Mungkin banyak yg belum paham mengapa muslim Rohingya diusir dari
Myanmar yang mayoritas beragama Budha. Silahkan pelajari bagaimana Islam masuk
ke Nusantara dengan penghianatan membalas air susu dengan air tuba, dimana
budaya toleransi sebenarnya sudah ada di Indonesia tetapi dihianati oleh dakwah
Islam hanya karena raja Majapahit tidak beragama Islam. Sebagai bukti toleransi
di Indonesia adalah Candi Budha Borobudur dibangun pada
pemerintahan kerajaan Hindu.
Sejarah mencatat bagaimana tentara muslim, Taliban, ISIS sesuai ajaran
Quran, sampai saat ini masih terus menghancurkan peninggalan arkeologi yg
sangat bersejarah yg berusia ribuan tahun termasuk 4 patung raksasa Budha di
Afghanistan yg sangat bersejarah dan membakar perpustakaan kuno berbulan-bulan di
Mesir; tujuannya agar civilization umat selain muslim hancur, menghilangkan ingatan
generasi penduduk lokal dari akar budayanya seperti di Afghanistan, Persia, Mesir
dan Indonesia dan kemudian diganti dengan budaya padang pasir Arab
Quran adalah Kitab suci palsu sehingga
tidak relevan lagi di era modern. Apa yang diajarkan Quran membuat muslim tidak
kompatible dengan budaya di tempat dimana mereka hidup seperti di Perancis,
Belgia, Belanda dan negara Eropa lainnya. Padahal muslim kebanyakan adalah
imigran di Eropa.
Quran juga membuat muslim saling bantai sesamanya di kampung halamannya
sendiri jazirah Arab. Pernah terjadi Palestina dan Syria berkomplot mau
menghancurkan kerajaan Yordania. Irak berperang dengan Iran lalu kemudian
menyerang Kuwait. Yaman dibombardir Arab Saudi, Syria berperang melawan ISIS. Hebatnya
muslim menggunakan kambing hitam menyalahkan umat atau kelompok lain atas nasib
mereka saling bantai sesamanya padahal akar masalahnya adalah ajaran Quran
sendiri yg SELF DESTRUCTIVE.
Indonesia
adalah bangsa yang besar, dengan adat dan kebudayaan yang bernilai tinggi. Di
jaman Majapahit, bangsa kita telah mampu membuat maha karya dunia semacam Candi
Borobudur. Bahkan di jaman Majapahit pula, wilayah Nusantara meluas hingga
mencakup sebagian selat Malaka. Namun kebesaran Nusantara perlahan terkikis
dengan hancurnya Majapahit.
SUMPAH PALAPA, CIKAL BAKAL NKRI
Sejarah mencatat bahwa hancurnya
Majapahit adalah akibat pengaruh agresi kerajaan Islam Demak. Tak banyak jejak
untuk melacak bagaimana sejarah penghancuran Budha Nusantara oleh Islam. Tak
banyak pula informasi sejarah mengenai kapan dan bagaimana masuknya Islam ke
bumi Nusantara ini. Kehancuran Majapahit, serta perebutan kekuasaan antar para
wali setelah runtuhnya Majapahit, menyebabkan penjajah Eropa dengan mudah
menguasai Indonesia.
Hanya sedikit informasi sejarah
mengenai bagaimana penyebaran Islam di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi,
karena dimana Islam berhasil menguasai suatu bangsa, baik dengan cara
peperangan ataupun propaganda mereka akan MENGHANCURKAN SIMBOL2 DAN TULISAN2
YANG MENYANGKUT IDENTITAS BANGSA YANG MEREKA KUASAI. SEHINGGA SATU2NYA
IDENTITAS YANG DIKETAHUI HANYALAH ISLAM. Lihatlah bagaimana Islam
menghancurkan perpustakaan Alexandria Mesir, yang berisi jutaan buku ilmu
pengetahuan serta sejarah Mesir. Karena begitu banyaknya, diperlukan waktu enam
bulan untuk membakar habis buku2 tersebut. Lihatlah bagaimana Islam menghancurkan
Universitas Nalanda, universitas Budha terbesar di dunia. Begitu pula
pemusnahan terhadap simbol2 dan budaya Persia (Iran), Turki, serta negara2 lain
yang telah dikuasai agresor Islam. Pembakaran terhadap buku2 peninggalan
sejarah itu adalah kekejaman Muslim yang paling besar terhadap ilmu pengetahuan
dunia, yang tidak dapat dimaafkan.
Hal yang sama juga terjadi di
Indonesia, tak banyak informasi sejarah mengenai bangsa kita, karena
kemungkinan sebagian besar bukti sejarah tersebut telah dihancurkan oleh Islam.
Sehingga yang diketahui generasi kita sekarang hanyalah cerita2 tentang
kehebatan Islam.
Menurut para intelektual Islam,
terdapat 3 teori mengenai asal muasal datangnya Islam ke Indonesia. Teori
pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia
dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat,
Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara. Teori
kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal
Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki
oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Teori ketiga,
adalah Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke
Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun
bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7.
Menurut para pakar, Islam masuk
Indonesia secara DAMAI, bukan dengan peperangan. Islam masuk melalui para
pedagang dan pendakwah Arab yang bermigrasi ke bumi Indonesia. Benarkah
demikian?
Saat ini team kami sedang melakukan
riset untuk menggali sejarah penyebaran Islam, dan kemunduran Budhisme di
Indonesia. Namun sebelum itu marilah kita melihat beberapa tulisan kuno yang
mungkin bisa sedikit membuka mata kita mengenai penyebab kemunduran agama
Budha, dan upaya2 para wali untuk menyebarkan Islam di Indonesia.
Terdapat tulisan sejarah yang
sedikit membuka mata kita mengenai seperti apa sesungguhnya cara Islam masuk ke
Indonesia. Teks sejarah ini bernama DARMOGANDHUL. Tulisan ini adalah
karya sastra Jawa klasik, berbahasa jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat,
bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh
Ki Kalamwadi (nama samaran, kemungkinan besar adalah Ronggo Warsito), waktu
penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Isi teks menceritakan jatuhnya
kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.
Kita tentu saja tidak
dapat mempercayai keakuratan sejarah DARMAGANDHUL 100%, tapi bagaimanapun juga
isi suluk ini mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama
Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah,
terpenggalnya kepala dan tetesan air mata. Namun kaburnya para pemeluk Hindu
dan Budha ke berbagai wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan
dan hutan rimba, adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan
pembantaian massal oleh sekelompok orang yang ingin menggulingkan kekuasaan
berkedokkan agama.
Berikut ringkasan dari Darmo Gandul
Pada suatu hari, Darmogandul
bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal mula orang Jawa meninggalkan agama
Budha dan berganti agama Islam. Lantas, Ki Kalamwadi pun menjawab:
"Aku tidak mengerti. Tetapi
guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan agama
Budha dan berganti memeluk agama Islam. Ini memang
perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu."
Pada zaman dulu Majapahit
(1292-1478) bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan. Bagi yang belum tahu
ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan. Prabu Brawijaya V adalah
raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam.
Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam. Ketika sedang beradu asmara,
sang putri selalu membeberkan keutamaan agama itu.
Setiap dekat sang prabu, tiada kata
lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam. Tak lama
kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad ( Sunan
Ampel ). Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang
Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya. Banyak
ulama Arab kemudian datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu mohon izin
tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya berkembang dan
banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan itu menempatkan seorang
guru agama Islam tinggal di daerah Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid
Kramat ( Sunan Bonang ) namanya. Ia maulana Arab keturunan
Nabi Mohammad Rasulullah.
Orang-orang Jawa banyak yang
tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur
meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di wilayah Blambangan sampai
ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam. Agama
Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi
Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati.
Sang Prabu mempunyai seorang putra
bernama Raden Patah. Ia lahir di Palembang dari rahim Putri Campa. Sejak kecil
Raden Patah telah dididik secara Islam. Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap
kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden
Kusen (Husein / Raden Arya Pecattanda ).
Sang Prabu bingung memberi nama
putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang
lahir di pegunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang. Sedangkan menurut orang
Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib. Sang Prabu memanggil patih dan abdi
lain untuk dimintai pertimbangan. Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti
leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya
orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya lahir di tempat lain.
Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain. Sang Prabu pun berkata kepada
seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah Patah.
Sampai saat ini, keturunan pembauran
antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama pemberian ayahnya
itu, Raden Patah takut untuk menentangnya. Babah Patah kemudian diangkat menjadi
Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia
dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel. Babah Patah tinggal di desa Bintara,
Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta
untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung,
dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran Islam makin berkembang.
Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan artinya budi. Sumber
pengetahuan tentang baik dan buruk. Orang yang berbudi baik patut dimintai
ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya.
Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur.
Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut
Sunan. Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.
Pada waktu itu sunan Bonang akan
pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah
Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan
dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki
agama penduduk setempat. Sudah Islam atau masih beragama Budha . Ternyata, kata
Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso.
Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye,
adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan
bergembira ria.
Kata Sunan Bonang, " Kalau
begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun
tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah." Sejak itu, daerah di
sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Kutukan Sunan Bonang terhadap
Seorang Wanita
Hari terik. Waktu sholat dhuhur
tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan
airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air
simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang
dimaksud. Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di
sini. Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun. " Hai Gadis,
aku minta air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu. Perawan
itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham.
Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar :
"Kamu baru saja lewat sungai.
Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali
air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."
Mendengar kata-kata kasar itu,
sahabat itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh
sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan
itu disampaikan. Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah
kata-kata keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak
akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya.
Tidak akan kimpoi sebelum menjadi jejaka tua.
Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran
sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa,
hutan, sawah, dan kebun. Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang.
Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air.
Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya.
Mereka terlambat berumah tangga.
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan
perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai
Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya.
Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk
halus dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing
membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar
tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai Plencing
langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi
anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa
panas seperti dibakar. Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang.
Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya.
Raja mereka bernama Buta Locaya,
tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buta Locaya semula adalah patih raja
Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika
Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara.
Ia diberi nama Buta Locaya
dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh. Lo
bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya
mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Ketika Prabu Jayabaya muksa ( mati
bersama raganya hilang ) bersama Ni Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai
Tunggulwulung juga ikut muksa. Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa.
Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin. Semua mahluk
halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu
Angin-Angin ( Nyi Loro Kidul ). Buta Locaya menempati Selabale.
Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar
agar tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta
Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia
sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan Panji
Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.
Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di
daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang.
Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing, Buta Locaya murka.
Tubuhnya bagaikan api Ia memanggil
anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang. Para setan dan jin itu
bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang. Mengikuti arus angin,
mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi
manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu
jumlahnya tidak menampakkan diri.
Menghadang perjalanan Sunan Bonang
yang datang dari utara. Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan
dan jin sedang menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai
bara api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan
menghadapi wibawa Sunan Bonang. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre,
Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan dan demam.
Debat Soal Tuhan dan Kebenaran
Debat sengit antara Sunan Bonang
dengan Buta Locaya makin seru. Sunan Bonang dengan tegas menyatakan bahwa,
daerah tersebut dikatakan Gedah karena tidak jelas agamanya. Sunan Bonang
berkata;
"Kusabdakan sulit air karena
ketika aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan
mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat jodoh
karena yang kuminai air itu perawan desa."
Buta Locaya menjawab, bahwa itu
tidak seimbang.
“Salah yang tak seberapa, apalagi
hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan oleh banyak
orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat
karena merusak daerah.”
(Lihat peristiwa Muhammad menyuruh
pengikutnya menyerang suku Yahudi di Medinah, Bani Qaynuqa, gara2 seorang
wanita Muslim diganggu oleh seseorang anggota Bani Qaynuqa. Ini dipakai
Muhammad sebagai alasan untuk menyerang dan mengusir Bani Qaynuqa dari tanah
nenek moyang mereka itu. Sifat Muhammad ini dicontoh Sunan Bonang : cepat naik
darah, tidak seimbang, tidak memiliki maaf, sombong, selain licik dan haus
kekuasaan.)
Sunan Bonang menjawab, ia pun tak
takut dilaporkan Raja Majalengka. Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu,
ia pun marah. Buta Locaya berkata masygul :
" Ucapan tuan bukan ucapan yang
paham aturan negara. Itu pantas diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah
madat, mengandalkan kesaktian. Janganlah sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan
berkawan dengan malaikat, lalu berbuat sekehendak hati. Tidak melihat kesalahan,
menganiaya orang lain tanpa sebab.”
Meskipun di Jawa ini akan ada orang
yang lebih kuat dari pada tuan, tapi mereka baik budi dan takut kepada laknat
dewa. Tuan akan dijauhi orang2 baik budi bila tetap berbuat demikian. Apakah
tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil ? Aji Saka menjadi raja di
Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air di Medang.
Ia Hindu. Suka membuat sulit air.
Tuan mengaku sunan seharusnya
berbudi baik, menyelamatkan orang banyak, tetapi ternyata tidak demikian. Tuan
layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas
naik darah. Sunan apakah itu ?
Jika memang sebagai Sunan manusia
sesungguhnya, tentu suka berbuat kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa.
Itulah jalan celaka, tanda bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila
telah jadi lalu tuan tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."
Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak
selam dengan manusia, tetapi hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah
semuanya yang rusak itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang
kering dan daerah yang terlanda banjir hamba mohon agar dikembalikan. Semua
orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati. Hamba akan meminta
bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan."
Begitu mendengar kemarahan Buta
Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Ia berkata,
" Buta Locaya, aku Sunan tidak
diperkenankan meralat ucapanku. Aku hanya bisa membatasi saja. Kelak, bila
telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti semula."
Buta Locaya mendengar kesediaan
Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya.
" Kembalikan sekarang juga.
Bila tidak, tuan akan hamba ikat."
Sunan Bonang menjawab:
" Sudah, jangan berbantah lagi.
Aku mohon diri akan berjalan ke timur. Buah Sambi ini kunamakan cacil karena
keadaan ini seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Setan dan manusia saling
berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan manusia
dengan setan. Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging
buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang
masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini
bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama
Kawanguran."
Setelah berkata demikian, Sunan
Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada
desa yang bernama Singkal, Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya
pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan akal. Buta Locaya memburu
kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah
pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian
memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan
Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya.
" Arca itu buatan sang Prabu
Jayabaya sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang
siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekat para wanita Jawa.”
Sunan Bonang pun berkata,
" Kau ini bangsa jin. Jadi
kalau berani berdebat dengan manusia, namanya jin yang sombong.”
Kata Buta Locaya,
" Apa bedanya. Tuan Sunan, saya
ratu Jin,"
Sunan Bonang berkata,
“Trenggulun ini kuberinama Kentos
sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong
tentang kerusakan arca.”
Sunan Bonang kemudian berjalan ke
utara. Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat. Di luar desa ada
sumur tetapi tiada timba. Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan
Bonang dapat bersuci untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu
bernama sumur gumuling." Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan.
Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon
dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa
itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.
Melihat patung itu, Sunan Bonang
keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke arah
Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan
terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan
dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi.
"Tuan ternyata orang jahil,
patung yang masih baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung
itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu
?"
Sunan Bonang :
"Patung itu kurusak agar tidak
disembah banyak orang, agar tidak diberi sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang
memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin."
Kata Buta Locaya,
"Orang Jawa kan sudah tahu
bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka
mereka layani. Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak
menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Para hantu
mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana ? Telah lazim setan
tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum,
hantu akan merasa nyaman. Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh.
Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar.Mereka menyadari bahwa
alam halus berbeda dengan alam manusia."
Sunan Bonang Khilaf. Buta Locaya
berkata,
" Nabi itu kan manusia kekasih
Tuhan ? Mendapat wahyu agar pandai dan cermat penglihatannya. Sedangkan yang
membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan wahyu
mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal
yang belum terjadi. TUAN BERPEDOMAN KITAB, ORANG JAWA PUN BERBEDOMAN PETUAH DARI
PARA LELUHURNYA. SAMA2 MENGHARGAI KABAR, LEBIH BAIK MENGHARGAI KABAR DARI
LELUHUR SENDIRI DENGAN PENINGGALAN YANG MASIH BISA DISAKSIKAN.
Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia,
dingin dan panasnya cukup. Tanah berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat
tumbuh. Pria tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya.
Bila tuan ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan
tuan ukur. Seandainya tidak benar, pukullah.
Yang membuat arca itu adalah tuanku
Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi ? Sudahlah,
hamba persilakan tuan pergi dari sini. Bila menolak akan hamba panggilkan adik
hamba dari Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang ? Lalu
akan hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah ? Inginkah
tuan tinggal di Batu seperti hamba ? Mari ke Selabale menjadi murid
hamba."
Sunan Bonang :
" Tak sudi mengikuti
kata-katamu. Kau hantu brekasaan."
Buta Locaya berkata,
" Meskipun hamba hantu, tetapi
hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum tentu seperti hamba. Tekat tuan kotor,
suka mengganggu dan menganiaya. Tampak di sini masih sering melakukan
kesalahan, MENENTANG ADAT, MENENTANG AGAMA, MERUSAK
KEBAIKAN, MENGGANGGU AGAMA LELUHUR. Tuan dapat disiksa dan dibuang ke
Menado."
Sunan Bonang tak menggubris. Ia
berkata :
" Dadap ini bunganya kunamai
celung, buahnya bernama kledung, karena aku kecelung ( sesat ) pemikiran dan
salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan
dan pemikiran. Sudah, aku akan pulang ke Bonang."
Buta Locaya berkata,
" Ya sudah, silakan tuan pergi.
Di sini tak ayal akan membikin panas. Bila terlalu lama di sini akan
menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air, dan mengurangi air."
PEMBUNUHAN SYECH SITI JENAR
Prabu
Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang patih tentang adanya surat
dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi kerusakan
di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang. Segera ia mengutus Patih ke Kertosono,
meneliti keadaan sebenarnya. Setelah tiba, sang patih melaporkan semua yang
telah terjadi. Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah
mengembara tak tahu kemana.
Saking murkanya, Prabu Brawijaya
mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa pergi. Hanya di Demak dan
Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan menyebarkan agama Islam.
Apabila menolak akan dibunuh.
Pernyataan tersebut juga dibenarkan
oleh patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun tidak menghadap untuk
menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri. Sedang ulama santri
Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu. Maka, diseranglah Giri hingga
kocar-kacir.
Menyadari kekeliruannya karena tidak
menghadap Prabu Brawijaya di Majalengka, Sunan Bonang mengajak Sunan Giri ke Demak.
Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak (putera PB alias Raden
Patah) dan mengajak menyerbu ke Majalengka.
Kata Sunan Bonang (Muslim tulen yg
penuh akal bulus itu),
"Ketahuilah, kini saatnya
kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur 103 tahun. Menurut
pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja. Rusaklah
Kraton Majalengka dengan cara halus. Jangan sampai ketahuan. Menghadaplah ke
Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang. Ajaklah seluruh
Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya."
(Baca cerita2 Modus Operandi Jihad
Islam diseluruh dunia Inilah cara Muslim mengakali musuh mereka : dengan cara
tipu daya.)
Adipati Demak yang memang putra
Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti saran Sunan Bonang.
" Saya takut merusak negeri
Majalengka. Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan
kebahagian dan kebaikan di dunia. Kata kakek saya di Ampelgading, saya tidak
boleh melawan ayahanda meski beragama Budha atau pun kafir."
Mendengar jawaban demikian, Sunan
Bonang berkata,
" Meskipun
melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir. Merusak kafir tua
kamu akan masuk surga. Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak
bernalar. Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading. Anak kelahiran Campa
tak mungkin menyamaiku, Sayid Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan manusia
sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam. Meski
kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia se Jawa masuk
Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.
Tuhan masih cinta kepadamu.
Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu. Buktinya, kamu diberi nama
Babah. Babah itu artinya tidak baik. Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang
dibawa Putri Cina. Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang,
orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati tidak
baik. Karena itu, balaslah dengan halus. Pokoknya
jangan kelihatan. Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya."
Kemudian, Sunan Giri (juga seorang
Muslim tulen yang penuh dengan akal bulus) menyambung,
" Aku tidak berdosa, dicari
ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku tidak menghadap ke Majalengka.
Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan
anjing. Banyak orang Cina yang datang ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-Islamkan.
Sebab, menurut Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan surga.
Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih dan
ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka berzikir. Katanya, sakit ayan
pagi dan sore. Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini."
Jawab sang Adipati Demak,
" Ayahanda memburu tuan itu
betul. Karena tuan Sunan mendirikan kraton. Tidak menyadari bahwa hal itu harus
tunduk perintah raja yang lebih berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu,
dihukum mati, karena Sunan tidak menyadari makan minum di Pulau Jawa."
Namun, Sunan Bonang berkata lagi,
"Jika tidak kau rebut sekarang,
kau akan rugi. Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan
diserahkan kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua. Atau kepada
menantunya, Ki Andayanigrat di Pengging. Kamu anak muda, tidak berhak menjadi
raja. Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga. Sudah biasa bagi
orang Islam dalam melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu
menjadi raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha."
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu jadikan
bapak-bapak dan saudara-saudaramu pelindung-pelindungmu, jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran
atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
pelindung-pelindungmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS 9:24)
Panjang lebar nasihat Sunan Bonang
agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan mau merusak Majalengka. Bahkan,
diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena kafir.
Singkat cerita, tak lama kemudian
para sunan dan bupati di pesisir utara datang semua ke Demak. Berkumpul untuk
mendirikan masjid. Kemudian sembahyang bersama di masjid yang beru didirikan.
Usai sembahyang pintu masjid ditutup. Sunan Bonang berkata kepada semua yang
hadir di situ, bahwa Bupati Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan
menggempur Majapahit. Bila semua setuju akan segera dimulai. Semua setuju dan
para bupati pun setuju.
Hanya Syech Siti Jenar yang tidak
setuju. Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati
Syech Siti Jenar. Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
(Satu lagi tindakan Islami para
Sunan yang mencontoh kelakuan nabi! Bunuh mereka yg tidak sepaham denganmu,
karena itu dianggap melawan nabi dan melawan Islam)
Setelah sepakat, Adipati Demak
diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa bergelar Senopati Jimbuningrat
dengan patih dari atas angin bernama Patih Mangkurat. Esok harinya, Senopati
Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang berangkat menuju
Majapahit diiringkan para sunan dan bupati. Berjalan berarakan seprti Grebeg
Maulud. Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para
tumenggung, para sunan dan para ulama.
Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak
ikut dengan alasan telah lanjut usia. Keduanya hanya akan salat di dalam masjid
dan merestui perjalanan. Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan
panjang lebar.
PERANG BUDHA MAJAPAHIT VS ISLAM
DEMAK
Alkisah, sepulang dari Giri, sang
patih melaporkan hasil penaklukan terhadap Giri yang dipimpin oleh orang Cina
beragama Islam bernama Setyasena. Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang.
Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang
berkepala gundul, berpakaian serba seperti haji.
Dalam berperang mereka lincah
seperti belalang. Sementara pasukan Majapahit menembaki. Akibatnya, pasukan
Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima peluru. Senapati Setyasena
menemui ajal.
Pasukan Giri melarikan diri ke hutan
dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu oleh
pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu
dikira melarikan diri ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.
Maka Sang Prabu memerintahkan patih
untuk mengutus ke Demak lagi, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan
Bonang telah merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak,
tidak mau menghadap raja, bertekat melawan dengan perang.
Sang Patih keluar dari hadapan Raja
untuk kemudian memanggil duta yang akan dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba
datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat terkenal (Menak Tanjangpura),
mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja
Demak.
Sedangkan yang mendorong penobatan
itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para Bupati di Pesisir Utara dan semua
kawan yang sudah masuk Islam mendukung. Raja baru itu bergelar Prabu
Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul
Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya
Alam di Bintoro.
Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu
lengkap dengan senjata perang, terserah kepada Patih cara menghadap kepada
raja. Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa
kesembilan wuku Prabangkat. Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil
mengatupkan giginya.
Sangat heran kepada orang
Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja. Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk
menyampaikan isi surat itu.
Mendengan laporan patih, Sang Prabu
sangat terkejut. Diam membisu, lama tak berkata. Dalam hatinya sangat heran
kepada putranya dan para Sunan yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan
merusak Majapahit.
Sang raja tak habis pikir, alasan
apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak
tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu.
Pikiran sang raja sangat gelap.
Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi
hutan. Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan
para ulama serta bupati tega melawan Majapahit. Patih pun menjawab tak
mengerti. Ki Patih juga heran, pemikiran orang Islam ternyata tidak baik,
diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.
Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa,
kejadian itu akibat kesalahannya sendiri. Yang meremehkan agama yang telah
berlaku turun-temurun dan begitu mudah terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga
mengizinkan para ulama menyebarkan agama Islam.
Dari kebingungan hatinya, ia
menyumpahi orang-orang Islam.
" Kumohonkan kepada Dewa yang
Agung, balaslah kesedihan hamba. Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya,
menjelma menjadi orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi kebaikan
membalas dengan kejahatan."
Sabda
sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad. Terbukti
dengan adanya suara menggeletar membelah bumi. Terkenal sampai sekarang, ulama
terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.
Tentang kedatangan musuh, yaitu
santri yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu meminta pertimbangan dari Patih.
Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara
peperangan. Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan
karena Raja telah lanjut usia.
Patih menjawab, lebih baik
menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja. Jangan sampai merusak bala
pasukan. Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga karena
putra yang ada di Majapahit belum saatnya maju berperang.
Setelah memerintahkan demikian, sang
Prabu meloloskan diri pergi ke Bali diikuti Sabdopalon dan Nayagenggong. Ketika
memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana. Maka Sang Raja
segera pergi dengan terburu-buru.
Wadya Demak kemudian perang dengan
pasukan Majapahit. Patih Majapahit mengamuk di tengah peperangan. Para Bupati
Nayaka Majapahit delapan orang juga ikut mengamuk. Perang itu sangat ramai.
Pasukan Demak tiga puluh ribu, pasukan Majapahit hanya tiga ribu.
Karena Majapahit digulung musuh yang jumlahnya sekian banyak itu, prajuritnya
banyak yang tewas berguguran. Hanya Patih dan Bupati Nayaka yang mengamuk
semakin maju. Setiap prajurit Demak yang diterjang pasti mati tegelempang.
Putra Sang Prabu bernama Raden Lembu Pangarsa mengamuk di tengah
peperangan, bertanding dengan Sunan Kudus. Ketika sedang
ramai-ramainya perang tanding itu, Patih Mangkurat dari Demak
meluncurkan tombaknya. Putra raja terluka dan semakin hebat mengamuk. Ia
menerjang bagaikan banteng terluka, tidak ada yang ditakuti.
Patih Majapahit tidak mempan senjata
apapun, seperti tugu baja, tidak ada senjata yang bisa menggores tubuhnya,
siapa pun yang diterjang bubar berlarian, yang menghadang terjungkal mampus.
Bangkai manusia tumpang tindih. Patih diberondong (peluru) dari kejauhan.
Jatuhnya peluru seperti hujan jatuh di batu watu. Sunan Ngundung
menghadang kemudian memedangnya tetapi tidak mempan. Sunan Ngundung balas ditombak,
tewas. Patih lalu dikerubuti prajurit Demak. Pasukan Majapahit lama-lama habis.
Seberapa kuat satu orang sendirian, akhirnya Patih Majapahit gugur. Tetapi
raganya musnah dan meninggalkan suara, “Ingat-ingat
orang Islam, kalian diberi kebaikan oleh rajaku tetapi membalas kejahatan, tega
merusak negara Majapahit, merebut negara melakukan pembunuhan. Kelak kubalas,
kuajari kalian benar salah, kutiup kepala kalian, kucukur rambut kalian
bersih-bersih.”
Setewasnya Patih Majapahit, para
Sunan kemudian masuk ke istana. Tetapi Sang Prabu sudah tidak ada, yang ada
hanya Ratu Mas, yaitu putri Campa, Sang Putri diajak menyingkir ke Bonang. Para
prajurit Demak kemudian masuk ke istana. Mereka merampok sampai bersih. Orang
kampung tidak ada yang berani melawan. Raden Gugur yang masih kecil melarikan
diri. Adipati Terung kemudian masuk ke dalam
istana, membakari semua buku-buku ajaran Buddha. Orang-orang di
sekeliling istana bubar, beteng dan bangsal dijaga anak buah Adipati Terung. Orang Majapahit yang tidak mau takhluk kemudian mengungsi ke
gunung dan hutan-hutan. Adapun yang mau takhluk, kemudian dikumpulkan dengan
orang Islam, disuruh bersyahadat. Mayat para keluarga istana dan pamong praja
dikumpulkan, dikubur di sebelah tenggara istana. Kuburan tadi
dinamakan Bratalaya. Menurut suatu riwayat disitu juga kuburan Raden Lembu
Pangrasa.
NASEHAT NYAI AGENG KEPADA RADEN
PATAH
Sesudah tiga hari, Sultan Demak
berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih
Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan menjaga keamanan keadaan
dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil
Sang Prabu. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam
mereka shalat hajat serta tadarus Al Qur’an. Sebagian pasukan dan para Sunan
ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat, hanya
tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah
wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu
Jambuningrat (Raden Patah) sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah
kepada Nyai Ageng. Para Sunan dan para Bupati berganti-ganti menghaturkan
sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja
menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia
juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah
menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbun. Beliau meminta restu,
agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong.
Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan
Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ageng
tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku,
kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan
sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat
kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan
rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan
menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah
kamu balas kejahatan, kini mati hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.”
Nyai Ageng kemudian menanyai Sang
Prabu, katanya, “Angger ! Aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya,
ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di
tanah Jawa dan siapa yang mengizinkan kamu? Apa
sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”
Raden Patah kemudian menjawab, bahwa
Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi
raja memangku tanah Jawa dan semua bupati pesisir, dan yang mengizinkan para
Sunan. Mengapa negara majapahit dirusak, karena
Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama
kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.
Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu
Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Angger!
Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu
berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi
anugrah kepada kamu. Kamu beran-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya
Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari
keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu
utama. Apabila Gusti Allah sudah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti
dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak
memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas
kehendaknya sendiri-sendiri.
Gusti Allah tidak menyiksa orang
kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang
bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan.
Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pikkong, berwujud
kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama
Buddha. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero
penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang
Prabu, kok tega menelan kepada ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai
hati merusak tata krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya
satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk,
pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib
dijunjung tinggi.
Ikhlasnya hati bakti kepada ayah,
tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti
kepada orang tuanya. Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama
Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama,
mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu
hormat dan sangat menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang
orang tua dari segi kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orangtuanya. Maka
Wong Agung selalu menjunjung hormat kepaa mertuanya itu. Itulah angger yang
dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan,
mentang-mentang kafir Buddha tidak mau berganti agama. Itu bukan patokanmu. Aku
akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar
beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?
Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum
memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai
Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi
di jaman kuno, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah
mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi
tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam,
tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka
kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir
batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa? Apabila benar
Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mukjizatmu, aku
lihat?”
Prabu Jimbun mengakui
bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya
apabila mengislamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja kok dipercayai, pun bukan buku dari leluhur.
Orang mengembara kok dituruti perkataanya, yang mendapat celaka ya kamu
sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang
tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya
mengandalkan surban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di
dalam merah. Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila
akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh
jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu
langgar. Kamu tidak takut akibatnya? Kini kamu minta izin kepadaku, untuk menjadi
raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya
perempuan, nanti buwana balik namanya. Karena kamu yang semestinya memberi izin
kepadaku, karena kamu Khalifutullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang
tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedangkan jika kamu
nanti tia, akan tetap menjadi tuanya seorang raja.”
Nyai Ageng Ampel berkata lagi,
“Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di
tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi
Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi
raja. Tidak lama kemudian Nabi Dawud bisa kembali merebut negaranya. Putranya
naik kuda melarikan diri kehutan, kudanya lepas tersangkut-sangkut pepohonnan,
sampai ia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.
Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata
Cengkar, ia memburu-buru tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh
ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama
kemudian, ada Brahmara dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji
Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada
aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja,
Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah
menjadi buaya, tidak lama kemuian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga
demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti
yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apa lagi seperti kamu, memusuhi
ayahanda yang tanpa tata susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka,
yang demikian itu hukum Allah”. Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang
putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.
Nyai Ageng Ampel masih meneruskan, “Kamu
itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu koq mau
menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah,
selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja.
Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh
pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga
merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan
Adipati Penging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan
membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”
Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan
amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke
Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah
bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading.
Akan tetapi apabila tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah
maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.
PRABU JIMBUN (RADEN PATAH) KEMBALI
KE DEMAK
Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak,
para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri
bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas
kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah.
Sunan Bonang menyambut kepulangan
Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa
Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buddha sudah dibakari semua, serta
melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di
tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak menugungsi ke Bonang.
Pasukan Majapahit yang sudah takhluk
kemudian disuruh masuk Islam. Sunan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun,
tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan
perkiraan batinnya. Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta
(pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang
Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon
izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi
dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu
Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada
ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.
Mendengar hal itu Sunan Bonang,
dalam batin merasa menyesal dan bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu
Brawijaya. (masak sih??) Tetapi (karena gengsi dan sudah kepalang tanggung)
rasa yang demikian tadi ditutupi dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya
dan Patihnya, karena tidak mau pindah agama Islam.
Sunan Bonang mengatakan agar
perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan
wanita pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan. Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan
Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun
berjanji kepada Sunan Bonang untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.
Sunan Bonang memerintahkan kepada
Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu Brawijaya diperintahkan menghadap dan meminta
ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan
di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah ke agama Islam.
Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa. (Benar2 Sunan yang tau
berbalas budi, persis seperti nabinya)
Sunan Giri kemudian menyambung, agar
tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya
dan putranya lebih baik di tenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak
ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini
pendapat Sunan Giri yang demikian tadi. (Masak Islam mau tenung Budha, ga mampu
lah)
PENCARIAN PRABU BRAWIJAYA OLEH SUNAN
KALIJAGA.
Prabu
Jimbun akhirnya memerintahkan Sunan Kalijaga untuk mencari ayahnya dan
membujuknya dengan cara baik-baik, mungkin dengan pertimbangan bahwa ayahnya
masih memiliki kekuatan, yaitu kedua anak lainnya Adipati Ponorogo dan Adipati
Penging masih berkuasa di wilayahnya masing-masing dan kalau sampai Prabu
Brawijaya berhasil sampai ke Bali, maka ia dapat meminta bantuan raja Bali
untuk menyerang balik.
Sunan Kalijaga dalam perjalanan
mencari Prabu Brawijaya, hanya diantar dua sahabat. Perjalanannya
terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan
Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang
dilalui Prabu Brawijaya.
Ternyata Prabu Brawijaya telah sampailah
di Blambangan. Karena merasa lelah kemudian ia berhenti di pinggir mata air.
Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya
abdi berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi
tidak pernah bercanda dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi.
Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga
berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu.
Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga,
“Sahid! Kamu datang ada apa? Apa
perlunya mengikuti aku?”
Sunan Kalijaga berkata,
“Hamba diutus putra Paduka, untuk
mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada Paduka dimanapun bertemu. Beliau
memohon ampun atas kekhilafannya, sampai lancang berani merebut tahta Paduka,
karena terlena oleh darah mudanya [atau karena ISLAM
?] yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah negeri,
disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah.
Adapun ayahanda Raja Agung yang
menaikkan dan memberi derajat Adipati di Demak, tak mungkin bisa membalas
kebajikan Paduka, Kini putra Paduka ingat, bahwa Paduka lolos dari istana tidak
karuan dimana tinggalnya. Karena itu putra Paduka merasa pasti akan mendapat
kutukan Tuhan. Karena itulah hamba yang lemah ini diutus utk mencari dimana
Paduka berada. Jika bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi
raja seperti sedia kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa,
menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para sanak
keluarga, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua yang di bumi.
Jika Paduka berkenan pulang, putra
Paduka akan menyerahkan tahta Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan
mati. Itu pun jika Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka
atas kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila
Paduka tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat dimana,
menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra Paduka
memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka Kraton d tanah
Jawa, diminta dengan tulus.”
Sang Prabu Brawijaya bersabda,
“Aku sudah dengar
kata-katamu, Sahid! Tetapi aku tidak gagas! Aku sudah muak bicara dengan
santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya! Menunduk
di muka tetapi memukul di belakang.
Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata,
agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyng
buntut ! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa kesalahan? Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa
tantangan! Apakah mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan
manusia yang utama!”
(Kebiasaan licik Muhammad dan
pengikutnya, menyerang tiba2 tanpa memberi peringatan)
Setelah mendengar bersabda Sang
Prabu, Sunan Kalijaga merasa sangat bersalah karena telah ikut menyerang
Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Namun yang semua telah
terjadi. Maka kemudian ia berkata lembut,
“Mudah-mudahan kemarahan Paduka
kepada putra Paduka, menjadi jimat yang dipegang erat, diikat dipucuk rambut,
dimasukkan dalam ubun-ubun, menambahi cahaya nubuwat yang bening, untuk
keselamatan putra cucu Paduka semua. Karena semua telah terjadi, apalagi yang
dimohon lagi, kecuali hanya ampunan Paduka. Sekarang paduka hendak pergi ke
mana?”
Sang Prabu Brawijaya berkata,
“Sekarang aku akan ke Pulau Bali,
bertemu dengan Prabu Dewa Agung di Kelungkung. Aku akan beri tahu tingkah si
Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para
raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Adipati Palembang
akan kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat
menjadi Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya.
Aku akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab
pertama durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja.
Aku juga hendak memberitahu kepada
Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi istriku punya anak laki-laki satu,
tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta
kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk
perang. Akan kuminta agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua
prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua
ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang. Aku ajak
menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah
melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan
meninggalkan tata cara yang mulia.”
Sunan Kalijaga sangat prihatin. Ia
berkata dalam hati,
“Tidak salah dengan dugaan Nyai
Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak
tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai
menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti
kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi
anugerah. Sudah pasti orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua,
bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang
Islam tertumpas dalam peperangan.”
Akhirnya Sunan Kalijaga (si mulut
licik ini) berkata pelan,
“Aduh Gusti Prabu! Apabila Paduka
nanti tiba di Bali, kemudian memanggil para raja, pasti akan terjadi perang
besar. Apakah tidak sayang Negeri Jawa rusak. Sudah dapat dipastikan putra
Paduka yang akan celaka, kemudian Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi
tidak lama kemudian lengser keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah
keturunan Paduka. Jika terjadi demikian ibarat serigala berebut bangkai, yang
berkelahi terus berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala
lainnya.”
Balas sang Prabu :
“Ini semua kehendak Dewata Yang
Maha Lebih. Aku ini raja binatara, menepati sumpah sejati, tidak memakai dua
mata, hanya menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan Undang-Undang para
leluhur. Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai bapaknya, lalu ingin
menjadi raja, diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa ini akan kuberikan
dengan baik-baik pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang menjadi raja,
menerima menjadi pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan si Patah meng-aniaya
kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya. Bagaimana
pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang hari nanti?”
Mendengar kemarahan Sang Prabu yang
tak tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak
bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil
menyerahkan kerisnya dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia
mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu
mengetahui peristiwa yang menjijikkan itu. (Benar2 cara yang Islami)
Sang Prabu melihat tingkah Sunan
Kalijaga yang demikian tadi, hatinya tersentuh juga. Sampai lama beliau tidak
berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam dengan meneteskan air mata. Berat
sabdanya,
“Sahid! Duduklah dahulu.
Kupikirkan baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan
buruknya, karena aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja. Ketahuilah
Sahid! Seumpama aku pulang ke Majapahit, si Patah menghadap kepadaku, bencinya
tidak bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku
kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore
dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok
dengan ilalang kering.”
Sang Prabu mengeluh kepada Sunan
Kalijaga,
“Coba pikirkanlah, Sahid!
Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan
direndam dalam air.”
Sunan Kalijaga (bagai ular licik)
memendam senyum (kemenangan) dan berkata,
“Mustahil jika demikian, besok
hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka memperlakukan
sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak
Paduka, namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan
asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya
soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk
jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”
PERDEBATAN ILAHI PRABU BRAWIJAYA
Sang Prabu berkata, “Syahadat itu
seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan."
Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan
syahadat, "asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa
Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. “
Sunan Kalijaga berkata kepada Sang
Prabu,
“Manusia yang menyembah kepada
angan-angan saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia
yang menyembah kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala
namanya, maka manusia itu perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia
mengucap itu harus paham kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad
Rasulullah adalah itu Muhammad itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu
tempatnya sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di
Arab. (
Badan manusia itu bayangan Dzat
Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli.
Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut
Rasulullah itu rasa ala ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad
Rasulullah. Yang pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban
manusia menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah,
maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun raga
manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul rasa,
keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu alla, jika
tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak akan
mengerti awal kejadian.”
Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak
sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu minta potong rambut
kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan
Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabila
hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata
kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.
PERDEBATAN ILAHI BRAWIJAYA DENGAN
SABDOPALON (SEMAR)
Sang Prabu setelah potong rambut
kemudian berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong, yang rupanya membiarkan
percakapan Sunan Kalijaga dan Prabu Brawijaya.
“Kamu berdua kuberitahu mulai
hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah
menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah
agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.”
Sabdapalon berkata dengan sedih;
“Hamba ini Ratu Dang Hyang yang
menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba. Mulai dari
leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri,
turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa.
Hamba jika ingin tidur sampai 200
tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara, yang nakal membunuh
manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun
dalam mengasuh raja-raja Jawa. Tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama
menempati agama Buddha, baru Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur
Jawa.”
Jawa artinya 'tahu'. Mau menerima
berarti 'Jawan'. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa Paduka
kelak,” Kata Wikutama yang kemudian disambut halilintar bersahutan.
Sang Prabu bertanya,
“Bagaimana niatanmu, mau apa
tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad
Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?”
Sabdopalon berkata dengan sedih
“Paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab
itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan. Jika hamba pindah
agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang
Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri.
Kalau hamba mengatakan
kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama
lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu tubuh Dewata yang bersifat budi
dan hawa, sudah menjadi kewajiban manusia itu menurut budi kehendaknya, menjadi
tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad itu makaman kubur, kubur rasa yang
salah, hanya men-Tuhan-kan badan jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak
ingat karma dibelakang. Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa.
Ruh idafi artinya tubuh, jika sudah
rusak kembali kepada asalnya lagi. Prabu Brawijaya nanti akan pulang kemana.
Adam itu sama dengan Hyang Ibrahm, arthinya kebrahen ketika hidupnya, tidak
mendapatkan rasa yang benar. Tetapi bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai
Muhammadun, tempat kuburan rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil
Yang Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya.
Orang tua tidak membuat, maka
dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya, jadinya atas suatu yang ghaib,
atas kehendak Lata wal Hujwa, yang meliputi wujud, wujudi sendiri,
rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa
dan amal yang Paduka bawa ke mana saja. Jika nista menjadi setan yang menjaga
suatu tempat. Hanya menunggui daging basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian
tadi tidak ada perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya.
Ketika hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih
mati menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim sajian dan
selamatan. Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat kepada anak
cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam aturan raja yang sifatnya
lahiriah. Sukma pisah dengan budi, jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan.
Akan tetapi jika tekadnya buruk akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata
hamba itu!”
Prabu berkata
“Kembali kepada asalnya, asal Nur
bali kepada Nur”.
Sabdapalon bertutur
“Itu pengetahuan manusia yang
bingung, hidupnya merugi, tidak punya pengetahuan ingat, belum menghayati buah
pengetahuan dan budi, asal satu mendapat satu. Itu bukan mati yang utama. Mati
yang utama itu sewu satus telung puluh. Artinya satus itu putus, telu itu
tilas, puluh itu pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya
yang berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan surup pasti dari mana asalnya mulai
menjadi manusia. Surup artinya sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan
manusia.”
Sang Prabu menjawab,
“Ciptaku menempel pada orang yang
lebih.”
Sabdopalon berkata,
“Itu manusia tersesat, seperti
kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak punya kemuliaan sendiri hanya
numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi matinya manusia nista, sukanya hanya
menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki sendiri, jika diusir kemudian gentayangan
menjadi kuntilanak, kemudian menempel kepada awal mulanya lagi.”
Sang Prabu berkata lagi,
“Aku akan kembali kepada yang
suwung, kekosongan, ketika aku belum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan
kematianku kelak.”
Sabdopalon menjawab,
“Itu matinya manusia tidak
berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan,
minum, dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan
kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.”
Sang Prabu,
“Aku menunggui tempat kubur,
apabila sudah hancur luluh menjadi debu.”
Sabdopalon menyambung,
“Itulah matinya manusia bodoh,
menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan, daging yang sudah luluh
menjadi tanah, tidak mengerti berganti ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh,
ketahuliah. Terima kasih!”
Sang Prabu berkata,
“Aku akan muksa (menghikang)
dengan ragaku.”
Sabdopalon tersenyum,
“Kalau orang Islam terang tidak
bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakan daging.
Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad.
Tidak bersyahadat, tidak mati dan tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi
baru, hanya menjadi gunungan demit.”
Sang Prabu,
“Aku tidak punya kehendak
apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon,
“Paduka meninggalkan sifat tidak
merasa sebagai titah yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai manusia.
Manusia diwenangkan untuk menolak atau memilih. Jika sudah menerima akan mati,
sudah tidak perlu mencari ilmu kemuliaan mati.”
Sang Prabu,
“Keinginanku kembali ke akhirat,
masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon berkata,
“Akhirat, surga, sudah Paduka
kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat?
Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau hamba
ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam pengadilan
negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat
dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya anusia, sreng
artinya berat sekali, enggi artinya kerja.
Jadi maknanya manusia dipaksa
bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak celaka, manusia hidup di dunia
demikian tadi, sekeluarganya hanya mendapat beras sekojong tanpa daging,
sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata. Jika akhirat
manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai pulang ke akhirat,
jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak binatang yang mengganggu,
semua tidur berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan, tidak salah
dipaksa.
Paduka jangan sampai menghadap Gusti
Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya
asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya
cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya cahaya menyala menjadi satu, tidak
pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan, dekat tidak bertemu. Saya tidak
tahan dekat apalagi Paduka, Kanjenga Nabi Musa toh tidak tahan melihat Gusti
Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang meliputi semua makhluk.
Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat. Manusia raganya berasal dari nutfah,
menghadap Hyang Lata wal Hujwa. Jika sudah lama, minta yang baru, tidak
bolak-balik. Itulah mati hidup.
Orang yang hidup adalah jika
nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng, tidak berubah tidak bergeser,
yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka bagi manusia Buda,
jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti yang baik, melebihi
yang sudah tua. Nutfah jangan sampai berubah dari dunianya. Dunia manusia itu
langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga yang
berasal dari ruh idhafi.
Prabu Brawijaya itu tidak muda tidak
tua, tetapi langgeng berada di tengah dunianya, berjalan tidak berubah dari
tempatnya di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk makan
raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan berpisah. Denyut jantung
sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan.
Pengetahuan manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit mulut,
berhenti di kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat,
kemudian masuk ke gua garbha perempuan. Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat.
Di situ budi membuat istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun
fayakun. Di tengah rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rizkinya
digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti tertulis dalam
Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya tergantung pada nalar dan
pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.
Awal mula kiblat empat, yaitu timur
(Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan utara (Lor) adalah demikian. Wetan
artinya wiwitan asal manusia mewujud; kulon artinya bapa kelonan; kidul artinya
wstri didudul di tengah perutnya; lor artinya lahirnya jabang bayi. Tanggal
pertama purnama, tarik sekali tenunan sudah selesai. Artinya pur: jumbuh, na:
ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu artinya lengkap, serba ada, menguasai
alam besar kecil, tanggal manusia, lahir dari ibunya, bersama dengan saudaranya
kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik terkecil). Kakang mbarep itu
kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang lahir bersamaan, menjaga hidupnya
selama matahari tetap terbit di dunia, berupa cahaya, isinya ingat semuanya.
Siang malam jangan khawatir kepada semua rupa, yang ingat semuanya, surup, dan
tanggalnya pun sudah jelas, waktu dulu, sekarang atau besok, itu pengetahuan
manusia Jawa yang beragama Buddha.
Raga itu diibaratkan perahu,
sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas perahu tadi, yang menunjukkan
tujuannya. Jika perahunya berjalan salah arah, akhirnya perahu pecah, manusia
rebah. Maka harus bertujua, senyampang perahu masih berjalan, jika tidak bertujuan
hidupnya, dan matinya tidak akan bisa sampai tujuan, menepati kemanusiaannya.
Jika perahu rusak maka akan pisah dengan orangnya. Artinya sukma juga pisah
dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya kawula dengan Gusti. Sah artinya
pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi kemudian
berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti.
Jika pisah sukma dan budi, maka
manusia harus yang waspada, ingatlah asal-usul manusia, dan wajib meminta
kepada Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik dari yang lama.
Raga manusia itu namanya baitullah
itu perahu buatan Allah, terjadi dari sabda kun fayakun. Jika perahu manusia
Jawa bisa berganti baitullah lagi yang lebih baik, perahu orang Islam hidupnya
tinggal rasa, perahunya sudah hancur. Jika sukma itu mati di alam dunia kosong,
tidak ada manusia. Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskupun suksma
manusia, tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk,
meskupun sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
Ketika Batara Wisnu bertahta di
Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus dicipta menjadi manusia,
menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang Paduka Prabu Palasara bertahta di
Gajahoya, binatang hutan dan makhluk halus juga dicipta menjadi manusia. Maka
bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya seperti ketika masih
menjadi hewan. Serat Tapak Hyang menyebut Sastrajendra Hayuningrat, terjadi
dari sabda kun, dan menyebut jituok artinya hanya puji tok.
Dewa yang membuat cahaya bersinar
meliputi badan. Cahya artinya incengan aneng cengelmu. Jiling itu puji eling
kepada Gusti. Punuk artinya panakna. Timbangan artinya salang. Pundak itu
panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan buah kuldi, jika beroleh buah
kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila beroleh buah pengetahuan
banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng yang tidak bisa mati. Tepak
artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip. Ula-ula, ulatana, laleren
gegermu kang nggligir. Sungsum artinya sungsungen. Labung, waktu Dewa menyambung
umur, alam manusia itu sampungan, ingat hidup mati.
Lempeng kiwa tengen artinya tekad
yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan buruk. Mata artinya lihatlah
batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara benar satu. Tengen artinya
tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai raga, tidak membuat tidak
memakai. Kiwa artinya, raga iki isi hawa kekajengan, tidak wenang mengukuhi
mati. Demikian itu bunyi serat tadi. Jika Paduka mencela, siapa yang membuat
raga? Siapa yang memberi nama? Hanya Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci,
Paduka tetap kafir, cela mati Paduka, tidak percaya kepada takdirGusti, dan
murtad kepada leluhur Jawa semua, menempel pada besi, kayu batu, menjadi iblis
menunggu tanah. Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita yang ada di badan
manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa membaca sasmita
yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia. Disebut dalam Serat
Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur, kemudian
bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.
Jika Paduka memeluk agama Islam,
manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan halus hamba sudah tercakup dan
manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi tinggal kehendak hamba saja. Adam
atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak
Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud dan bisa menghilang seketika. Raga
hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri.
Coba Paduka tunjuk, badan
Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal
asma meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya
meliputi dalam matinya. Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng
selamanya.”
Sang Prabu bertanya,
“Di mana Tuhan yang Sejati?”
Sabdopalon berkata,
“ Tidak jauh tidak
dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud
sifat suksma. Sejati tunggal budi, roh, dan badan.
Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu
raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini.”
Tanya Prabu pada Sabdopalon;
“Apa kamu tidak mau masuk agama
Islam?”
Sabdopalon berkata dengan sedih,
“Ikut agama lama, kepada agama
baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka
lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing
kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi
bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”
Prabu Brawijaya mengeluh
“Bagaimana ini, aku sudah
terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali
kepada agama Budha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi langit.”
Sabdopalon berkata,
“Iya sudah, silahkan Paduka
jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”
Sunan
Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang
tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia. (bagi yang belum tau
kebusukannya)
Ia akan menciptakan air yang di
sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi bisa berbau wangi,
itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada agama Rasul, tetapi apabila
baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masih berpikir Buda. Sunan
Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau
wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan,
bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber
baunya wangi.
Sabdopalon berkata kepada Sang
Prabu,
“Itu kesaktian apa? Kesaktian
kencing hampa kemarin sore dipamerkan kepada hamba. Seperti anak-anak, jika
hamba melawan kencing hamba sendiri. Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan,
suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi
langit, malu mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu
mata. Hamba menyesal telah mengasuh Paduka.
Jika hamba mau mengeluarkan
kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali saja, sudah wangi. Jika paduka
tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu hamba, yang
membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba.
Adikku Batara Guru hanya mengizinkan
saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah
tanah. Gunung-gunung hamba kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya
banyak yang keluar, maka tanah Jawa kemudian tidak bergoyang, maka
gunung-gunung tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air
panas dan air tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal
Hujwa, yang membuat bumi dan langit.
Apa cacadnya agama Budha, manusia
bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama
Islam, meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan
celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain.
Besok tentu diperintah oleh orang
Jawa yang mengerti. Coba Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan,
biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya
untuk makanan burung, padi seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. (Kabah kah?) Paduka saksikan
besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil
bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka bersumpah,
hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari ini hujan sudah
berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama.
Besok apabila sudah bertaubat, ingat
kepada agama Budha lagi, dan kembali mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian
memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buda.”
Sang Prabu mendengar kata-kata
Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam
dan meninggalkan agama Buddha.
Lama beliau tidak berkata. Kemudian
ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri Cempa,
yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga
yang melebihi surganya orang kafir.
(Ya jelaslah, surganya
Islam kau dapet 72 perawan, berserks ria tiada henti)
Sabdapalon berkata sambil meludah,
“Sejak jaman kuno, bila laki-laki
menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah,
tidak berwewenang memulai kehendak.”
Sabdapalon banyak-banyak mencaci
Sang Prabu.
“Kamu cela sudah tanpa guna,
karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya, masihkah tetapkah tekadmu?
Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali
kepada Buddha lagi.”
Sabdapalon berkata bahwa dirinya
akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia
menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar,
artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Sang Prabu bersumpah, besok apabila
ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon. Orang
Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan
Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang)
Sang Prabu kemudian menyesal dan
meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga,
”Besok Negara Blambangan gantilah
nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke
tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”
Sunan Kalijaga kemudian
diperintahkan menandai air sumber, jika bau harumnya hilang, besok, orang Jawa
akan meninggalkan agama Islam, kembali ke agama Kawruh.
Sunan Kalijaga kemudian membuat dua
buah tabung bambu, yang satu diisi air tawar, satunya diisi air sumber. Air
sumber tadi untuk pertanda, jika bau wangi hilang, orang tanah Jawa akan
kembali ke agama Kawruh. Tabung setelah diisi air, kemudian ditutup daun pandan
dan dibawa dua orang sahabatnya.
Prabu Brawiaya kemudian pergi,
diiringkan Sunan Kalijaga dan dua orang sahabatnya. Malam harinya istirahat di
Sumberwaru. Esok harinya tabung itu dibuka, airnya dicium masih wangi, kemudian
segera melanjutkan perjalanan lagi agar ketika matahari tenggelam sudah sampai
di Panarukan. Sang Prabu istirahat di sana.
Pagi harinya air dicium masih wangi.
Sang Prabu kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Sesudah matahari tenggelam
mereka telah sampai di Besuki. Sang Prabu beristirahat di sana. Esok harinya
tabung air dicium masih berbau wangi. Sang Prabu kemudian meneruskan perjalanan
sampai matahari tenggelam. Sampai di Prabalingga, disitu juga istirahat
semalam.
Esok paginya air itu dilihat lagi.
Air yang tawar masih enak, tetapi berbusa harum. Tetapi tinggal sedikit, karena
kerap diminum di jalan. Sedangkan air sumber setelah dicium baunya menjadi
bacin (=busuk), lalu dibuang.
Sang Prabu kemudian berkata kepada
Sunan Kalijaga, “Prabalingga di besuk namanya dua, Prabalingga dan Bangerwarih.
Di sini besok menjadi tempat untuk perkumpulan orang-orang yang mencari
pengetahuan kepintaran dan kebatinan. Prabalingga artinya perbawanya orang Jawa
tertutup dengan perbawa tetangga.” Sang Prabu kemudian segera meneruskan
perjalanan, agar dalam waktu tujuh hari sudah sampai di Ampelgading. Nyai Ageng
Ambil menyambut kemudian menyembah kepada Sang Prabu sambil menangis bercucuran
air mata.
Sang Prabu kemudian berkata,”
Jangan menangis, sudahlah semuanya
sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Aku dan kamu hanya sekedar menjalani,
semua peristiwa ini sudah ditulis dalam Lauh Mahfudz. Baik buruk jangan
ditolak. Sudah kewajiban orang hidup sabar dan menerima.”
Nyai Ageng Ampel kemudian berkata
kepada Sang Prabu, melaporkan tingkah laku cucunya, Prabu Jimbun, seperti yang
sudah diceritakan di depan. Sang Prabu kemudian memerintahkan untuk memanggil
Prabu Jimbun. Nyai Ampel mengutus santri ke Demak dengan membawa surat.
Sesampai di Demak, surat disampaikan kepada Sang Prabu Jimbun.
Tidak lama kemudian Prabu Jimbun
berangkat menghadap ke Ampel. Putra raja Majapahit, yang bernama Raden Bondan
Kejawan di Tarub, mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati
Demak, malah Sang Prabu meloloskan diri dari istana, tidak jelas ke mana
larinya. Merasa tidak enak pikirnya, maka kemudian pergi ke Majapahit.
Raden Bondan Kejawan menyamar untuk
mencari berita dimana ayahandanya. Sesampai di Surabaya ia mendengar berita
bahwa Sang Prabu ada di Ampel, tetapi kemudian sakit. Raden Bondankejawan
kemudian menghaturkan sembah bhakti.
Sang Prabu bertanya,
“Siapa yang menyembah ini?”
Raden Bondan Kejawan berkata,
“Hamba putra Paduka, Bondhan
Kejawan.”
Sang Prabu kemudian merangkul
putranya. Sakitnya Sang Prabu semakin parah. Beliau merasa sudah akan pulang
kepada jaman kelanggengan. Kata beliau kepada Sunan Kalijaga demikian,
“Sahid, mendekatlah kemari, aku
sudah akan kembali ke jaman kelanggengan, buatlah surat ke Penging dan
Ponorogo. Nanti kuberi tanda tangan. Aku sudah terima hancurnya Majalengka.
Jangan ada perang berebut tahtaku, semua tadi sudah kehendak Yang Maha Suci,
jangan ada perang, karena hanya akan membuat kekacauan dunia. Sayangilah rakyat
dan jangan merusak tanah Jawa. Menghadaplah ke Demak. Jangan ada yang memulai
perang setelah aku. Kuminta kepada Yang Maha Kuasa, perangnya akan kalah.”
Sunan Kalijaga kemudian menulis
surat. Setelah selesai kemudian ditandatangani oleh Sang Prabu. Kemudian
diberikan kepada Adipati Pengging dan Ponorogo.
Sang Prabu kemudian berkata,
“Sahid, setelah aku tidak ada,
pandai-pandalah kamu memelihara anak cucu-ku. Aku titip anak kecil ini.
Seketurunannya asuhlah. Bila ada untungnya, besok anak ini yang bisa menurunkan
bibit tanah Jawa. Dan lagi pesanku kepada kamu, apabila aku sudah kembali ke
alam kalanggengan, kuburkan aku di Majapahit sebelah utara laut buatan. Adapun
kuburanku kuberi nama Sastrawulan. Siarkan kabar bahwa yang dikubur di situ
Raja Putri Cempa. Dan lagi pesanku, besok anak cucuku jangan sampai kawin
dengan lain bangsa. Jangan sampai membuat panglima perang orang bangsa lain.”
Sunan Kalijaga kemudian menjawab,
“Apakah Sang Prabu tidak memberi
izin kepada putra Paduka Prabu Jimbun untuk menjadi raja di tanah Jawa?”
Sang Prabu berkata,
“Ya, kuberi izin, tetapi hanya
berhenti tiga keturunan.”
Sunan Kalijaga meminta petunjuk apa
artinya nama kuburan Sang Prabu.
“Sastra artinya tulisan, wulan
artinya cahaya dunia. Artinya kuburanku hanya seperti cahaya rembulan. Apabila
masih kemilau cahaya rembulan, nanti orang Jawa ingat bahwa kematianku sudah
memeluk agama Islam. Maka kutinggikan Putri Cempa, karena aku sudah dibetinakan
oleh si Patah, serta tidak dianggap laki-laki, sampai aku disia-siakan seperti
ini. Maka aku hanya mengizinkan ia menjadi raja hanya dalam tiga keturunan.
Karena si Patah itu dari tiga bangsa, Jawa, Cina, dan Raksasa. Maka ia tega
kepada ayah serta ngawur caranya. Maka wasiatku, anak cucuku jangan kawin
dengan lain bangsa, karena dalam berkasih-kasihan dengan orang lain bangsa tadi
bisa merubah keyakinan. Bisa mencelakai hidup, maka aku memberi wasiat jangan
mengangkat panglima perang orang yang lain bangsa. Karena akan menginjak
Gustinya, dalam berperang mendua hati. Sudah Sahid, semua wasiatku tulislah.”
Sang Prabu setelah bersabda
demikian, tangannya kemudian bersedekap, terus wafat. Jenazahnya kemudian
dikuburkan di Astana Sastrawulan Majapahit.
Sampai sekarang terkenal bahwa yang
dikubur di situ adalah Sang Putri Cempa. Adapun sebenarnya Putri Cempa itu
wafatnya di Tuban. Tepatnya kuburan di Karang Kemuning. Setelah tiga hari
wafatnya Prabu Brawijaya, dikisahkan Sultan Bintara (Raden Patah) baru datang
di Ampelgading dan bertemu Nyai Ageng Ampel.
Nyai Ageng berkata,
“Celaka kamu Jimbun, tidak
melihat wafatnya ayahanda, jadi tidak bisa sungkem serta minta izin olehnya
menjadi raja, serta minta ampunan semua kesalahan yang sudah terjadi.”
Prabu Jimbun berkata kepada Nyai
Ageng, ia hanya bisa pasrah kepada takdir. Barang yang sudah terlanjur hanya
bisa dijalani. Sultan Demak di Ampel tiga hari dan kemudian pulang kembali ke
Demak.
Diceritakan Adipati Pengging dan
Ponorogo, yaitu Pangeran Handayaningrat di Pengging dan Raden Batara Katong,
sudah mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak dengan
menyamar menghadap kepada Sang Prabu waktu Hari Raya Grebeg..
Adapun Prabu Brawijaya dan putra
Raden Gugur meloloskan diri dari istana dan tidak ketahuan besembunyi dimana.
Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo sangat marah. Keduanya kemudian
menyiapkan sebuah pasukan hendak menyerang Demak, membela ayah merebut tahta.
Para prajurit sudah siap senjata untuk menempuh perang hanya tinggal berangkat.
Tiba-tiba datang utusan dari Sang Prabu Brawijaya memberikan surat wasiat.
Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo segera menerima dan membaca surat
tersebut. Surat itu kemudian disembah dengan meneteskan air mata berat.
Keduanya terhenyak, marah, giginya gemeretuk, wajahnya merah seperti api, dan
kata-katanya ketus menyumpah kepada ayahnya sendiri, mudah-mudahan jangan hidup
lebih lama lagi, agar tidak memperpanjang rasa malu. Kedua adipati ngotot tidak
mau menghadap ke Demak, karena gelap pikirannya kemudian keduanya jatuh sakit
dan tidak lama kemudian meninggal.
SEKALANING (KIASAN) RUNTUHNYA MAJAPAHIT
Adapun menurut pendapat yang lain,
matinya Adipati Pengging dan Ponorogo karena ditenung oleh Sunan Giri, agar
jangan mengganggu di belakang hari. Maka cerita hancurnya negeri Majapahit itu
disembunyikan, tidak seimbang dengan kebesaran serta luasnya kekuasaannya.
Semua itu untuk menutupi rahasia raja, seorang putra memusuhi ayahandanya.
Apabila dipikirkan sangat memalukan. Sejarah hancurnya Majapahit disemukan oleh
para pujangga bijaksana menjadi demikian:
“Karena Karomah para wali, keris
Sunan Giri ditarik keluar ribuan tawon yang menyengati orang Majapahit. Mahkota
Sunan Gunung Jati Cirebon, keluar tikusnya beribu-ribu menggerogoti bekal dan
pelana kuda prajurit Majapahit sehingga bubar, karena banyaknya tikus.”
“Peti dari Palembang ada di tengah perang
dibuka keluar demit-nya, orang Majapahit geger karena ditenung demit. Sang
Prabu Brawijaya wafat mikraj.”
Kemudian Kyai Kalamwadi bertutur
kepada murid yang bernama Darmo Gandhul, “Namun semua tadi hanya pasemon
(kiasan). Adapun kenyataannya, cerita hancurnya Majapahit itu seperti yang
kuceritakan tadi. Negara Majapahit itu besar dan kokoh. Akan tetapi bisa rusak
karena digerogoti tikus? Biasanya tawon itu bubar karena diganggu orang. Hutan
angker banyak demitnya. Bubarnya demit apabila hutannya dirusak oleh manusia
untuk dibuat sawah. Tetapi apabila Majapahit rusak karena dari tikus, tawon,
dan demit, SIAPA YANG PERCAYA?
Apabila orang percaya Majapahit
hancur karena tikus, tawon, dan demit, itu artinya orang tadi tidak tajam
pikirannya. Cerita yang demikian tadi ANEH DAN TIDAK MASUK AKAL. Tidak cocok
lahir batin. Maka hanya untuk pasemon (kiasan). Apabila diterangkan dengan
jelas maka artinya membuka rahasia Majapahit. Maka hanya diberi perlambang agar
orang berpikir sendiri. Adapun pasemon tadi artinya demikian:
Tikus itu wataknya remeh, tetapi lama-lama apabila dibiarkan akan
berkembang biak. Artinya, para ulama awalnya ketika baru sampai di Jawa meminta
perlindungan kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesudah diberi, balas
merusak.
Tawon itu membawa madu yang rasanya sangat manis, senjatanya
berada di anus. Adapun tempat tinggalnya di dalam tala, artinya tadinya
ketika dimuka memakai kata-kata yang manis, akhirnya menyengat dari belakang.
Adapun tala artinya mentala ‘tega’ merusak Majapahit, siapa yang
mendengar pasti marah.
Adapun demit diberi wadahi peti dari
Palembang, setelah dibuka berbunyi menggelegar. Artinya Palembang itu mlembang,
yaitu ganti agama.
Peti artinya wadah yang tertutup
untuk mewadahi barang yang samar. Demit artinya samar, remit, rungsid. Demit
itu juga TUKANG SANTET.
Adapun jelasnya demikian, hancurnya
Negeri Majapahit disantet dengan cara samar, ketika akan menyerang tidak ada
tantangan apa-apa, menyamar hanya untuk menghadap ketika hari raya grebeg.
Mereka dikejutkan, Orang Majapahit tidak siap senjata, tahu-tahu Adipati Terung
sudah membantu Adipati Demak.
Sejak Jaman Kuno belum pernah ada
kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogoti
tikus saja, bubarnya orang sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya
Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana.
Kehancuran tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu Wali
Delapan atau Sunan Delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak.
Mereka semua memberontak dengan licik.
Kemudian lagi kata Ki Kalamwadi,
“Guruku Raden Budi Sukardi
meriwayatkan sebelum Majapahit hancur, burung kuntul itu belum ada yang memakai
kuncir. Setelah negara pindah ke Demak, keadaan di Jawa juga berubah. Lantas ada
burung kuntul memakai kuncir.”
Prabu Brawijaya disindir, Kebo
kombang atine entek dimangsa tuma kinjir. Kebo artinya kerbau, yakni raja kaya,
Kombang artinya diam tapi suaranya riuh, yaitu Prabu Brawijaya tak habis pikir
ketika Majapahit hancur. Maksudnya diam marah saja, tidak berkenan melawan
dengan perang. Adapun tuma kinjir itu kutu babi hutan. Tuma artinya tuman
‘terbiasa’, babi hutan itu juga bernama andapan, yaitu Raden Patah ketika
sampai di Majapahit bersujud kepada ayahanda Sang Prabu. Waktu itu diberi
pangkat, artinya mendapat simpati dari Sang Prabu. Tapi akhirnya memerangi dan
merebut tahta. Tidak berpikir benar dan salah, sampai Sang Prabu tidak habis
pikir.
Adapun kuntul memakai kuncir itu
pasemon Sultan Demak. Ia mengejek-ejek kepada Sang Prabu, karena agamanya
Buddha kawak kafir kufur. Makanya Gusti Allah memberi pasemon gitok kuntul
kunciran. Artinya lihatlah tengkukmu, ibumu putri Cina, tidak boleh menghina
kepada orang lain beragama.
Sang Prabu Jimbun itu berasal dari
tiga benih. Asalnya Jawa, maka Sang Prabu Jimbun besar hati menginginkan tahta
raja, ingin cepat kaya sesuai sifat ibunya. Adapun berani tanpa pikir itu dari
sifat Sang Arya Damar, karena Arya Damar itu ibunya putri raksasa, senang minum
darah, sifatnya sia-sia. Maka ada kuntul memakai kuncir itu sudah kehendak
Allah, tidak hanya Sunan Demak sendiri saja yang diperingati mengakui
kesalahannya, tetapi juga para wali lainnya. Apabila tidak mau mengakui
kesalahannya, dosanya lahir batin. Maka namanya wali diartikan walikan dibaiki
membalas kejahatan...