Gambar disamping adalah Quran versi Asim dari Kufa lewat Hafs, yang merupakan acuan dari Quran cetak edisi Mesir. |
Bagaimana proses
penyusunan Quran hingga terbentuk menjadi sebuah kitab seperti yang ada
sekarang ini? Kebanyakan kaum Muslim meyakini bahwa Quran yang mereka
lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa
Muhammad lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Bahkan muslim
percaya banwa Quran merupakan salinan dari kitab yang ada disurga ( lahul mahfuz). Keyakinan
semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan2 teologis
(al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari
formalisasi doktrin2 Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Quran sendiri
sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa kebohongan, dan tidak sunyi
dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.
PARA
PAKAR ISLAM PUN TIDAK BISA MEMBUKTIKAN APAKAH QURAN YANG ADA SEKARANG
INI MASIH SAMA ISINYA DENGAN QURAN YANG ADA DIJAMAN MUHAMMAD.
Dulu
kami pernah diceritakan tentang bagaimana Quran dibentuk. Dua
keterangan yang paling terkenal adalah; sebelum dia mati, Muhammad
menyusun Quran menjadi sebuah buku dan Kalifah berikutnya, Abu Bakar,
menyusunnya dari orang2 yang telah menulis ayat2 Quran dan menghafalnya.
Meskipun begitu, kami diajarkan bahwa
Quran yang sekarang ini sama persis dengan yang diberikan pada Muhammad
dulu oleh malaikat Jibril.
Untuk
mengerti sejarah Islam kami kemudian mulai mempelajari sumber2 Islam
yang bisa dipercaya, terutama yang Sahih yang disusun oleh Bukhari.
Sewaktu sedang mempelajari sejarah penyusunan teks Quran, betapa
kagetnya kami ketika mengetahui bahwa Quran yang kita miliki hari ini
ternyata telah melalui beberapa tahapan evolusi sebelum mencapai versi
standar sekarang ini. Misalnya, kami menemukan ada tujuh cara yang
berbeda untuk melafalkan Quran. Seorang dapat melafalkan dan mengingat
Quran secara berbeda dan itu tetap diterima sebagai wahyu Allah. Kutipan
dari Hadis Sahih Bukhari:
Sahih Bukhari 41:601,
Dikisahkan
oleh 'Umar bin Al-Khattab: Aku dengar Hisham bin Hakim bin Hizam
melafalkan Surat-al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan caraku. Rasul
Allah telah mengajarkan padaku (dengan cara yang berbeda). Lalu, aku
hampir saja ingin bertengkar dengan dia (pada saat sembahyang) tapi aku
tunggu sampai dia selesai, lalu aku ikat bajunya di sekeliling lehernya
dan kuseret dan kubawanya menghadap Rasul Allah dan berkata, “Aku telah
mendengar dia melafalkan Surat-al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan
yang kau ajarkan padaku.” Sang Rasul menyuruhku melepaskan dia dan
meminta Hisham melafalkannya. Ketika dia melakukan itu, Rasul Allah
berkata, “Itu (Surat-al-Furqan ) dilafalkan begitu.” Sang Rasul lalu
meminta aku melafalkannya. Ketika aku melakukannya, dia berkata, “Itu
dilafalkan begitu. Qur’an telah dinyatakan dalam tujuh cara yang berbeda, jadi lafalkan dengan cara yang mudah bagimu.”
Karena terdapat tujuh cara pelafalan Quran (qiraat) ini berarti kaum Muslim dapat mengingat Quran dalam tujuh cara yang berbeda,
bukan hanya satu. Jika Muhammad telah mengijinkan tujuh cara untuk
melafalkan Quran, maka tentunya juga ada tujuh versi Quran, dan bukan
hanya satu!
Kami
tidak pernah diajarkan bahwa ada tujuh buah Quran, tapi kami hanya
diberitahu ada satu Quran saja. Apakah memang betul ada tujuh buah dan
semuanya itu asli ? Ketika kami terus melanjutkan penelaahan, kami
temukan Hadis Sahih lain yang memperkuat dan memperluas paham bahwa
Quran mungkin dikisahkan dalam tujuh cara yang berbeda.
Sahih Bukhari 54:442
Rasulullah
berkata; Jibril melafalkan Quran padaku dengan satu cara (dielek), aku
kemudian menyuruhnya untuk melafalkan dengan cara yang berbeda, hingga ia melafalkan dengan tujuh macam cara.
Hadis serupa dapat dilihat pada Bukhari 61:513, 61:514, dan 3:640.
Sewaktu kami mempelajarinya lebih lanjut, Hadis
Sahih menegaskan bahwa bukan Muhammad yang menyusun tulisan Quran
menjadi satu koleksi, tapi ini untuk pertama kali dilakukan di bawah
kekuasaan Kalifah Abu Bakar. Ternyata pada saat itulah qurra,
yakni orang2 yang menghafalkan Quran, terbunuh di Perang Yamama. Khalifa
Abu Bakar memerintahkan untuk dibuat kumpulan ayat2 Quran, dan ini juga
atas desakan Umar (Kalifah kedua). Kumpulan ayat ini disimpan oleh Kalifah Abu Bakar, dan setelah dia mati, lalu disimpan oleh Kalifah Umar dan diserahkan pada anak perempuan Umar yang bernama Hafsa, yang juga janda Muhammad.
Sahih Bukhari 61:509
Dikisahkan
oleh Zaid bin Thabit: Abu Bakr As-Siddiq memanggilku ketika orang2
Yamama telah dibunuh (sejumlah pengikut sang Nabi yang bertempur melawan
Musailama). (Aku pergi kepadanya) dan menemukan 'Umar bin Al-Khattab
duduk dengannya. Abu Bakar lalu berkata (padaku), “Umar telah datang
padaku dan berkata: “Banyak yang Qurra Quran (orang2 yang hafal Quran di
luar kepala) yang tewas di Perang Yamama dan aku takut akan lebih
banyak lagi Qurra yang akan tewas di medan perang lain, sehingga
sebagian besar Quran bisa hilang. Karena itu aku menganjurkan kau (Abu
Bakr) memerintah agar ayat2 Quran dikumpulkan.”
Aku
berkata pada ‘Umar, “Bagaimana kau dapat berbuat sesuatu yang Rasul
Allah saja tidak lakukan?” ‘Umar berkata, “Demi Allah, ini adalah usaha
yang baik.” ‘Umar terus saja membujukku untuk menerima usulnya sampai
Allah membuka hatiku dan aku mulai menyadari kebenaran usul ini.”
Lalu
Abu Bakar berkata (padaku). ‘Kamu adalah anak muda yang bijaksana dan
kami tidak curiga apapun padamu, dan kau biasa menulis Ilham Illahi bagi
Rasul Allah. Maka kau harus mencari (ayat2 terpisah-pisah) Qur’an dan
mengumpulkannya jadi satu buku.” Demi Allah, jika mereka memerintahkanku
untuk memindahkan satu dari gunung2, ini tidak akan sesukar perintah
mengumpulkan ayat2 Quran. Lalu aku berkata pada Abu Bakar, “Bagaimana
kau dapat berbuat sesuatu yang Rasul Allah saja tidak lakukan?” Abu
Bakar menjawab, ““Demi Allah, ini adalah usaha yang baik.” Abu Bakar
terus saja membujukku untuk menerima usulnya sampai Allah membuka hatiku
seperti Dia telah membuka hati Abu Bakar dan Umar.
Lalu
aku mulai mencari ayat2 Quran dan mengumpulkannya dari (yang ditulis
di) tangkai2 palem, batu2 putih tipis dan juga orang2 yang mengingatnya
dalam hati, sampai aku menemukan ayat akhir dari Surat At-Tauba
(Pertobatan) dari Abi Khuzaima Al-Ansari, dan aku tidak menemukan ayat
ini pada orang lain. Ayatnya berbunyi: ‘Sesungguhnya telah datang bagimu
seorang Rasul (Muhammad) dari antara kalian sendiri. Dia sedih melihat
engkau harus menerima kecelakaan atau kesusahan … (sampai akhir
Surat-Baraa’ (At-Tauba) (9.128-129). Lalu naskah2 (salinan) lengkap
Quran disimpan Abu Bakr sampai dia mati, lalu disimpan ‘Umar sampai
akhir hidupnya, dan kemudian disimpan Hafsa, anak perempuan Umar.
Sewaktu kami mempelajari Hadis Sahih di atas dan Hadis yang lain yang sama pesannya, kami mendapatkan hal2 yang penting. Pertama, Umar khawatir jika Quran tidak ditulis, dan jika qurra banyak yang mati, maka sebagian besar Quran akan hilang.
Kedua,
ini adalah tugas yang monumental (besar sekali) yang diberikan pada
Zaid karena Muhammad sendiri tidak pernah melakukan hal ini, dan Zaid
menjelaskan kekhawatirannya.
Ketiga,
perlu banyak usaha untuk mengumpulkan ayat2 Quran karena beberapa ayat
hanya diingat oleh satu orang dan tidak ada orang lain yang menegaskan
atau membenarkannya. Ada beberapa Hadis Sahih lain yang juga mengatakan
hal itu.
Kejujuran
Zaid membuat kami waswas. Apakah betul ini adalah tugas yang sangat
berat? Apakah memang dia orang yang tepat melaksanakan tugas itu? Kami
mulai mencari dan menemukan bahwa Muhammad telah menganjurkan orang2
lain dan bukan Zaid untuk mengajar Quran pada muslim lain.
Sahih Bukhari 61:521
Dikisahkan
oleh Masriq: 'Abdullah bin 'Amr mengingatkan 'Abdullah bin Masud dan
berkata, "Aku akan mencintai orang itu selamanya, karena aku mendengar
sang Nabi berkata, ‘Belajarlah Qur’an dari empat orang ini: 'Abdullah bin Masud, Salim, Mu'adh dan Ubai bin Ka'b.’"
Kami
sangat khawatir karena tidak seorangpun dari keempat orang yang
direkomendasikan Muhammad untuk mengajar Quran diberi tugas untuk
mengumpulkan atau menegaskan kebenaran Quran. Yang disuruh justru juru
tulisnya Muhammad: Zaid bin Thabit. Dia juga khawatir bahwa tugas ini
terlalu berat. Tapi baik Kalifah Abu Bakr maupun Umar pada saat itu
tidak minta satu pun dari keempat orang di atas untuk memeriksa hasil
penyusunan Quran buatan Zaid.
Kami
lanjutkan penyelidikan dengan rasa agak bingung karena proses
penyusunan ini ternyata melibatkan lebih banyak hal yang tidak pernah
didengar sebelumnya. Sayangnya, kami mendapatkan bahwa sejarah
penyusunan Quran tidak berhenti pada saat itu saja. Dengan makin
bertambah dan menyebarnya masyarakat Muslim, jadi bertambah sukar pula
untuk mempertahankan keutuhan isi Quran karena tidak ada satu patokan
isi Quran yang sah, setiap guru agama punya salinan mereka sendiri. Ini
mengakibatkan banyaknya ketidaksetujuan diantara masyarakat Muslim, dan
karena itu, Kalifah Utsman diminta untuk berbuat sesuatu untuk
menanggulangi hal ini.
Harap
diingat bahwa pada saat itu, naskah Quran yang dikumpulkan Zaid tidak
disebarkan ke mana2, dan masih disimpan oleh Hafsa. Juga perhatikan apa
yang dilakukan Kalifah Utsman seperti yang diterangkan di Hadis Sahih
Bukhari berikut.
Sahih Bukhari, 61:510:
Dikisahkan
oleh Anas bin Malik: Hudhaifa bin Al-Yaman datang pada Utsman pada saat
orang2 Sham dan Iraq sedang mengadakan perang untuk menaklukkan Arminya
dan Adharbijan. Hudhaifa takut akan perbedaan pelafalan Qur’an yang
dilakukan mereka (orang2 Sham dan Iraq), lalu dia berkata pada ‘Utsman,
“O ketua orang yang beriman! Selamatkan negara ini sebelum mereka
bertentangan tentang Buku ini (Qur’an) seperti yang dilakukan orang
Yahudi dan Kristen sebelumnya.” Lalu ‘Utsman mengirim pesan pada Hafsa
yang isinya, “Kirim pada kami naskah2 Qur’an sehingga kami bisa
mengumpulkan bahan2 Qur’an dalam salinan yang sempuran dan mengembalikan
naskah2 itu padamu.”
Hafsa
lalu mengirimkannya pada ‘Utsman. ‘Utsman lalu memerintahkan Zaid bin
Thabit, 'Abdullah bin AzZubair, Said bin Al-As dan 'AbdurRahman bin
Harith bin Hisham untuk menulis ulang naskah2 itu menjadi salinan yang
sempurna. ‘Utsman berkata pda tiga orang Quraish, “Andaikata kau tidak
setuju dengan Zaid bin Thabit tentang isi apapun dalam Qur’an, maka
tulislah Qur’an dalam dialek Quraish, agar Qur’an dinyatakan dalam
bahasa asli mereka.”
Mereka melakukan itu, dan ketika mereka telah menulis banyak salinan, ‘Utsman mengembalikan naskah2 yang asli pada Hafsa. ‘Utsman
mengirim satu salinan Qur’an ke setiap propinsi Muslim, dan
memerintahkan semua tulisan2 Qur’an lain, baik yang ditulis di beberapa
naskah atau seluruh buku, dibakar.
Said
bin Thabit menambahkan, “Satu ayat dari Surat Ahzab hilang dariku
ketika kita menyalin Qur’an dan aku biasa mendengar Rasul Allah
menceritakannya. Maka kami mencarinya dan menemukannya pada Khuzaima bin
Thabit Al-Ansari. (Ayat ini berbunyi): ‘Diantara orang2 yang beriman
ada orang2 yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.’
(33.23)
Dari
mempelajari kisah di atas dan juga Hadis Sahih lain yang pesannya
serupa, kami perhatikan ada beberapa kumpulan Quran yang berbeda2 yang
tersebar saat itu. Ini adalah bagian kumpulan Quran yang dibuat oleh
keempat guru2 Quran yang direkomendasikan Muhammad seperti yang ditulis
di Hadis terdahulu, yakni salah satunya Ubai bin Ka'b. Lagi2 kami merasa
terganggu dengan hal2 berikut.
Pertama,
ada banyak ketidaksetujuan diantara para Muslim tentang apa yang
seharusnya ada dalam Quran. Karena itu, Kalifah Utsman memerintahkan
naskah2 Quran yang disimpan Hafsa untuk disalin dan disebarkan dan
ditunjuk sebagai salinan Quran yang sah.
Kedua,
jika ada banyak ketidaksetujuan diantara ahli2 tulis yang menyalin
Quran tentang bagaimana melafalkan suatu ayat, Utsman menyuruh mereka
menulisnya dalam dialek Quraish. Kami kecewa ketika tahu bahwa Kalifah
Utsman memerintahkan perubahan kata2 Quran ke dalam dialek Quraish.
Apakah perubahan bagian dari tujuh versi Quran yang berbeda? Kami tidak
menemukan penjelasan ini di Hadis Sahih. Yang terakhir, kami kaget
sekali ketika Khalifa Utsman memerintahkan PEMBAKARAN Quran2 yang lain, tidak peduli apakah seluruhnya atau sebagian saja. Kami bertanya dalam hati: MENGAPA?
Mestinya karena Quran2 lain yang beredar saat itu begitu berbeda dengan
yang dimiliki Khalifa Utsman sehingga dia sampai2 mengeluarkan perintah
yang begitu keras. Ingat saat Al-Yaman bertemu Utsman untuk memintanya
menyelamatkan negara karena mereka berbeda pendapat tentang Quran.
Sekarang Kalifah Utsman memerintahkan disebarkannya salinan yang
dimiliki Hafsa, padahal versi ini belum pula disahkan oleh guru2 Quran terbaik untuk jadi patokan Quran yang sah.
Sewaktu kami menyelidiki apa kemungkinan perbedaannya yang ada, kami menemukan contoh kata Bismillah
yang hilang pada awal Surah 9, ayat perajaman yang hilang dimakan
KAMBING, dan lalu ayat ini dihapus, ditarik kembali, dibatalkan atau
dilupakan. Kami telah membicarakan hal ini dalam penelitian
kami tentang ayat2 yang dibatalkan (Ayat2 setan). Kami menjumpai bahwa
meskipun perintah penghancuran diberikan, beberapa bagian dari versi
Quran lain ternyata selamat, mungkin karena orang2 Muslim hafal akan
variasi lain dari Quran.
Contohnya,
dari terjemahan Quran oleh Abdullah Yusuf Ali, kami menemukan Qiraat
(bacaan Quran) lain yang berbeda dengan Quran milik Ka’b yang
direkomendasikan Muhammad sebagai satu dari empat guru terbaik untuk
mengajar Quran. Dia menulis ada kata2 tambahan bagi Surah 33:6. Kami
dulu diajari bahwa tidak ada satu titik pun yang diubah, dan inilah
seluruh kalimat yang hilang yang ditandai dengan ** di bawah di catatan
kaki 3674 dari Abdullah Yusuf Ali.
Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri, ** dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang
yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di
dalam Kitab (Allah). (QS 33:6)
** Catatan kaki 3674 : … Di beberapa Qiraats, seperti yang dimiliki Ubai ibn Ka’b, muncul pula kata2 ini “dan dia adalah ayah bagi mereka”, yang mengartikan bahwa hubungan spiritualnya dan hubungannya denga kata2 “dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka”. …
As-Suyuti (wafat 1505),
salah seorang pakar Quran yang paling dihormati mengutip Ibn ‘Umar al
Khattab : "Janganlah ada diantara kalian yang mengatakan bahwa ia
mendapatkan seluruh Quran, karena bagamana ia tahu bahwa itu memang
keseluruhannya? Banyak dari Quran telah hilang. Oleh karena itu, kalian
harus mengatakan ‘Saya mendapatkan sebagian Quran yang ada’" (As-Suyuti, Itqan, part 3, page 72).
Aisha, isteri tersayang nabi mengatakan, juga menurut sebuah tradisi yang diceritakan as-Suyuti, "Selama masa Nabi, saat dibacakan, Surah al-Ahzab berisi 200 ayat. Ketika Utsman mengedit Quran, hanya ayat2 sekarang ini (73) yang tertinggal."
As-Suyuti
juga menceritakan ini tentang Uba ibn Ka’b, salah seorang sahabat
Muhammad: Sahabat terkenal ini meminta salah seorang Muslim, "Berapa
ayat yang ada dalam Surah al-Ahzab?" Katanya, "73 ayat." Ia (Uba)
mengatakan padanya, "Dulunya jumlah ayatnya hampir sama dengan Surah ‘Al
Baqarah’ (sekitar 286 ayat) dan
termasuk ayat perajaman". Lelaki itu bertanya, "Apa ayat perajaman itu
?" Ia (Uba) mengatakan, "Jika lelaki tua atau wanita melakukan zinah,
rajam mereka sampai mati."
Ibn Mas’ud,
seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Quran yang tidak
menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem
(w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak
menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Quran
yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi
surah Yunus.
Ibn
Mas’ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai
bagian dari Quran. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu
bukan bagian dari Quran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak
memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di
kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Quran atau
ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian
dari kitab suci.
Salah
seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian
dari Quran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya
yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah
“ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Quran. Ini merupakan tradisi
populer masyarakat Mediterania pada masa awal Islam. Sebuah hadis Nabi
mendukung fakta ini: “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan
bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya
menjadi sia-sia.”
Seperti
yang kita lihat sebelumnya, Utsman mencoba mengatasi situasi kacau ini
dengan kanonisasi codex / mushaf Medinah, yang salinannya dikirim
kesemua pusat2 metropolitan diiringi perintah untuk menghancurkan
kesemua mushaf lain.
Mushaf
Utsman ini dianggap sebagai standar teks konsonan, tapi yang kita
temukan justru terdapat berbagai variasi teks konsonan yang masih hidup
juga sampai abad Islam ke 4. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan
yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva).
Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca
yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu
atau bi’ilmi.
Masalah
diperuncing dengan adanya perbedaan kosakata akibat pemahaman makna,
dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf
Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina”
(keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Utsmani.
Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”).
Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti
“al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu”
(Ibn Mas’ud), “linuhyiya” menjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.
Untuk
mengatasi versi2 bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah
Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah,
memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah
membanding2kan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih
tujuh varian bacaan dari para qurra ternama. Bahkan ketujuh mushaf versi
Ibn Mujahid memberikan 14 kemungkinan karena masing2 dari ketujuh
mushaf itu bisa dilacak kepada dua transmitter berbeda. yakni;
1. Nafi dari Medinah menurut Warsh dan Qalun
2. Ibn Kathir dari Mekah menurut al-Bazzi dan Qunbul
3. Ibn Amir dari Damascus menurut Hisham dan Ibn Dakwan
4. Abu Amr dari Basra menurut al-Duri dan al-Susi
5. Asim dari Kufa menurut Hafs dan Abu Bakr
6. Hamza dari Kufa menurut Khalaf dan Khallad
7. Al-Kisai dari Kufa menurut al Duri dan Abul Harith
Tindakannya
ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Quran diturunkan
dalam tujuh huruf.” Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan
menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan versi2 lain yang
dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada
saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn
Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan2nya dikesampingkan Ibn Mujahid
karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid
dan Ibn Shanabudh.
Bagaimanapun,
reaksi para ulama tersebut tidak banyak berpengaruh. Sejarah
membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang
kini diterima oleh banyak orang. Pada akhirnya 3 versi bertahan,
versinya Warsh (812) milik Nafi dari Medina, Hafs (805) milik Asim dari
Kufa, dan al-Duri (860) milik Abu Amr dari Basra. Jaman sekarang, hanya 2
versi yang terus digunakan. Yaitu versi Asim dari Kufa lewat Hafs, yang diberikan ijin resmi dengan diadopsi sebagai Quran edisi Mesir tahun 1924; dan milik Nafi lewat Warsh, yang digunakan di bagian2 Afrika selain Mesir.
Pencetakan
Quran di Mesir tahun 1924 adalah rekayasa yang luar biasa, karena
upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan
pembakuan Quran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Quran Edisi Mesir itu
merupakan versi Quran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh
kaum Muslim. Keberhasilan penyebarluasan Quran Edisi Mesir tak terlepas
dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa2 sebelumnya, kodifikasi dan
standarisasi Quran adalah karya institusi yang didukung oleh penguasa
politik.
Apa
yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu
kopi Quran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek
standarisasi kitab suci, yang bertujuan memusnahkan versi2 Quran yang
lain. Kendati tidak seperti Utsman bin Affan yang secara terang2an
memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Quran yang bukan miliknya,
tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Quran hanya dengan satu edisi,
menutupi dan perlahan2 menyisihkan edisi lain yang diam2 masih beredar
(khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).
Akhirnya
kita dapat menyimpulkan bahwa Quran versi yang ada sekarang ini jauh
dari kata suci dan murni. Bahkan jika dibandingkan dengan kitab samawi
lain seperti Taurat dan Injil, kemurnian atau validitas Quran jauh
dibawah kedua kitab tersebut.
Aisha
pernah melaporkan bahwa bahwa ada satu lembaran yang berisi 2 ayat,
termasuk ayat2 rajam, ditulis dalam lembaran yang disimpan dibawah
tempat tidurnya. Sayang pada waktu pemakaman Rasulullah, seekor binatang
memakannya hingga musnah. Disebutkan dalam bahasa Arab bahwa binatang
tersebut adalah “dajin”, yang dapat berarti hewan seperti kambing, domba
ataupun unggas.
Sumber :
• Ibrahim b. Ishaq al Harbis, Gharib al hadith menyebutkan “shal” yang berarti domba
• Zamakshari, al Kashaf, vol 3 p 518, footnote
• Sulaym b. Qays al Hilali, Kitab Sulaymn b. Qays, p 108
• Al Fadl b. Shadahn, al Idah, p 211
• Abd al Jalil al Qazwini, p 133
Peristiwa hilangnya ayat2 Quran akibat dimakan binatang sungguh menggelikan, menyedihkan dan memalukan, karena ucapan ALLAH DIKALAHKAN OLEH SEEKOR KAMBING.
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS 15:9)
MASIHKAH UMAT MUSLIM MENGATAKAN BAHWA KEMURNIAN QURAN SENANTIASA TERPELIHARA OLEH ALLAH?
No comments:
Post a Comment