zara (Naskah Munich, ed. Rabinovitz).
Klausner dalam mengomentari paragrap di atas, mengatakan:
"Tidak dapat diragukan bahwa kata-kata, 'seorang murid Yesus dari Nazaret,' dan 'begitulah Yesus dari Nazaret mengajarku,' dalam paragrap yang sekarang adalah sama tuanya dengan bagian yang lain dan mempunyai bagian yang mendasar dalam konteks ceritanya; dan sifat kekunoann ya tidak dapat disangkal berdasarkan perbedaan kecil dengan paragrap yang sama dari naskah yang lain; perbedaan itu ('Yeshu ben' Pantere' atau 'Yeshu ben Pandera,' sebagai ganti dari 'Yeshu of Nazaret') hanya disebabkan oleh kenyataan bahwa, sejak semula, nama 'Pantere,' atau 'Pandera,' telah dikenal luas di kalangan orang Yahudi sebagai ayah Yesus." 5/38
l. ENCYCLOPAEDIA BRITANNICA
Edisi terbaru Encyclopaedia of Britannica memakai lebih dari 20.000 kata untuk menjelaskan tentang orang ini, Yesus. Penjelasan tentang Yesus jauh lebih panjang daripada tentang Aristoteles, Cicero, Alexander, Julius Caesar, Buddha, Confucius, Mohamad atau Napoleon Bonaparte.
Tentang banyaknya kesaksian bebas dunia sekular tentang Yesus dari Nazaret, ia mencatat:
"Kesaksian-kesaksian bebas ini menunjukkan bahwa dalam zaman kuno bahkan musuh-musuh agama Kristen pun tidak pemah meragukan kesejarahan Yesus, yang baru mulai diragukan oleh beberapa penulis tanpa dasar yang kuat pada akhir abad ke-l S, selama abad ke-19 dan awal abad ke-20." 3/145
BIBLIOGRAFI :
1. Betz, Otto. What Do We Know About Jesus? , SCM Press, 1968.
2. Bruce, F. F. The New Testament Documents: Are They Reliable? Edisi yang direvisi yang kelima. Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1972. Digunakan dengan izin.
3. Encyclopaedia Britannica. Edisi ke-15, 1974.
4. Jacoby, Felix. Die Fragmente der Griechischen Historiker. Berlin: Wiedmann, 1923.
5. Klausner, Joseph. Jesus of Nazareth. New York: The Macmillan Company, 1925.
6. Montgomery, John Warwick. History and Christianity. Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1964. Digunakan dengan izin.
7. Moyer, Elgin. Who Was Who in Church History. Chicago: Moody Press. 1968. '
8. Pines, Shlomo, Profesor Filsafat Universitas Ibrani, Ycrusalcm; David
Flusser, profesor Universitas Ibrani, dalam press release New York Times, 12 Februari 1972, dimuat oleh Palm Beach Post-Times, Minggu, 13 Februari 1972, "CHRIST DOCUMENTATION: Para Cendekiawan Israel Menemukan Dokumen-Dokumen Kuno yang Mereka Rasa Menegaskan Keberadaan Yesus."
Disalin dari :
Josh Mc Dowell, APOLOGETIKA : Bukti yang Meneguhkan Kebenaran Alkitab, Vo. 1, p 137-147
Wednesday, January 20, 2016
Friday, January 8, 2016
Islam Radikal Berpotensi Meluas ke Desa-desa
Jombang, NU Online
Desa menjadi arena pelaksanaan program pembangunan dari pemerintah. Kemandirian desa dalam mengatur dan mengurus kehidupan masyarakatnya menjadi potensi besar bagi pemberdayaan partisipasi masyarakat. Desa juga menjadi peluang bagi pihak lain yang berkepentingan, termasuk jaringan radikalisme untuk meluaskan dan menguatkan pengaruhnya melalui skema-skema pelayanan yang mudah diterima oleh masyarakat desa.
Demikian yang disampaikan Ahmad Samsul Rijal, Sekretaris Pengurus Cabnag Nahdltul Ulama (PCNU) Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ia mengungkapkan, beberapa kali seminar dan workshop yang diikutinya menyatakan bahwa paham radikal yang mengatasnamakan agama sudah mulai masuk di lingkungan masyarakat desa.
“Komunitas desa dengan perilaku agamis tradisionalis mulai dialih-kenalkan paham agama yang bersifat fundamentalis dengan kedok purifikasi (pemurnian) sumber ajaran,” katanya kepada NU Online, Jum’at (8/1).
Pendekatan seperti ini, lanjut Rijal akan menjadi jalan bagi tumbuhnya paham dan sikap radikal di tengah masyarakat desa, sehingga gesekan-gesekan konflik terbuka maupun laten niscaya terjadi. Desa tidak bisa lagi tumbuh sebagai entitas sosial budaya yang terhubung secara sehat.
“Desa akan terpolarisasi oleh ideologi yang tidak bisa menopang ideologi keagamaan dan kebangsaan yang kokoh. Sebaliknya, desa menjadi rapuh untuk bisa menopang keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” lanjut Rijal yang juga Sekretaris Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) Jombang.
Ia menyebutkan beberapa paham yang cendrung berusaha mengalih-kenalkan paham agama ke arah fundamentalisme, puritanisme dan radikalisme adalah mereka yang berideologi Salafi atau Wahabi, yakni founding father ideologi Saudi Arabia, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab An Najd.
“Kelompok Wahabi ini mengaku membawa misi memurnikan ajaran tauhid dari kemusyrikan, khurafat, bid’ah, menyembah makam-makam atau kuburan, dan lain sebagainya,” ulasnya.
Syariat Islam, bagi mereka, sepanjang tidak diatur dan ditentukan pelaksanaannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist dianggap bid’ah. Dan setiap bid’ah dinilai sebagai kesesatan yang kelak di akhirat dipastikan masuk neraka.
“Sehingga dampaknya kelompok yang telah terkontaminasi oleh wahabisme akan dengan mudah mengklaim sebagai pembawa kebenaran dan pemurni agama serta menilai selain mereka sebagai yang sesat, musyrik, kafir dan wajib dimusuhi,” tuturnya.
Ia mengakui bahwa pengaruh doktrin kelompok Wahabi sangat kuat. Hal ini menjadi kewaspadaan tersendiri bagi warga NU untuk membentengi masyarakat di pedesaan dengan menguatkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) an-Nahdliyah.
Dengan demikian desa tidak akan kehilangan lokalitas, kearifan dan keaslian atas asal usulnya. Keluhuran budaya dan nilai yang telah berkembang di desa serta mengikat erat hubungan kekerabatan dan kegotong-royongan tetap berjalan sebagaimana mestinya. “Cukuplah wahabisme menjadi ideologi warga Saudi Arabia, karena ‘kita’ bukan waga Islam Arab, tapi Islam Nusantara,” pungkasnya. (Syamsul Arifin/Mahbib)
www.nu.or.id
Desa menjadi arena pelaksanaan program pembangunan dari pemerintah. Kemandirian desa dalam mengatur dan mengurus kehidupan masyarakatnya menjadi potensi besar bagi pemberdayaan partisipasi masyarakat. Desa juga menjadi peluang bagi pihak lain yang berkepentingan, termasuk jaringan radikalisme untuk meluaskan dan menguatkan pengaruhnya melalui skema-skema pelayanan yang mudah diterima oleh masyarakat desa.
Demikian yang disampaikan Ahmad Samsul Rijal, Sekretaris Pengurus Cabnag Nahdltul Ulama (PCNU) Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ia mengungkapkan, beberapa kali seminar dan workshop yang diikutinya menyatakan bahwa paham radikal yang mengatasnamakan agama sudah mulai masuk di lingkungan masyarakat desa.
“Komunitas desa dengan perilaku agamis tradisionalis mulai dialih-kenalkan paham agama yang bersifat fundamentalis dengan kedok purifikasi (pemurnian) sumber ajaran,” katanya kepada NU Online, Jum’at (8/1).
Pendekatan seperti ini, lanjut Rijal akan menjadi jalan bagi tumbuhnya paham dan sikap radikal di tengah masyarakat desa, sehingga gesekan-gesekan konflik terbuka maupun laten niscaya terjadi. Desa tidak bisa lagi tumbuh sebagai entitas sosial budaya yang terhubung secara sehat.
“Desa akan terpolarisasi oleh ideologi yang tidak bisa menopang ideologi keagamaan dan kebangsaan yang kokoh. Sebaliknya, desa menjadi rapuh untuk bisa menopang keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” lanjut Rijal yang juga Sekretaris Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) Jombang.
Ia menyebutkan beberapa paham yang cendrung berusaha mengalih-kenalkan paham agama ke arah fundamentalisme, puritanisme dan radikalisme adalah mereka yang berideologi Salafi atau Wahabi, yakni founding father ideologi Saudi Arabia, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab An Najd.
“Kelompok Wahabi ini mengaku membawa misi memurnikan ajaran tauhid dari kemusyrikan, khurafat, bid’ah, menyembah makam-makam atau kuburan, dan lain sebagainya,” ulasnya.
Syariat Islam, bagi mereka, sepanjang tidak diatur dan ditentukan pelaksanaannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist dianggap bid’ah. Dan setiap bid’ah dinilai sebagai kesesatan yang kelak di akhirat dipastikan masuk neraka.
“Sehingga dampaknya kelompok yang telah terkontaminasi oleh wahabisme akan dengan mudah mengklaim sebagai pembawa kebenaran dan pemurni agama serta menilai selain mereka sebagai yang sesat, musyrik, kafir dan wajib dimusuhi,” tuturnya.
Ia mengakui bahwa pengaruh doktrin kelompok Wahabi sangat kuat. Hal ini menjadi kewaspadaan tersendiri bagi warga NU untuk membentengi masyarakat di pedesaan dengan menguatkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) an-Nahdliyah.
Dengan demikian desa tidak akan kehilangan lokalitas, kearifan dan keaslian atas asal usulnya. Keluhuran budaya dan nilai yang telah berkembang di desa serta mengikat erat hubungan kekerabatan dan kegotong-royongan tetap berjalan sebagaimana mestinya. “Cukuplah wahabisme menjadi ideologi warga Saudi Arabia, karena ‘kita’ bukan waga Islam Arab, tapi Islam Nusantara,” pungkasnya. (Syamsul Arifin/Mahbib)
www.nu.or.id
Wednesday, January 6, 2016
WAFATNYA GAJAH MADA DI PERANG BUBAT
Kerajaan Majapahit mulai mengalami kehancuran di tangan raja Hayam Wuruk, raja yang tidak memiliki wahyu raja di dalam dirinya, karena para dewa tidak berkenan kepadanya. Raja muda dan congkak yang hanya berbangga diri menikmati kebesaran dan kejayaan hasil kerja para raja pendahulunya. Raja, yang karena ingin juga dipandang besar dan hebat, ingin dipandang sebagai raja besar dan bahkan ingin dipandang lebih besar daripada dewa sesembahan manapun "mengabulkan" penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, perbuatan-perbuatan yang selalu dihindari oleh para raja pendahulunya, karena raja-raja di Jawa Barat adalah juga raja-raja di bawah naungan para dewa, yang juga memuja dewa di dalam peribadatannya.
Cukuplah seharusnya bila kerajaan-kerajaan itu mau mengakui kebesaran kerajaan Majapahit dan mau bersekutu, tidak perlu dihancurkan. Terjadinya Perang Bubat menjadi awal hilangnya "pamor" keraton Majapahit. Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda Galuh dari ketertarikannya terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman dan ia jatuh cinta kepada putri tersebut. Hayam Wuruk mengirimkan surat pinangan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar putri Dyah Pitaloka dengan rencana upacara pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit.
Pihak keluarga kerajaan Galuh bersedia menerima pinangan tersebut, tetapi pihak dewan kerajaan Sunda Galuh berkeberatan bila upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit, karena menurut adat-istiadat yang berlaku saat itu tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa itu adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang gencar melebarkan kekuasaan. Maharaja Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit dilandasi rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Prabu Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit, adalah seorang anak keturunan Sunda dengan ibu dari Jawa Timur. Dan kalaulah benar Majapahit ingin menguasai dan menaklukan kerajaannya, tentulah kerajaan sebesar Majapahit akan mengirimkan bala tentaranya untuk datang meratakan dengan tanah kerajaan kecilnya. Lagipula akan menjadi suatu kehormatan besar bila kerajaan Galuh bisa bersekutu dan menikahkan putrinya dengan raja Majapahit, sehingga raja-raja Majapahit sesudahnya adalah anak-anak keturunan mereka. Pernikahan itu juga akan meniadakan niat Majapahit menginvasi kerajaan Galuh.
Maharaja Linggabuana berangkat ke Majapahit beserta permaisurinya mengantarkan rombongan calon pengantin putri Dyah Pitaloka dan dikawal hampir tiga per empat prajurit kerajaan. Tahta kerajaan dititipkan kepada keponakannya (yang kelak akan disebut Prabu Siliwangi, yang menjadi raja setelah kematian Raja Linggabuana). Rombongan berangkat melalui jalan darat ke pelabuhan Cirebon. Dari Cirebon perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal laut kerajaan. Seiring kabar kesetujuan raja Galuh atas pinangan Hayam Wuruk dan kabar perjalanan mereka ke Majapahit, di Majapahit sendiri terjadi perdebatan panas mengenai kedatangan rombongan calon pengantin tersebut. Ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kedatangan mereka sebagai tanda tunduk kepada Majapahit. Seandainya pun pihak raja Galuh tidak setuju, maka akan mereka paksa dengan kekerasan. Banyak pembesar-pembesar Majapahit yang tidak senang dengan kesuksesan Gajah Mada. Nama Gajah Mada terlalu cemerlang, bahkan lebih terkenal daripada nama rajanya sendiri yang sedang memerintah.
Mereka selalu berusaha menjatuhkan Gajah Mada di depan raja mereka. Hayam Wuruk sendiri adalah raja baru, masih muda dan belum cukup memiliki kebijaksanaan sebagai seorang raja. Selaku orang tua Gajah Mada berusaha menahan diri untuk memberi teladan kepada rajanya. Gajah Mada sendiri berpendapat dan berusaha memberi pengertian bahwa kerajaan-kerajaan Sunda tidak perlu ditaklukkan dengan kekerasan mengingat selama ini antara kerajaan Jawa dan Sunda dan rakyat mereka sudah hidup berdampingan dengan rukun. Menyerang kerajaan-kerajaan di Jawa Barat adalah perbuatan yang selalu dihindari oleh para raja pendahulu, karena raja-raja di Jawa Barat adalah juga raja-raja di bawah naungan para dewa, yang juga memuja dewa di dalam peribadatannya. Itulah juga sebabnya dalam penaklukkan nusantara Gajah Mada tidak menginvasi jawa barat, walaupun itu adalah wilayah yang terdekat dengan kerajaan Majapahit dan harus lebih dulu ditaklukkan.
Cukuplah kiranya bila kerajaan-kerajaan Sunda itu mau mengakui kebesaran Majapahit dan mau bersekutu, tidak perlu dihancurkan. Lagipula kerajaan-kerajaan Sunda adalah kerajaan-kerajaan kecil yang tidak dapat dibandingkan dengan kebesaran kerajaan Majapahit, tidak akan membahayakan Majapahit. Walaupun begitu, mereka dapat dijadikan sekutu untuk mengamankan wilayah barat pulau Jawa dan dapat dimintai bantuannya sewaktu-waktu. Dalam hal ini rombongan Dyah Pitaloka yang datang ke Majapahit adalah sebagai putri calon pengantin dari negeri sederajat, bukan sebagai putri persembahan. Hayam Wuruk bimbang atas permasalahan tersebut. Namun atas desakan orang-orang di sekitarnya, akhirnya ia berkeputusan bahwa ia akan tetap memperistri putri Dyah Pitaloka, merebutnya dengan paksa bila perlu, dan menjadikan kerajaan Galuh sebagai bawahan Majapahit. Menurutnya, kebesaran Majapahit tidak dapat disamakan atau dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan Sunda, apalagi dianggap sederajat. Mereka semua harus tunduk di bawah panji-panji kebesaran Majapahit.
Kalau perlu, tentara Majapahit akan dikirimkan ke tanah Sunda untuk meratakan dengan tanah semua kekuasaan yang ada disana. Atas keputusan itu, orang-orang yang berseberangan dengan Gajah Mada merasa mendapat angin dan mulai berani mencela Gajah Mada. Diam-diam pun mereka sudah merencanakan gerakan-gerakan untuk menjatuhkan Gajah Mada. Setelah masuk ke laut Jawa Timur, kapal rombongan calon pengantin menyusuri sungai untuk semakin dalam mendekati pusat kerajaan Majapahit. Rombongan mendarat di suatu tempat yang dianggap aman. Rombongan Raja Linggabuana dan prajuritnya meneruskan perjalanan melalui jalan darat, sedangkan putri Dyah Pitaloka ditinggalkan di kapal bersama para pengiring pengantin dan sebagian prajurit untuk menjaganya. Rencananya, kedatangan Raja Linggabuana terlebih dahulu adalah untuk memberi kabar bahwa rombongannya sudah sampai dengan selamat. Sedangkan calon pengantin sendiri tentunya nantinya akan dijemput oleh pihak Hayam Wuruk setelah upacara pernikahan sudah siap dilaksanakan.
Rombongan Raja Linggabuana diterima di pos penjagaan Majapahit di luar kota dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Belum lagi Gajah Mada menerima berita kedatangan Raja Linggabuana, sejumlah besar pasukan khusus Majapahit sudah bergerak mendatangi pesanggrahan Bubat. Dengan pakaian keprajuritan hitam-hitam dan simbol-simbol pasukan khusus Majapahit mereka memaksa Raja Linggabuana untuk mengakui kebesaran kerajaan Majapahit atas kerajaan Galuh. Raja Linggabuana menolak pemaksaan itu. Maka terjadilah pertarungan antara pasukan Majapahit itu dengan pasukan Raja Linggabuana. Barisan pasukan khusus Majapahit bergerak melingkar, mengepung Raja Linggabuana dan para pengawalnya. Pasukan khusus Majapahit bersenjatakan tombak panjang, dengan barisan yang rapat bergerak menyerang maju menusuk dan mundur bertahan dan gerakan kaki menghentak ke tanah, teratur saling mengisi dan melindungi, gerakan barisan banteng dan gajah, membuat tentara Raja Linggabuana terjepit dan terdesak. Sama sekali tak ada ruang untuk menghindar atau mundur, apalagi lari. Prajurit Raja Linggabuana membentuk formasi bertahan melingkar mengelilingi raja mereka.
Pasukan pendekar pengawal raja bergerak ganas melompat-lompat menyerang menerjang dengan senjatanya masing-masing dan mengaum-aum seperti macan. Raja Linggabuana sendiri sudah mengetrapkan ilmu pamungkasnya, ajian macan liwung, ilmu khusus keluarga kerajaan yang ganas, yang diterapkan hanya dalam kondisi terdesak antara hidup dan mati. Sekalipun sudah cukup tua, gemuk dan gendut, tetapi kegesitan dan kekuatannya tidak berkurang. Raja Linggabuana yang sakti dengan bersenjatakan sepasang belati khusus sebagai kepanjangan tangan dan cakar-cakar harimaunya bergerak trengginas seperti seekor harimau besar, gagah perkasa. Suasana perang hiruk-pikuk penuh dengan suara auman macan dan hentakan kaki ke bumi. Satu per satu korban berjatuhan di kedua pihak. Tetapi pasukan khusus Majapahit lebih tangguh daripada lawannya. Prajurit dan pasukan pendekar Raja Linggabuana terdesak hebat dan berjatuhan sudah hampir habis, tak mampu melawan barisan pasukan khusus Majapahit. Raja Linggabuana dengan belatinya sudah menewaskan banyak prajurit Majapahit, tetapi juga sudah beberapa kali tertusuk tombak tajam, namun tidak terluka.
Dengan satu teriakan aba-aba yang keras di pihak pasukan Majapahit, pertempuran terpecah terbagi menjadi dua lingkaran besar. Lingkaran pertama adalah kepungan 5 orang kepala pasukan khusus Majapahit yang sudah menghunus kerisnya masing-masing, mengepung Raja Linggabuana. Tombak-tombak keprajuritan mereka tak mampu melukai Raja Linggabuana. Lingkaran kedua adalah para prajurit pasukan khusus Majapahit yang mengepung para prajurit dan pendekar, pejabat, anggota keluarga kerajaan dan permaisuri Raja Linggabuana. Pertempuran yang ganas kembali berlanjut. Raja Linggabuana semakin terjepit, terpisah dari kelompoknya dan tak mampu menyatukan kekuatan dengan para pengawalnya. Para pengawalnya pun tak mampu berbuat banyak, karena harus melindungi dirinya sendiri dan para keluarga kerajaan yang lain. Kembali para pendekar dan pengawal raja berjatuhan tewas satu per satu. Raja Linggabuana sendiri harus mulai banyak menghindar, karena walaupun keris-keris lawannya berhasil dihindari tidak sampai menyentuh tubuhnya, tetapi kesiuran angin tusukan dan sabetan keris-keris lawannya terasa panas dan perih di kulitnya.
Pada sebuah kesempatan seorang kepala pasukan khusus Majapahit berhasil menusukkan kerisnya ke pinggang Raja Linggabuana. Raja Linggabuana tersungkur terduduk. Rasa perih dan panas terasa sangat menyengat. Darah merah hitam mengalir dari pinggangnya membasahi pakaiannya. Walaupun terasa sakit dan perih dipaksanya untuk bangkit berdiri. Dengan jurus lompatan harimau, perlawanannya yang terakhir, ia melompat menubruk dan belatinya menembus dada seorang lawannya, tetapi musuh-musuhnya yang lain menghujamkan keris-keris mereka ke tubuh Raja Linggabuana. Akhirnya Raja Linggabuana yang gagah perkasa gugur di medan laga. Para prajurit dan pasukan pendekar Raja Linggabuana gugur satu persatu. Kegagahan dan ketangguhan pasukan khusus Majapahit benar-benar menguasai jalannya pertempuran. Walaupun jumlahnya tidak cukup banyak, tetapi lawannya tidak cukup siap menghadapi ketangguhan pasukan khusus sebuah kerajaan besar, lawan-lawannya tak mampu menahan mereka. Pertarungan berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan beserta segenap keluarga raja dan prajurit kerajaan Galuh di lapangan Bubat. Habis tak bersisa.
Akibat peristiwa Bubat itu hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang penyerangan ke Bubat. Gajah Mada menjadi kambing hitam dari orang-orang yang tidak senang kepadanya. Bahkan raja Hayam Wuruk pun murka kepadanya dan menimpakan semua kesalahan kepadanya. Gajah Mada menghadapi sendirian tuduhan, kecurigaan, dan kecaman dari semua pihak di kerajaan Majapahit, karena dianggap bertanggung jawab, ceroboh dan gegabah membiarkan pasukannya bergerak dan bertindak sendiri diluar komandonya. Tidak mungkin sebagai seorang pemimpin besar ketentaraan ia tidak mengetahui pergerakan prajurit-prajuritnya. Ia dianggap terlalu lancang melakukan tindakan sendiri tanpa seizin Raja Hayam Wuruk. Segala fitnah kambing hitam dijatuhkan kepada Mahapatih Gajah Mada, sehingga kemudian Gajah Mada menyatakan mundur dari keprajuritan.
Lengser. Menepi di sebuah goa di lereng gunung di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan moksa, dengan membawa kepahitan di dalam hatinya. Mahapatih Gajah Mada telah membuktikan tekadnya mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan tidak berhenti bekerja sebelum Majapahit mencapai kejayaannya. Bahkan karena pengabdiannya itu ia tidak menikah dan tidak memiliki keturunan. Tetapi ternyata kejayaan dari pengabdian tulus seumur hidup telah berbalik menjadi kehinaan dan nista di tangan seorang raja congkak dan tak berbudi luhur ! Putri Dyah Pitaloka, rombongan dan para pengawalnya masih setia menunggu di kapal. Mereka tidak mengetahui bahwa ayah-ibunya dan para prajurit yang mengawalnya telah mati terbunuh di lapangan Bubat. Hampir sebulan lamanya mereka menunggu di kapal. Akhirnya mereka semua juga meninggal karena terjangkit wabah yang mematikan. Sampai sekarang manusia masih dapat bertemu dengan mereka, karena roh mereka masih berada di tempat itu bersama dengan kapal yang mereka tumpangi.
--
Lokasi perang Bubat
VIVA.co.id - Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada.
Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan Kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan dari Kerajaan Sunda (Padjajaran) pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana di lapangan Bubat pada abad ke 14 sekitar tahun 1360 masehi.
Pertempuran yang sangat tidak seimbang itu dimenangkan Kerajaan Majapahit.
Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandan perangnya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana.
Permaisuri dan puteri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi yang sedianya akan dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk turut meregang nyawa dengan cara bunuh diri setelah meratapi kematian sang ayah di medan pertempuran itu.
Namun, hingga saat ini, tak ada yang tahu di mana peristiwa sejarah penting dalam perjalanan kerajaan Nusantara itu terjadi. Lokasi pertempuran dua kerajaan besar di Pulau Jawa itu tetap menjadi misteri yang belum juga terpecahkan.
Peristiwa Bubat sama sekali tidak disinggung dalam naskah Negarakretagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca yang ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada).
Hanya disebutkan bahwa Desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
"Menurut informasi, lapangan Bubat itu sekarang berada di Desa Tempuran. Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan antara dua sungai, tetapi tempat bertempurnyya pasukan-pasukan zaman dulu," kata Arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.
Menurut Aris, bubat bisa jadi berasal dari kata "butbat"yang berarti jalan yang lega dan lapang.
Perang Tanpa Tanda Bukti
Biasanya pada sebuah situs peperangan ditemukan benda-benda arkeologi yang bisa menjadi bukti terjadi perang. Misalnya, ditemukan tombak dan keris yang berceceran.
Namun pada peristiwa Perang Bubat ini, sangat miskin bukti arkeologi. Hingga saat ini, nyaris tak ada satupun benda peninggalan perang yang ditemukan.
Sebaliknya, peristiwa itu mendapat tempat dalam naskah-naskah kuno Sunda yang ditulis dua abad kemudian. Naskah-naskah itu antara lain Pararaton, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.
Bahkan menurut penuturan Zoetmulder (1974 -1985), kisah itu terdapat pula dalam Kidung Sunda naskah Bali (I Gusti Ngurah Bagus 1991).
Tempat yang banyak disebut-sebut dalam naskah kuno Sunda itu mungkin bukan terletak di Trowulan.
Berdasarkan hasil foto udara dan ekskavasi situs tersebut menunjukkan, Trowulan yang pusat kerajaan Majapahit itu memiliki banyak parit.
Maka sulit dibayangkan Prabu Hayam Wuruk datang ke lapangan Bubat untuk menghadiri upacara keagamaan dan kenegaraan dengan mengendarai kereta yang ditarik enam ekor kuda, sebagaimana diceritakan dalam naskah Negarakretagama.
Naskah yang berhasil diselamatkan saat terjadi Perang Lombok pada tahun 1894 itu tidak menyebutkan dimana letak Bubat.
Setidaknya terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Bukan berarti peristiwa itu tidak pernah ada," kata Bernard H.M. Vlekke, Guru Besar Universitas Leiden, Belanda, penulis buku Nusantara.
Cukuplah seharusnya bila kerajaan-kerajaan itu mau mengakui kebesaran kerajaan Majapahit dan mau bersekutu, tidak perlu dihancurkan. Terjadinya Perang Bubat menjadi awal hilangnya "pamor" keraton Majapahit. Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda Galuh dari ketertarikannya terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman dan ia jatuh cinta kepada putri tersebut. Hayam Wuruk mengirimkan surat pinangan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar putri Dyah Pitaloka dengan rencana upacara pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit.
Pihak keluarga kerajaan Galuh bersedia menerima pinangan tersebut, tetapi pihak dewan kerajaan Sunda Galuh berkeberatan bila upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit, karena menurut adat-istiadat yang berlaku saat itu tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa itu adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang gencar melebarkan kekuasaan. Maharaja Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit dilandasi rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Prabu Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit, adalah seorang anak keturunan Sunda dengan ibu dari Jawa Timur. Dan kalaulah benar Majapahit ingin menguasai dan menaklukan kerajaannya, tentulah kerajaan sebesar Majapahit akan mengirimkan bala tentaranya untuk datang meratakan dengan tanah kerajaan kecilnya. Lagipula akan menjadi suatu kehormatan besar bila kerajaan Galuh bisa bersekutu dan menikahkan putrinya dengan raja Majapahit, sehingga raja-raja Majapahit sesudahnya adalah anak-anak keturunan mereka. Pernikahan itu juga akan meniadakan niat Majapahit menginvasi kerajaan Galuh.
Maharaja Linggabuana berangkat ke Majapahit beserta permaisurinya mengantarkan rombongan calon pengantin putri Dyah Pitaloka dan dikawal hampir tiga per empat prajurit kerajaan. Tahta kerajaan dititipkan kepada keponakannya (yang kelak akan disebut Prabu Siliwangi, yang menjadi raja setelah kematian Raja Linggabuana). Rombongan berangkat melalui jalan darat ke pelabuhan Cirebon. Dari Cirebon perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal laut kerajaan. Seiring kabar kesetujuan raja Galuh atas pinangan Hayam Wuruk dan kabar perjalanan mereka ke Majapahit, di Majapahit sendiri terjadi perdebatan panas mengenai kedatangan rombongan calon pengantin tersebut. Ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kedatangan mereka sebagai tanda tunduk kepada Majapahit. Seandainya pun pihak raja Galuh tidak setuju, maka akan mereka paksa dengan kekerasan. Banyak pembesar-pembesar Majapahit yang tidak senang dengan kesuksesan Gajah Mada. Nama Gajah Mada terlalu cemerlang, bahkan lebih terkenal daripada nama rajanya sendiri yang sedang memerintah.
Mereka selalu berusaha menjatuhkan Gajah Mada di depan raja mereka. Hayam Wuruk sendiri adalah raja baru, masih muda dan belum cukup memiliki kebijaksanaan sebagai seorang raja. Selaku orang tua Gajah Mada berusaha menahan diri untuk memberi teladan kepada rajanya. Gajah Mada sendiri berpendapat dan berusaha memberi pengertian bahwa kerajaan-kerajaan Sunda tidak perlu ditaklukkan dengan kekerasan mengingat selama ini antara kerajaan Jawa dan Sunda dan rakyat mereka sudah hidup berdampingan dengan rukun. Menyerang kerajaan-kerajaan di Jawa Barat adalah perbuatan yang selalu dihindari oleh para raja pendahulu, karena raja-raja di Jawa Barat adalah juga raja-raja di bawah naungan para dewa, yang juga memuja dewa di dalam peribadatannya. Itulah juga sebabnya dalam penaklukkan nusantara Gajah Mada tidak menginvasi jawa barat, walaupun itu adalah wilayah yang terdekat dengan kerajaan Majapahit dan harus lebih dulu ditaklukkan.
Cukuplah kiranya bila kerajaan-kerajaan Sunda itu mau mengakui kebesaran Majapahit dan mau bersekutu, tidak perlu dihancurkan. Lagipula kerajaan-kerajaan Sunda adalah kerajaan-kerajaan kecil yang tidak dapat dibandingkan dengan kebesaran kerajaan Majapahit, tidak akan membahayakan Majapahit. Walaupun begitu, mereka dapat dijadikan sekutu untuk mengamankan wilayah barat pulau Jawa dan dapat dimintai bantuannya sewaktu-waktu. Dalam hal ini rombongan Dyah Pitaloka yang datang ke Majapahit adalah sebagai putri calon pengantin dari negeri sederajat, bukan sebagai putri persembahan. Hayam Wuruk bimbang atas permasalahan tersebut. Namun atas desakan orang-orang di sekitarnya, akhirnya ia berkeputusan bahwa ia akan tetap memperistri putri Dyah Pitaloka, merebutnya dengan paksa bila perlu, dan menjadikan kerajaan Galuh sebagai bawahan Majapahit. Menurutnya, kebesaran Majapahit tidak dapat disamakan atau dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan Sunda, apalagi dianggap sederajat. Mereka semua harus tunduk di bawah panji-panji kebesaran Majapahit.
Kalau perlu, tentara Majapahit akan dikirimkan ke tanah Sunda untuk meratakan dengan tanah semua kekuasaan yang ada disana. Atas keputusan itu, orang-orang yang berseberangan dengan Gajah Mada merasa mendapat angin dan mulai berani mencela Gajah Mada. Diam-diam pun mereka sudah merencanakan gerakan-gerakan untuk menjatuhkan Gajah Mada. Setelah masuk ke laut Jawa Timur, kapal rombongan calon pengantin menyusuri sungai untuk semakin dalam mendekati pusat kerajaan Majapahit. Rombongan mendarat di suatu tempat yang dianggap aman. Rombongan Raja Linggabuana dan prajuritnya meneruskan perjalanan melalui jalan darat, sedangkan putri Dyah Pitaloka ditinggalkan di kapal bersama para pengiring pengantin dan sebagian prajurit untuk menjaganya. Rencananya, kedatangan Raja Linggabuana terlebih dahulu adalah untuk memberi kabar bahwa rombongannya sudah sampai dengan selamat. Sedangkan calon pengantin sendiri tentunya nantinya akan dijemput oleh pihak Hayam Wuruk setelah upacara pernikahan sudah siap dilaksanakan.
Rombongan Raja Linggabuana diterima di pos penjagaan Majapahit di luar kota dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Belum lagi Gajah Mada menerima berita kedatangan Raja Linggabuana, sejumlah besar pasukan khusus Majapahit sudah bergerak mendatangi pesanggrahan Bubat. Dengan pakaian keprajuritan hitam-hitam dan simbol-simbol pasukan khusus Majapahit mereka memaksa Raja Linggabuana untuk mengakui kebesaran kerajaan Majapahit atas kerajaan Galuh. Raja Linggabuana menolak pemaksaan itu. Maka terjadilah pertarungan antara pasukan Majapahit itu dengan pasukan Raja Linggabuana. Barisan pasukan khusus Majapahit bergerak melingkar, mengepung Raja Linggabuana dan para pengawalnya. Pasukan khusus Majapahit bersenjatakan tombak panjang, dengan barisan yang rapat bergerak menyerang maju menusuk dan mundur bertahan dan gerakan kaki menghentak ke tanah, teratur saling mengisi dan melindungi, gerakan barisan banteng dan gajah, membuat tentara Raja Linggabuana terjepit dan terdesak. Sama sekali tak ada ruang untuk menghindar atau mundur, apalagi lari. Prajurit Raja Linggabuana membentuk formasi bertahan melingkar mengelilingi raja mereka.
Pasukan pendekar pengawal raja bergerak ganas melompat-lompat menyerang menerjang dengan senjatanya masing-masing dan mengaum-aum seperti macan. Raja Linggabuana sendiri sudah mengetrapkan ilmu pamungkasnya, ajian macan liwung, ilmu khusus keluarga kerajaan yang ganas, yang diterapkan hanya dalam kondisi terdesak antara hidup dan mati. Sekalipun sudah cukup tua, gemuk dan gendut, tetapi kegesitan dan kekuatannya tidak berkurang. Raja Linggabuana yang sakti dengan bersenjatakan sepasang belati khusus sebagai kepanjangan tangan dan cakar-cakar harimaunya bergerak trengginas seperti seekor harimau besar, gagah perkasa. Suasana perang hiruk-pikuk penuh dengan suara auman macan dan hentakan kaki ke bumi. Satu per satu korban berjatuhan di kedua pihak. Tetapi pasukan khusus Majapahit lebih tangguh daripada lawannya. Prajurit dan pasukan pendekar Raja Linggabuana terdesak hebat dan berjatuhan sudah hampir habis, tak mampu melawan barisan pasukan khusus Majapahit. Raja Linggabuana dengan belatinya sudah menewaskan banyak prajurit Majapahit, tetapi juga sudah beberapa kali tertusuk tombak tajam, namun tidak terluka.
Dengan satu teriakan aba-aba yang keras di pihak pasukan Majapahit, pertempuran terpecah terbagi menjadi dua lingkaran besar. Lingkaran pertama adalah kepungan 5 orang kepala pasukan khusus Majapahit yang sudah menghunus kerisnya masing-masing, mengepung Raja Linggabuana. Tombak-tombak keprajuritan mereka tak mampu melukai Raja Linggabuana. Lingkaran kedua adalah para prajurit pasukan khusus Majapahit yang mengepung para prajurit dan pendekar, pejabat, anggota keluarga kerajaan dan permaisuri Raja Linggabuana. Pertempuran yang ganas kembali berlanjut. Raja Linggabuana semakin terjepit, terpisah dari kelompoknya dan tak mampu menyatukan kekuatan dengan para pengawalnya. Para pengawalnya pun tak mampu berbuat banyak, karena harus melindungi dirinya sendiri dan para keluarga kerajaan yang lain. Kembali para pendekar dan pengawal raja berjatuhan tewas satu per satu. Raja Linggabuana sendiri harus mulai banyak menghindar, karena walaupun keris-keris lawannya berhasil dihindari tidak sampai menyentuh tubuhnya, tetapi kesiuran angin tusukan dan sabetan keris-keris lawannya terasa panas dan perih di kulitnya.
Pada sebuah kesempatan seorang kepala pasukan khusus Majapahit berhasil menusukkan kerisnya ke pinggang Raja Linggabuana. Raja Linggabuana tersungkur terduduk. Rasa perih dan panas terasa sangat menyengat. Darah merah hitam mengalir dari pinggangnya membasahi pakaiannya. Walaupun terasa sakit dan perih dipaksanya untuk bangkit berdiri. Dengan jurus lompatan harimau, perlawanannya yang terakhir, ia melompat menubruk dan belatinya menembus dada seorang lawannya, tetapi musuh-musuhnya yang lain menghujamkan keris-keris mereka ke tubuh Raja Linggabuana. Akhirnya Raja Linggabuana yang gagah perkasa gugur di medan laga. Para prajurit dan pasukan pendekar Raja Linggabuana gugur satu persatu. Kegagahan dan ketangguhan pasukan khusus Majapahit benar-benar menguasai jalannya pertempuran. Walaupun jumlahnya tidak cukup banyak, tetapi lawannya tidak cukup siap menghadapi ketangguhan pasukan khusus sebuah kerajaan besar, lawan-lawannya tak mampu menahan mereka. Pertarungan berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan beserta segenap keluarga raja dan prajurit kerajaan Galuh di lapangan Bubat. Habis tak bersisa.
Akibat peristiwa Bubat itu hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang penyerangan ke Bubat. Gajah Mada menjadi kambing hitam dari orang-orang yang tidak senang kepadanya. Bahkan raja Hayam Wuruk pun murka kepadanya dan menimpakan semua kesalahan kepadanya. Gajah Mada menghadapi sendirian tuduhan, kecurigaan, dan kecaman dari semua pihak di kerajaan Majapahit, karena dianggap bertanggung jawab, ceroboh dan gegabah membiarkan pasukannya bergerak dan bertindak sendiri diluar komandonya. Tidak mungkin sebagai seorang pemimpin besar ketentaraan ia tidak mengetahui pergerakan prajurit-prajuritnya. Ia dianggap terlalu lancang melakukan tindakan sendiri tanpa seizin Raja Hayam Wuruk. Segala fitnah kambing hitam dijatuhkan kepada Mahapatih Gajah Mada, sehingga kemudian Gajah Mada menyatakan mundur dari keprajuritan.
Lengser. Menepi di sebuah goa di lereng gunung di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan moksa, dengan membawa kepahitan di dalam hatinya. Mahapatih Gajah Mada telah membuktikan tekadnya mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan tidak berhenti bekerja sebelum Majapahit mencapai kejayaannya. Bahkan karena pengabdiannya itu ia tidak menikah dan tidak memiliki keturunan. Tetapi ternyata kejayaan dari pengabdian tulus seumur hidup telah berbalik menjadi kehinaan dan nista di tangan seorang raja congkak dan tak berbudi luhur ! Putri Dyah Pitaloka, rombongan dan para pengawalnya masih setia menunggu di kapal. Mereka tidak mengetahui bahwa ayah-ibunya dan para prajurit yang mengawalnya telah mati terbunuh di lapangan Bubat. Hampir sebulan lamanya mereka menunggu di kapal. Akhirnya mereka semua juga meninggal karena terjangkit wabah yang mematikan. Sampai sekarang manusia masih dapat bertemu dengan mereka, karena roh mereka masih berada di tempat itu bersama dengan kapal yang mereka tumpangi.
--
Lokasi perang Bubat
VIVA.co.id - Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada.
Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan Kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan dari Kerajaan Sunda (Padjajaran) pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana di lapangan Bubat pada abad ke 14 sekitar tahun 1360 masehi.
Pertempuran yang sangat tidak seimbang itu dimenangkan Kerajaan Majapahit.
Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandan perangnya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana.
Permaisuri dan puteri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi yang sedianya akan dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk turut meregang nyawa dengan cara bunuh diri setelah meratapi kematian sang ayah di medan pertempuran itu.
Namun, hingga saat ini, tak ada yang tahu di mana peristiwa sejarah penting dalam perjalanan kerajaan Nusantara itu terjadi. Lokasi pertempuran dua kerajaan besar di Pulau Jawa itu tetap menjadi misteri yang belum juga terpecahkan.
Peristiwa Bubat sama sekali tidak disinggung dalam naskah Negarakretagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca yang ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada).
Hanya disebutkan bahwa Desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
"Menurut informasi, lapangan Bubat itu sekarang berada di Desa Tempuran. Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan antara dua sungai, tetapi tempat bertempurnyya pasukan-pasukan zaman dulu," kata Arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.
Menurut Aris, bubat bisa jadi berasal dari kata "butbat"yang berarti jalan yang lega dan lapang.
Perang Tanpa Tanda Bukti
Biasanya pada sebuah situs peperangan ditemukan benda-benda arkeologi yang bisa menjadi bukti terjadi perang. Misalnya, ditemukan tombak dan keris yang berceceran.
Namun pada peristiwa Perang Bubat ini, sangat miskin bukti arkeologi. Hingga saat ini, nyaris tak ada satupun benda peninggalan perang yang ditemukan.
Sebaliknya, peristiwa itu mendapat tempat dalam naskah-naskah kuno Sunda yang ditulis dua abad kemudian. Naskah-naskah itu antara lain Pararaton, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.
Bahkan menurut penuturan Zoetmulder (1974 -1985), kisah itu terdapat pula dalam Kidung Sunda naskah Bali (I Gusti Ngurah Bagus 1991).
Tempat yang banyak disebut-sebut dalam naskah kuno Sunda itu mungkin bukan terletak di Trowulan.
Berdasarkan hasil foto udara dan ekskavasi situs tersebut menunjukkan, Trowulan yang pusat kerajaan Majapahit itu memiliki banyak parit.
Maka sulit dibayangkan Prabu Hayam Wuruk datang ke lapangan Bubat untuk menghadiri upacara keagamaan dan kenegaraan dengan mengendarai kereta yang ditarik enam ekor kuda, sebagaimana diceritakan dalam naskah Negarakretagama.
Naskah yang berhasil diselamatkan saat terjadi Perang Lombok pada tahun 1894 itu tidak menyebutkan dimana letak Bubat.
Setidaknya terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Bukan berarti peristiwa itu tidak pernah ada," kata Bernard H.M. Vlekke, Guru Besar Universitas Leiden, Belanda, penulis buku Nusantara.
Lokasi Perang di Ibu Kota Majapahit
Sejarah Indonesia menyebutkan, lokasi Bubat yang diambil dari Kidung Sunda. Bubat adalah sebuah lapangan besar di sebelah utara Trowulan, Ibu Kota Majapahit.
"Menurut cerita tutur masyarakat Trowulan , kemungkinan lapangan bubat terletak di dekat kolam Segaran Majapahit , sekarang jadi perumahan dan persawahan,"ujar Dimas
Cokro Pamungkas, budayawan Trowulan yang meneliti tentang Majapahit.
Dimas menambahkan, ada versi lain lagi tentang lapangan bubat. Wilayah Bubat merupakan kota bandar yang terletak di sisi sungai besar yang letaknya tidak jauh dari Tarik.
Lapangan Bubat terletak di tepi Sungai Brantas yang palungnya membelok dari arah selatan ke utara, dan terus ke arah timur.
"Di tempat inilah kapal-kapal yang ditumpangi rombongan Prabu Linggabuana berlabuh dan kemudian membangun perkemahan di atas lapangan Bubat ," ujar Dimas.
Di bagian selatan sungai ini pernah ditemukan sisa-sisa bangunan dan bata kuno dalam jumlah cukup banyak yang berserakan di mana-mana. Tempat ini diduga sebagai lokasi pusat ibu kota Majapahit.
Di tempat ini pula terletak Dusun Medowo yang dalam naskah Negarakertagama disebut Madawapura.
Hal ini senada dengan keterangan sejarawan Ayatrohedi yang pernah mengatakan jika ingin menemukan tinggalan peristiwa Bubat, penelitian harus ditujukan ke Tarik.
Monday, January 4, 2016
Perang Kerajaan Majapahit melawan Dinasti Yuan dari Cina
Kerajaan
Singosari di Jawa berhasil membangun sebuah kestabilan
politik dan militer yang menempatkan posisi Singosari
sebagai kerajaan yang cukup disegani di Nusantara. Puncak
kejayaan Singosari terjadi pada masa pemerintahan Sri Maharaja
Kertanegara.
Sementara itu di
daratan Cina, cucu Jengis Khan yang bernama Khubilai Khan berhasil membangun
sebuah kekuasaan ke kaisaran yang ditopang dengan kekuatan militer yang besar
dan tangguh. Kaisar Khubilai Khan yang menamakan pemerintahannya dengan nama
Sung berkeinginan untuk menundukkan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan Asia
Timur lewat menggunakan kekuatan militer dan politik. Caranya dengan meminta
para penguasa lokal untuk mengakui kaisar Khubilai Khan di daratan Cina sebagai
penguasa tunggal dan mengharuskan raja-raja lokal tersebut mengirim upeti
(tribute) kepada Kaisar Cina. Salah satunya adalah ke Jawa yang kala itu
diperintah oleh Sri Maharaja Kertanegara dari Kerajaan Singosari.
Demi tujuan tersebut
diatas, pada tahun 1289 Khubilai Khan mengirimkan utusannya ke Singosari.
Pengiriman utusan ini telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh Kaisar
Khubilai Khan. Namun utusan yang terakhir inilah yang mengalami insiden yang
pada akhirnya memicu sebuah konfrontasi terbuka.
Utusan itu bernama
Meng Chi, datang membawa pesan dari Kaisar Khubilai Khan supaya Singosari
tunduk dibawah kekuasaannya. Sri Maharaja Kertanegara merasa tersinggung, lalu
mencederai wajah dan memotong telinga Meng Chi dan mengirimnya pulang ke Cina
dengan pesan tegas bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan Cina. Perlakuan
Sri Maharaja Kertanegara terhadap Meng Chi dianggap sebagai penghinaan kepada
Kaisar Khubilai Khan. Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di
daratan Asia saat itu, ia merasa terhina dan berniat ntuk menghancurkan Jawa
yang menurutnya telah mempermalukan bangsa Cina.
Jawa (Indonesia) dapat
menghindar dari serangan Tiongkok. Raden Wijaya bersiasat menyiapkan upeti bagi
kaisar Khubilai Khan, sebagai wujud penyerahan dirinya. Ike Mese utusan
Khubilai Khan mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, bukannya
mempersiapkan upeti, Wijaya dan pasukannya malah menghabisi kedua perwira dan
para pengawal dari Mongol yang menyertainya. Setelah itu, dengan membawa
pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya memimpin pasukan tempurnya menyerbu
pasukan Cina yang masih tersisa di Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta
kemenangan.
Pasukan Cina yang
masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian.
Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari meninggalkan banyak korban.
Serangan mendadak yang tidak disadari itu membuat Ike Mese kaget tidak kepalang
tanggung.
Tiga ribu pasukan
Kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, dan
memaksa mereka keluar dari Pulau Jawa dengan meninggalkan banyak korban.
Kekalahan balatentara
Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina.
Sebelumnya, mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa
mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kubilai Khan juga pernah hancur saat
akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi, kehancuran ini bukan disebabkan oleh
kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang
memporak-porandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit
di dalamnya.
Menurut Pararaton,
pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese diusir dari Pulau Jawa. Pertempuran
berakhir di Pelabuhan Ujunggaluh (Tanjung Perak sekarang) dengan kemenangan
pasukan Raden Wijaya. Pada pertempuran ini dicatat dalam sejarah Majapahit,
Sang Saka Gula Kelapa dikibarkan bersama umbu-umbul calon kerajaan yang akan
lahir di atas kepala para prajurit Jawa. Peristiwa itu sebagai kemenangan besar
pasukan Raden Wijaya yang dibantu rakyatnya mengusir tentara Tartar, yang
merupakan peristiwa terbebasnya kepulauan Nusantara dari penjajahan atau
intervensi tentara asing. Berkibarnya Sang Såkå Gulå-Kêlåpå, yang disebut juga
Sang Saka Merah-Putih atau Sang Såkå Gêtih-Gêtah sebagai bendera pada tahun
1292 itu disebut dalam Piagam Butak atau Prasasti Butak yang kemudian dikenal
sebagai Piagam Merah Putih. Pertempuran terakhir dan peristiwa pengusiran
pasukan tentara Mongol itu diduga terjadi pada tanggal 31 Mei 1293, yang
ditandai dengan sesanti surå ing bhåyå yang berarti “keberanian menghadapi
bahaya” yang diambil dari babak dikalahkannya pasukan tentara Cina Khubilai
Khan oleh pasukan tentara Jawa pimpinan Raden Wijaya. Akhirnya tanggal tersebut
dijadikan sebagai Hari Lahir Kota Surabaya, dan diperingati hingga sekarang.
Subscribe to:
Posts (Atom)