Apakah menjadi atheis adalah
sebuah pilihan akibat rasionalisasi dan sciene? Ternyata tidak, ternyata jika
ditelusuri lebih mendalam dan komprehensif, atheis adalah suatu pilihan yang sama tidak rasional atau
bahkan lebih tidak rasional daripada menjadi orang percaya (bukan sekedar
beragama).
Pemahaman
Atheis dipenuhi misteri-misteri bahkan tahayul-tahayul yang dikemas seolah-olah
logis dan scientific. Bertrand Russel salah seorang penjuang Atheis, yang senang
membombardir orang-orang bertuhan dengan argumen-argumen retoriknya, pernah
dengan sangat “mudah” memberikan pernyataan ; ‘the universe is “just there.” Universal “tiba-tiba
ada” dan bagaimana ada-nya itu tak terjelaskan secara ilmiah dengan baik dan
bukan sama sekali penjelasan yang scientific, berdasarkan prinsip dari science
“nothing that exists (or that is) can explain its own existence.” Lebih lanjut
“Nothing Cannot Produce Something”.
Menjadi
suatu pertanyaan yang tak terjawab untuk kaum Atheis sampai dengan saat ini.
Kaum atheis ketika berbicara kosmologi, mengungkapan alur suatu teori yang sama
sekali tak masuk akal, dari sesuatu yang tidak ada bisa menciptakan sesuatu
yang ada, memang akan menjadi perdebatan yang tak berkesudahan mengenai prima
causa, harus adanya satu penyebab dari semuanya ini bagi kaum theis sedang bagi kaum atheis tidak
diperlukan suatu prima causa dalam tatanan kosmolologi, “sim sala bim”
tiba-tiba semua ada, loncatan mistis inilah yang menjadi suatu titik otokritik
bagi pemahaman atheis itu sendiri. Lebih semakin “mistis” lagi ketika Stephen
Jay Gould menyampaikan “genesis” versi Atheis sebagai berikut; ‘We are here because one odd group of fishes
had a peculiar fin anatomy that could transform into legs for terrestrial
creatures; because the earth never froze entirely during an ice age; because a
small and tenuous species, arising in Africa a quarter of a million years ago,
has managed, so far, to survive by hook and by crook. We may yearn for a
“higher” answer—but none exists.’
Bahkan
seorang astronom yang sangat brilian seperti Carl Sagan pun
memberikan penjelasan yang sama tidak jelasnya dengan Gould, “For me, it is far better to grasp the Universe as it really is
than to persist in delusion, however satisfying and reassuring.’
Suatu jawaban yang menimbulkan
berjuta pertanyaan lainnya, karena ternyata jawaban tersebut tak logis dan
tidak ilmiah, namun ada suatu paradigma pada masyarakat dunia, sepanjang Sagan atau Einsten
yang “bersabda” maka benarlah “sabda” dan “titah”nya tersebut, padahal ketika
bicara mengenai Tuhan, baik Sagan, Einsten, saya dan saudara, tidak ada yang
lebih pintar atau brilian untuk meniadakan keberadaan Tuhan. Sagan ataupun Einsten sekalipun memang
brilian dalam bidangnya masing-masing yaitu ilmu eksak khususnya Fisika.
Namun Tuhan itu sendiri jauh dari
jangkauan hitung-hitungan Matematika atau Fisika.
Sebenarnya baik Sagan ataupun
Einsten, bukanlah seorang
atheis murni seperti Betrand, Sam
Harris atau Mark Twain (saya sepakat mereka adalah representasi dari kaum skeptis), Sagan dan Einstens masih bisa
meletakan proporsi yang sebenar-benarnya tentang dimana wilayah science dan
wilayah Tuhan, walau sering tergoda untuk mencampur adukan kedua wilayah
tersebut.
Jadi
atheispun masih bisa dibagi menjadi dua kategori,
·
para
scientist dan free thinker
sebagai kaum liberal atau agnoistik, dan
·
kaum skeptis yang “mistis” karena kehilangan pondasi ilmiah untuk merangkai argumen-argumen
yang logis dan memberikan penjelasan secara terang benderang.
Untuk kaum free thinker agak sulit untuk
menyikapinya, karena “kaki” mereka ada di dua “pijakan”, dan banyak dari free
thinkerpun masih menghargai dan bertoleransi terhadap kebudayaan yang membentuk
dan terbentuk atas keyakinan akan adanya Tuhan. Seperti Heidegger yang
bukan seorang nir religius, berbeda dengan Marx yang
adalah kaum skeptis, pada suatu kesempatan muridnya dibuat heran oleh bagaimana
Heidegger dalam suatu hiking ke hutan, lalu sengaja mampir di sebuah kapel
dan membuat tanda Salib dengan air suci (tradisi Katolik), dan ketika muridnya
bertanya, bukankah tindakannya itu merupakan suatu tindakan yang tidak
konsisten, dimana diketahui bahwa Heidegger mengambil jarak dengan gereja,
dengan arif ia menjawab “ orang harus berpikir historis, dan dimanapun banyak
orang berdoa, disana yang ilahi dekat dengan cara yang khusus”.
Karena itulah buat saya pribadi kaum
free thinker masih menyisakan “kearifan lokal”, yang dibelahan bumi manapun,
tidak ada yang buta “Tuhan”, hampir diberbagai pelosok, dipedalaman dsb, baik
dari cara primitif sampai dengan yang sebenar-benarnya, konsep Tuhan itu nyata
ada. sedang untuk
kaum skeptis yang terkadang sering membabi buta dalam memberikan argumen yang
paling tidak masuk akalpun, masih menganggap diri sebagai kaum intelektual dan
scientist. Mari perhatikan argumen-argumen yang memang membabi buta tanpa
konsep determinasi yang jelas dan rasional
The
fact that a believer is happier than a skeptic is no more to the point than the
fact that a drunken man is happier than a sober one. —George Bernard Shaw
Why
should we take advice on sex from the Pope? If he knows anything about it, he
shouldn’t. —George Bernard Shaw
But who
prays for Satan? Who, in eighteen centuries, has had the common humanity to
pray for the one sinner that needed it most? – Mark Twain
Man is
the Religious Animal. . . . He is the only animal that has the True
Religion—several of them. He is the only animal that loves his neighbor as
himself, and cuts his throat if his theology isn’t straight. He has made a
graveyard of the globe in trying his honest best to smooth his brother’s path
to happiness and heaven. – Mark Twain
So far
as I can remember, there is not one word in the Gospels in praise of
intelligence.- Bertrand Russel
And if
there were a God, I think it very unlikely that He would have such an uneasy
vanity as to be off ended by those who doubt His existence. - Bertrand Russel
Two
great European narcotics, alcohol and Christianity. - Friedrich Nietzsche
[Jesus]
died too early; he himself would have disavowed his doctrine had he attained to
my age! -Friedrich Nietzsche
Masih
banyak yang bisa dikutip dari pernyataan-pernyataan dari kaum skeptis ini, bisa
dilhat dimana ada argumen dengan suatu penjelasan logis yang memberikan
penjelasan?
Selain argumen sinis dan melecehkan
seperti itu. Maka apakah
menjadi atheis itu suatu pilihan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan
secara scienetifik ? TIDAK sama sekali, walaupun itu hak asasi dari
sudut padangan kemanusiaan, setiap orang berhak menentukan mau berTuhan,
pura-pura berTuhan atau tidak berTuhan.
Namun
jika kaum atheis, khususnya kaum skeptikal menganggap bahwa orang percaya
menjadi irelevan dan blind faith, itu hak mereka dan yang bisa kita lakukan
sebagai orang percaya, jikapun mereka mengajak diskusi perlu dipahami dan
dipilah-pilah apakah kaum free thinker atau kaum skeptis sebagai teman diskusi.
Kaum Atheis free thinker, biasanya
mereka masih menyisakan ruang untuk argumen-argumen yang rasional, namun jika
kaum skeptis,
jangan terlalu banyak berharap ada jalinan diskusi yang rasional, karena
biasanya justru yang ada hanya argumen-argumen yang sinis dikarenakan lack of information atau
lack of knowlegde.
No comments:
Post a Comment