Tadarus Ramadan JIL (Foto: Hasan Sobirin) |
Pada tadarus sebelumnya, Najib Burhani membantah tuduhan bahwa Muhammadiyah berafiliasi kepada Wahabi. Alih-alih berasosiasi dengan Wahabi, Muhammadiyah, menurut Najib, lebih merujuk kepada pemikiran sang modernis, Muhammad Abduh.
Abdul Moqsith Ghazali pada pertemuan terakhir tadarus ramadan JIL, Rabu (8/7) lalu, menguraikan beberapa poin yang menunjukkan persinggungan doktrin, yang nampak dekat namun memiliki konsekuensi berkebalikan, antara Wahabisme dan Abduhisme.
Pertama, baik pengikut Wahabi maupun Abduh sama-sama menggunakan slogan “al-ruju’ ila al-quran wa al-hadits” atau kembali kepada Quran dan Hadis. Kalangan Wahabi menerapkan doktrin ini dengan melakukan penafsiran atas Quran dan hadis secara tekstual.
Sementara para pengikut Muhammad Abduh, di Indonesia diwakili oleh Harun Nasution misalnya, menjalankan doktrin tersebut dengan mengutamakan argumen rasional. Karenanya, produk pemikiran yang dilahirkan keduanya akan berbeda, bahkan bisa dikatakan bertolak-belakang.
Misalnya dalam persoalan poligami, orang-orang yang berkiblat kepada Muhammad bin Abdul Wahab akan menafsirkan ayat Quran tentang poligami sebagai justifikasi atas perilaku ini, tetapi bagi kelompok Abduh tentu artikulasi penafisrannya akan berbeda.
Persamaan ke dua, baik Wahabisme maupun Abduhisme sama-sama menolak bermazhab. Namun berbeda dengan kelompok Abduh yang mendukung kebebasan berpikir, kelompok Wahabi justru mendirikan mazhab baru. Menurut Moqsith, konsekuensi dari sikap anti-mazhab oleh Wahabi ini bisa berakibat fatal.
Sebab melalui doktrin tersebut, mereka terkungkung dalam lingkar pemikiran tiga ulama yang menjadi rujukan utamanya: Nasirudin al-Albani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Abdullah bin Baz. Sehingga, lanjut Moqsith, parameter kebenaran bagi kalangan Wahabi hanya terbatas pada pemikiran tiga ulama tersebut.
Persinggungan selanjutnya antara para pengikut Abduh dengan Wahabi adalah penolakan mereka terhadap aliran tasawuf. “Di sinilah Wahabi dengan Abduh ketemu, menghajar kelompok-kelompok tradisionalis. Islam Nusantara kena juga di sini,” jelas Moqsith.
Baik Wahabi maupun Abduh, sama-sama memiliki penekanan yang kuat terhadap ajaran tauhid, inilah persinggungan mereka berikutnya. Namun lagi-lagi konsekuensinya sangat bertolak-belakang bagi kedua kubu ini. “Dengan menuhankan Tuhan yang satu, Allah yang esa, dampak dari konsep tauhid dalam pemikiran Muhammad Abduh adalah merelatifkan selain Allah,” terang Moqsith.
Ia melanjutkan, “nanti ujungnya, orang seperti Ali Abd al-Raziq, misalnya, menolak segala tindakan dan perilaku politik Nabi Muhammad ketika berada di Madinah. Karena tindakan politik Nabi di Madinah itu tidak menjadi bagian dari risalah kenabian.”
Tetapi pemikiran demikian tidak ada pada kalangan Wahabi. Konsekuensi buruk dari konsep tauhid yang mereka anut malah melahirkan takfiri, mengafirkan orang-orang Islam yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka. Sehingga, Wahabi dianggap memerangi orang-orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala.
Di dalam sejarahnya, orang-orang Wahabi memanfaatkan kerjasama dengan Barat untuk menghajar kalangan Muslim tertentu. Ini juga yang menjadi persinggungan selanjutnya antara kalangan Wahabi dengan para pengikut Abduh, kedekatan mereka dengan Barat.
Tetapi para pengikut Abduhi adalah mereka yang terkagum-kagum terhadap kemajuan ilmu pengetahuan Barat, di sinilah perbedaannya. Lain halnya dengan pengikut Abduh yang bersintesa dengan Barat untuk mengambil aspek ilmu pengetahuan mereka, kelompok Wahabi memanfaatkan kerjasama dengan Barat untuk memerangi kelompok Islam sendiri.
Kecenderungan yang sama dari dua kubu ini juga bisa terlihat dari sikap ketus yang mereka tunjukkan terhadap kebudayaan lokal. Banyak tradisi masyarakat yang tidak mendapatkan tempatnya dalam ajaran dua kelompok ini. Misalnya seperti ziarah kubur, yang bagi masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, ini merupakan tradisi yang sulit dipangkas begitu saja.
Moqsith juga menjelaskan bahwa Muhammadiyah seringkali berada di antara dua posisi itu, kadang dia mendekat kepada Wahabisme, kadang dia mendekat kepada Abduhisme. Karena itu, lanjut Moqsith, di Indonesia terdapat 14 ma’had (pesantren) yang berafiliasi kepada LIPIA, dan semuanya berada di bawah naungan perguruan tinggi milik Muhammadiyah.
Ke-14 ma’had tersebut memang menamakan diri sebagai lembaga bahasa, namun seringkali ideologi Wahabi menyelinap masuk di dalam contoh-contoh gramatikal bahasa arab yang mereka ajarkan. (Evi Rahmawati)
No comments:
Post a Comment