Abduh adalah tokoh pembaharuan Islam Mesir yang luas pengaruhnya,
juga ke negeri kita. Ia pernah jadi grand mufti Mesir. Di antara fatwanya
adalah soal poligami, yang lalu dimuat muridnya Rashid Rida di majalah Al Manar
pada 1927.
Fatwanya: yajuz lil hakim aw li sahibiddin an yamna' ta'addud
alzaujat shiyanatan lil buyut 'anil fasad ri'ayatan lil mashlahah al 'ammah.
Boleh bagi hakim/pemimpin agama melarang poligami untuk mencegah kerusakan
rumahtangga demi maslahat umum.
Bagaimana Abduh bisa sampai pada fatwa larangan poligami? Apa
argumen dan dalilnya?
Perlu ditegaskan bahwa dalam memahami Qur'an, Abduh menekankan
pentingnya tahu hikmah/alasan di balik ayat-ayat suci. Abduh percaya, wahyu dan
akal sama-sama dari Allah, tak mungkin bertabrakan. Ini sejalan dengan Ibnu
Rushd.
Bagaimana jika tampaknya ada ayat-ayat Qur'an yang bertentangan
dengan akal? Menurut Abduh: yang dimaksud ayat tersebut pasti selain arti
harfiah. Abduh juga sangat hati-hati/kritis dalam memakai hadits-hadits
ahad, meski sahih. kecuali hadits mutawatir, yang sedikit jumlahnya.
Kembali ke soal fatwa antipoligami. Kita mesti memahami dulu
bagaimana Abduh mendefinisikan pernikahan. Abduh mengkritik definisi fiqh
tentang nikah yang menurutnya reduksionis, yakni sebagai akad yang dengannya laki-laki
halal ber-ML dengan perempuan.
Bagi Abduh, definisi fiqh tersebut tak menampung hakekat nikah
menurut QS 30:21 sakinah, mawaddah, rahmah. Tiga konsep tersebut bagi Abduh
bukan hanya himbauan, tapi inti dari nikah: cinta antara dua insan. tak semata
sex.
Abduh juga menegaskan, perempuan dan laki-laki mesti setara dalam
hak dan kewajiban, sesuai Qur'an - Walahunna mitslu alladzi 'alaihinna bil
ma'ruf (QS 2: 228). Bagaimana itu bisa terealisir?
Utk merealisirnya, muslimah mesti sadar akan hak-haknya. Dan itu
mengandaikan pemberdayaan mereka via pendidikan. Makanya Abduh sangat mendukung
pendidikan untuk perempuan, agar mandiri dan sadar akan kesetaraan hak dan
kewajibannya.
Nah bagaimana dengan poligami? Abduh membahasnya dari aspek
doktrinal dan historis. Dalam
membahas QS 4:3 yang membolehkan poligami, Abduh menegaskan ayat itu muqayyad
(bersyarat), yakni keadilan. Tapi ada ayat lain, QS 4: 129 yang bilang laki-laki/suami tidak akan
bisa adil meski mereka sangat ingin. Menurut Abduh, ayat poligami yang
bersyarat keadilan mesti dipahami dalam kaitan dengan ayat yang bilang suami
tidak mungkin bisa adil.
Dalam tinjauan historis, Islam datang ketika poligami sudah
melembaga, tak hanya di dunia Arab tapi juga di tempat lain. Di Arab, laki-laki
kaya dan berpengaruh bisa saja berpoligami tanpa batas. Nah ketika Islam
datang, tak mungkin sekaligus menghapusnya. Islam lalu membatasi jumlahnya,
dari tak terbatas menjadi maksimum 4. Tapi hakekatnya mengekang poligami, bukan
mengumbarnya.
Jadi menurut Abduh, sikap dasar Islam tentang poligami adalah
membatasi dan mengekangnya, bukan malah merayakannya. Abduh mengutip contoh
terkenal tentang Ghayan yang masuk Islam dengan 10 istri, lalu Nabi minta dia
untuk bertahan dengan 4, mencerai sisanya.
Tapi pembatasan yang paling mendasar adalah pada syarat suami
untuk adil, yang menurut Qu'an tak bakal mampu. Abduh mengkritik pendapat
sejumlah ulama yang melihat faktor keadilan sebagai sekedar himbauan untuk
suami yang mau poligami. Abduh juga mengkritik pendapat yang memahami keadilan sebagai
semata-maya pemerataan soal materi dan seks.
Bagi Abduh, pandangan semacam itu mereduksi hakekat keadilan, yang
timbul karena definisi sempit fiqh tentang pernikahan seperti saya sebut tadi.
Padahal menurut Abduh, Qur'an sendiri mengartikan pernikahan sebagai kasih, cinta, dan ketentraman. Dan itu tak
mungkin dibagi.
Kata Abduh: tak
ada perempuan terhormat dan berakal sehat yang mau membagi suaminya dengan
perempuan lain, sebagaimana suami juga tak mau begitu. Berdasar syarat
mutlak keadilan itulah menurut Abduh kebolehan poligami mesti dikritisi.
Abduh mengakui memang ada sedikit orang yang bisa betul-betul
adil, seperti Nabi dan Para Sahabat. Tapi kita kan bukan mereka. Apalagi pada
masanya, Abduh menyaksikan bagaimana praktek poligami di Mesir secara luas
disalahgunakan. Abduh mencatat, poligami menyebabkan pemusuhan antar istri, pemuasan sepihak laki-laki,
dan anak-anak jadi korban.
Dengan kata lain, poligami terbukti membawa mafsadah (kerusakan) pada
rumahtangga, yang ujungnya merusak tatanan sosial. Padahal tujuan utama syariah
adalah untuk menegakkan kemaslahatan dan menghapus mafsadah (kerusakan).
Dari situlah kemudian lahir fatwa Abduh ini: "Jika poligami
disyaratkan adil, dan adil itu tidak mungkin, dan mungkin hanya satu dari sejuta
orang yang bisa adil dalam poligami, maka atas dasar pertimbangan kemaslahatan
umum hakim (pemerintah)/ pemimpin agama boleh mengeluarkan larangan poligami
demi mencegah kerusakan yang meluas pada rumahtangga muslim. Abduh kasih satu
pengecualian: bila istri
terbukti mandul, suami boleh berpoligami, asal atas persetujuan istri dan
seijin hakim.
Walhasil, fatwa Abduh tentang larangan poligami berpijak pada
prinsip maslahat, yang adalah tujuan utama syariah.
Selain Abduh, pandangan yang keras menentang poligami dilontarkan Fazlur Rahman, gurunya Cak Nur dan Buya Syafii
Maarif di Chicago. Menurut Rahman, ajaran Islam mesti dibedakan antara bunyi hukum yang situasional
dan konsep etikanya yang
permanen. Menurut Rahman, institusi poligami sudah ada sebelum Islam. Islam sejatinya pro monogami,
tapi tidak bisa langsung menghapus poligami sekaligus. Bukti bahwa Islam pro monogami:
persyaratan keadilan yang sangat tegas, yang mustahil dipenuhi suami.
Nah kalau memang Islam itu hakekatnya mengarah ke monogami, bagaimana
status ayat yang membolehkan poligami?
Perbudakan sudah ada sebelum Islam. Islam hakekatnya anti
perbudakan. Tapi Qur'an Sunnah sama sekali tak menegaskan larangan perbudakan. Tapi tak menegaskan larangan
bukan berarti setuju, karena Islam banyak sekali menganjurkan pembebasan budak.
Islam tak eksplisit mengeluarkan larangan perbudakan karena
realita sosial pada abad 7 M tak memungkinkan itu. Sama dengan poligami. Tapi
bukan berarti Islam merayakan perbudakan. Bukti: ketika peradaban sampai pada larangan perbudakan,
lahir ijma' untuk anti perbudakan. Tapi kita tahu, ayat-ayat perbudakan masih
tetap ada di Qur'an. Atasa
dasar itulah Rahman menganalogikannya dengan ayat poligami.
Jangan salah. Rahman
sama seklai tak menyamakan poligami dengan perbudakan. Yang dia analogikan itu cara kita
bersikap terhadap ayat-ayat tentang itu. Pandangan Rahman itu termaktub
dalam bukunya, Major Themes of the Qur'an (sudah diterjemahkan).
Sekian penjelasan saya tentang antipoligami. Wallahu a'lam bi
al-shawab. Salam.