Monday, September 14, 2015

Umat Islam, Jenggot dan Humor

Syekh Yasir Birhami, tokoh salafi dari Mesir, pemimpin Partai Al-Nur. (Photo credit: The Cairo Post)


by Ulil Abshar-Abdalla

IslamLib – Kiai Said Siradj, Ketum PBNU yang baru terpilih kembali di Muktamar NU di Jombang itu, adalah penceramah yang hebat. Pidatonya berisi pencerahan untuk umat, dan kaya humor. Setiap mendengarkan pidato Kang Said (demikian dia kerap dipanggil), saya pasti tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi ini bukan hanya gaya khas Kang Said. Semua kiai NU, kalau menyampaikan ceramah, penuh humor dan kelucuan.
Tak heran, di twitter ada akun bernama NU Garis Lucu, untuk menandingi akun lain yang sebenarnya juga lucu, walau namanya agak “angker”, yaitu NU Garis Lurus. Bahwa ada orang menggambarkan NU sebagai ber-garis lurus itu sendiri sudah merupakan kelucuan tersendiri.
Saat ini sedang beredar video yang berisi petikan humor Kang Said. Video ini menyebar di twitter dan media sosial yang lain. Di sejumlah group Whatsapp, video ini menjadi pembicaraan ramai dan, bahkan, panas. Terjadi adu argumen yang cukup menegangkan. Apa isi video itu? Di sana Kang Said bergurau: Biasanya, orang berjenggot itu akalnya berkurang. Makin jenggot memanjang ke bawah, akalnya juga merosot ke bawah.
Humor Kang Said ini tentu ada konteksnya. Saya sudah berkali-kali mendengar Kang Said melontarkan guyonan ini dalam beberapa kesempatan. Bahkan dalam percakapan personal. Setiap mendengar itu, saya selalu tertawa. Biasanya, Kang Said melontarkan guyonan ini untuk menyindir orang-orang Salafi/Wahabi yang gemar mempermasalahkan jenggot. Bagi orang-orang Wahabi, memanjangkan jenggot hukumnya wajib, sebab itu perintah Nabi.
Jenggot bukan sekedar penampakan fisik biasa. Bagi sebagian golongan Islam, memanjangkan jenggot simbol kesalehan. Orang yang memanjangkan jenggot adalah pengikut Nabi Muhammad yang setia. Sebab, konon, Nabi pernah bersabda: Panjangkanlah jenggot, dan cukurlah “berengos” (kumis). A’fu al-liha wa qassu al-sharib!
Dalam hukum Islam dikenal teori tentang perintah (al-amr). (Saya sedang menyiapkan buku khusus mengenai teori perintah dalam Islam ini.) Jika dalam Quran/sunnah terdapat perintah yang disampaikan secara umum (idza uthliqa), tanpa keterangan apapun, itu bermakna suruhan, command. Kita wajib mengikutinya. Muthlaq al-amr yadullu ‘ala al-wujub, demikian teori itu menegaskan. Perintah, secara umum, menunjukkan keharusan.
Dalam hadis yang saya kutip di atas, Nabi menyampaikan perintah: Panjangkanlah jenggot,cukurlah kumis. Sesuai dengan teori hukum tadi, hadis itu berisi keharusan umat Islam untuk memanjangkan jenggot. Ini, tentu saja, bukan keharusan biasa. Melainkan keharusan yang sakral, suci, angker. Yang tidak melaksanakan keharusan ini, dia melanggar perintah agama, menentang Tuhan. Keharusan itu, dalam Islam, disebut wujub atau wajib.
Demikianlah logic atau cara berpikir orang-orang yang berpandangan bahwa jenggot wajib dipanjangkan. Kelompok yang disebut Wahabi –yang dominan di Saudi Arabia itu—adalah satu-satunya golongan dalam Islam yang mempertahankan pandangan ini dengan mati-matian.
Waktu saya masih kuliah di universitas Wahabi dulu, saya kerap membaca risalah kecil-kecil yang berisi propaganda Saudi untuk mengampanyekan jenggot ke seluruh dunia. Bayangkan: Kampanye memanjangkan jenggot!
Bagi orang di luar Islam yang tidak mengenal peta sosiologi umat Islam, tentu perkara jenggot ini tampak lucu dan menggelikan. Ini bukan perkara yang lucu atau sepele. Bagi sebagian kalangan Islam, ini masalah serius, sama seriusnya dengan soal-soal besar duniawi seperti mengatasi kemacetan Jakarta. Kalau malah tak lebih serius. Sebab kemacetan Jakarta sebatas soal profan, duniawi. Soal jenggot adalah soal ukhrawi, sorga-neraka.
Jenggot, dengan demikian, adalah suatu manifesto “politik”. Saat seorang Muslim berjenggot, bisa saja itu semacam ungkapan deklaratif: Saya mengikuti mazhab ini! Jenggot adalah “religious marker”, penanda afiliasi keagamaan. Bukan sekedar “l’apparance corporel.”
Ketika Kang Said melontarkan candaan jenggot itu, sebetulnya dia sedang meledek, menyindir golongan dalam Islam yang punya cara berpikir konservatif, literalistik, harafiah yang dismbolkan dengan jenggot itu. Jadi, ini candaan yang memiliki konteks. Dia tak bisa dipahami jika kita tak mengetahui konteks itu. Pada dasarnya, setiap humor adalah berkonteks. Tanpa konteks, humor sudah pasti kehilangan kelucuan. Bahkan bisa memancing kemarahan.
Ini tidak berarti bahwa setiap jenggot menandakan seseorang ikut golongan ini atau itu; katakan saja, golongan Salafi/Wahabi. Tidak. Ada jenggot yang non-afiliasi. Jenggot nir-ideogi. Jenggotnya Ahmad Dhani, misalnya, tentu tak kait-mengait dengan perdebatan ideologi ini. Sejumlah kiai NU juga memanjangkan jenggot. Meskipun umumnya tidak. Jenggot kiai NU tidak sama dengan “jenggot Wahabi”.
Kasus marahnya sebagian kalangan atas candaan jenggot-nya Kang Said ini menandakan hilangnya rasa humor dari sebagian kalangan Islam. Sosiolog asal Iran, Asef Bayat, pernah berbicara tentang “fun and fundamentalism”. Dia bilang, ciri-ciri kelompok Islam fundamentalis adalah mereka benci humor, apalagi humor agama. Mereka terlalu serius dengan agama. Tak bisa rileks. Mereka “fun-damentalist”. Tetapi mereka tidak “fun”.
Ini beda dengan suasana keagamaan di NU. Di sana, humor adalah menu wajib dalam setiap obrolan di majlis-majlis NU, termasuk obrolan di ruang tamu para masyayikh, kiai-kiai NU. Kalau Anda bertamu ke “ndalem”/rumah Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus, Anda akan mendengar gelak-tawa pecah setiap saat. Gus Mus dikenal sebagai kiai yang suka humor. Dan presidennya orang-orang NU, yaitu Gus Dur, adalah sosok yang jenaka dan penuh humor.
Setiap pidato, Gus Dur kerap membuka dengan kelakar ini: Pertama-tama, marilah kita panjatkan syukur kepada Allah. Lalu Gus Dur diam sebentar. Terus: Sebab syukur tidak bisa memanjat sendiri. Orang-orang lalu tergelak-gelak.
Jadi, masalah candaan jenggot ini bisa kita jadikan sebagai studi kasus yang menarik. Di sini kita bisa melihat dua corak umat Islam di Indonesia. Ada umat yang suka humor. Ada umat Islam yang lain yang kurang suka, atau bahkan benci humor.
Terserah Anda. Mau ikut yang mana. Kalau Anda punya bakat suka tertawa, Anda sudah tahu mana jenis Islam yang harus Anda ikuti.[]

Monday, September 7, 2015

PEGATURAN JIZYAH (PAJAK KAUM NON MUSLIM) OLEH PEMIMPIN ISLAM

PEGATURAN JIZYAH (PAJAK KAUM NON MUSLIM) OLEH PEMIMPIN ISLAM*
Perintah Pengambilan Jizyah dari Orang Kafir
Telah menceritakan kepada Yazid bin harun dari Abu Malik al-Astaja’i dari ayahnya, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan dia ingkar terhadap peyembahan selain dari-Nya, maka darah dan hartanya telah menjadi haram dan terjaga, sedangkan hisab amalnya diserahkan kepada Allah.”
Abu ubaid berkata, “Hadits ini ditegaskan oleh Rasullah ketika awal permulaan kedatangan Islam dan sebelum surat Bara’ah dan diperintahakan menerima jizyah, terdapat di dalam firman Allah,
sampai mereka membayar jizyah (Pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (At-taubah: 29)
Ayat ini diturunkan pada akhir periode kehidupan Nabi SAW. Abu Ubaid berkata, ” dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”, terdapat tiga pendapat ulama. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “Ann Yadin” adalah secara kontan dan langsung. Sebagian mereka berpendapat bahwa mereka mesti berjalan kaki. Dan, sebagian lagi berpendapat bahwa mereka mesti menyerahkan jizyah itu dalam keadaan berdiri.”
Dari Mujahid mengenai firman Allah, Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (at-Taubah: 29)
Dia berkata, “Ayat ini diturunkan ketika Rasulullah dan para sahabatnya diperintahkan untuk memerangi tabuk.” Dia juga berkata, “Dab saya pernah mendengar Husyim berkata, “Tabuk adalah akhir peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah.”
Dari Mujahid mengenai firman Allah, “Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka (an-‘Ankabuut: 46)
Dia berkata, “Orang-orang yang memerangi dirimu dan dia tidak menyerahkan jizyahkepadamu.”
Abu Ubaid berkata, “Kemudian surat-surat Rasulullah dikirimkan kepda peguasa dan lainya. Baginda mengajak mereka memeluk agama Islam. Jika mereka enggan memeluk agama Islam, maka wajib membayar jizyah.  Ini salah satu wasiat Rasulullah kepada para tentaranya yang dikirim keberbagai penjuru.”
Rasulullah menulis surat yang ditujukan kepada al-Mundzir bin sawi, “Salam sejahtera kepadamu. Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tiada tuhan selain daripada-Nya. Amma ba’du. Barangsiapa yang mengerjakan shalat yang telah kami lakukan, menghadap kiblat kami dan memakan daging sembelihan kami, maka adalah orang muslim yang telah mendapatkan jaminan Allah dan Rasululllah-Nya. Barangsiapa yang menginginkan yang demikian dari kalangan Majusi, maka dia telah mendapatkan jaminan keamanan. Barangsiapa yang enggan, maka wajib membayar jizyah.”
Dari al-Hasan, dia berkata, “Rasulullah telah memerintahkan memerangi bangsa Arab sehingga mereka masuk ke dalam agama Islam dan segala bentk tawaran tidak diterima dari mereka selain masuk ke dalam agama Islam. Rasulullah juga telah memerintahkan supaya memerangi ahli kitab sehingga mereka memeberika jizyah secara kontan sedangkan mereka dalam keadaan hina.”
Pengambilan jizyah dilakukan oleh pemrintah Islam melalui petugas yang diberi wewenang oleh pemimpin untuk mengambil jizyah. Jizyah diambil dari orang kafir baik ahli kitab,  penyembah berhala, atau selain Islam.
Hukuman Bagi yang Tidak Membayar Jizyah dan Melanggar Perjanjian
Rasulullah menulis surat dan mengirimkan kepada penduduk Yaman, “Barangsiapa yang memeluk agama Yahudi dan agama Nasrani, maka tidak boleh dipaksa keluar agamanya. Akan tetapi, dia hanya berkewajiban memebayar jizyah. Bagi lelaki dan wanita yang telah mencapai usia baligh, budak lelaki atau budak wanita wajib membayar pajak sebanyak satu dinar atau dengan membayar dengan barang pakaian yang senilai dengannya. Barangsiapa yang telah melakukan yang demikian itu kepada utusanku, maka dia telah mendapatkan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya. Barangsiapa yang enggan dan mencegah pembayaran, maka dia adalah musuh Allah, Rasulul-Nya dan seluruh orang yang beriman.”
Abu Ubaid berkata, “Abu Bakar juga telah menerima jizyah dari penduduk al-Hirah. Yaitu ketika Khalid ibnul Walid menaklukkan daerah itu secara damai. Ia mengirimkanjizyah  itu kepada Abu Bakar dan dia pun menerimanya. Penduduk al-Hirah adalah gabungan dari keturunan bangsa arab, yaitu dari Tamim, Thayi’, Ghassan, Tannukh, dan lain-lainnya. Hadits ini juga telah diceritakan kepadaku oleh Ibnu al-Kalbi dan juga lainya.”
Dari Humaid bin Hilal bahwa Khalid ibnul Walid telah memerangi penduduk al-Hirah setelah kewafatan Rasulullah, lalu penduduk al-Hira telah mengadakan kesepakatan perjanjian perdamaian dan akhirnya mereka tidak memerangi lagi.
Abu Ubaid mengatakan bahwa tindakan yang serupa telah dilakukan oleh Umar kepada bani Taghlib.
Dari Dawud bin Kurdus, dia berkata, “Aku telah megadakan perjanjian perdamaian dengan Umar bin Khaththab mengenai perkara yang terjadi di kalangan bani Taghlib. Yaitu setelah mereka berhasil memutuskan pengaliran sungai Furat dan mereka ingin menyebrang ke negeri Roma. Perdamaian itu disepakati dengan syarat bahwa tidak boleh mengubah agama  anak-anak mereka, tidak boleh memaksa masuk agama lain dan mereka berkewajiban membayar pajak pajak pajak secara berlipat ganda mulai dari angka puluhan. Yaitu, setiap orang yang memiliki dua puluh dirha, maka dia mesti membayar satu dirham sebagai pajak dan seterusnya. Maka bani Taghlib tidak memiliki jaminan keamanan, sebab mereka telah mengubah agama anak-anak mereka.”
Abu Ubaid mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “mengubah agama anak-anak mereka” adalah mengbah agama dan memasukkan anak-anak mereka ke dalam agama Nasrani.
Dari Zur’ah ibnun-Nu’man atau an-Nu’man bin Zurah bahwa dia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khaththab. Dia telah membicarakan mengenai persoalan bani Taghlib. Sementara Umar berkeinginan mengambil jizyah  dari mereka. Lalu mereka banyak yang melarikan diri keseluruh plosok negeri. An-Nu’man atau Zur’ah ibnu Nu’man berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya bani Taghlib juga termasuk bangsa Arab. Mereka sangat enggan membayar jizyah, ditambah lagi mereka adalah orang yang tidak memiliki harta kekayaan. Mereka hanyalah orang yang memiliki profesi bercocok tanam dan pengembala. Mereka sangat handal dalam peperangan dan strategi untuk melawan mereka. Oleh karena itu, jangalah engkau meminta bantuan kepada mereka untuk memerangi musuhmu.”
Lalu Umar ibnul Khaththab mengadakan perjanjian damai bersama mereka, tetapi dengan syarat melipatgandakan pembayaran zakat ke atas mereka dan mereka tidak boleh memasukkan anak-anak mereka kedalam agama nasrani. Mughirah berkata, “Aku telah diceritakan bahw Ali pernah berkata, ‘Jika aku mendapat tugas untuk mengatasi persoalan bani Taghlib, aku mempunyai pendapat yang khusus mengatasi mereka. Aku akan memerangi pasukan mereka dan aku akan menawan anak keturunan mereka. Sebab, mereka telah melanggar perjanjian dan jaminan keamanan telah hilang dari mereka, ketika mereka telah memasukkan anak-anak mereka ke dalam agama Nasrani.”
Dari Ziayad bin Hudair bahwa Umar telah memerintahkan suapaya memungut pajak dari kalangan bani taglib sebanyak sepersepuluh dan dari kalangan penganut agama nasrani (ahl kitab) sebanyak seperlima.
Dari asy-Sya’bi bahwa Abu Bakar telah megutus Khalid ibnul Walid, dan memerintahakan untuk bejalan sampai al-Hirah, kemudian melanjutkan ke asy-Syam. Lalau berjalanlah Khalid samapai di Hirah. Asy-Sya’bi berkata, “Khalid ibnul Walid mengeluarkan surat kepdaku, ‘Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid Ibnul Walid untuk Marazibah (sebutan ketua bagi orang-orang Persia), keselamatan bagi siapa saja yang mau mengikuti petunjuk, sesungguhnya aku memuji Allah dan tiada tuhan selain Dia. ‘Amma ba’du...., segala puji bagi Allah yang telah membinasakan khidmatmu, memecahbelahkan persatuanmu, melemahkan kekuatanmu, dan merampas hartamu kekayaanmu. Apabila suratku ini telah sampai ke tanganmu, maka yakinlah aku akan menanggung kesalamatanmu dan mewajibkan jizyah atasmu, oleh karena itu, kirimkan utusanmu kepadaku. Jika tidak, demi Allah yang tiada tuhan melainkan-Nya, aku akan membinasakan kamu sekalian dengan bala tentara yang lebih mencintai maut sebagai mana kamu mencintai kehidupan. Wassalam.”
Kesimpulanya adalah bagi orang-orang kafir yang enggan membayar jizyah  maka oleh pemerintah Islam akan diperangi dan dicabut jaminan keamanan bagi mereka sampai ada perjanjian baru bahwa mereka akan membayar Jizayah. Bila diantara kamun kafir dan muslim melanggar perjanjian seperti yang telah dipaparkan dalam kasus bani Taghlib maka mereka (orang kafir) membayar jizyah secara dilipatgandakan dari ketentuan awal dan Zakatbagi kaum muslimin juga akan dilipatgandakan. Atau mereka yang melanggar perjanjian diperangi.
Orang kafir yang enggan dan mencegah membayar jizyah maka mereka itu menjadi mushuh Allah, Rasul-Nya, dan seluruh kaum muslimin. Hal ini yang disampaikan oleh Rasulullah dalam suratnya kepada penduduk Yaman, dll. “Barangsiapa yang enggan dan mencegah pembayaran, maka dia adalah musuh Allah, Rasul-Nya dan seluruh orang yang beriman.”
Manfaat Jizyah Bagi Orang-orang Kafir
1.    Mendapat Jaminanan oleh Allah dan Rasulullah
Rasulullah menulis surat dan mengirimkan kepada penduduk Yaman, “Barangsiapa yang memeluk agama Yahudi dan agama Nasrani, maka tidak boleh dipaksa keluar agamanya. Akan tetapi, dia hanya berkewajiban memebayar jizyah. Bagi lelaki dan wanita yang telah mencapai usia baligh, budak lelaki atau budak wanita wajib membayar pajak sebanyak satu dinar atau dengan membayar dengan barang pakaian yang senilai dengannya. Barangsiapa yang telah melakukan yang demikian itu kepada utusanku, maka diatelah mendapatkan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya. Barangsiapa yang enggan dan mencegah pembayaran, maka dia adalah musuh Allah, Rasul-Nya dan seluruh orang yang beriman.”
Jaminan orang yang membayar jizyah yang Allah dan Rasul-Nya adalah jaminan haram atas jiwanya, hartanya, darahnya, dan keluarganya. Artinya seorang muslim atau pemerintah telah melindungi jiwanya, hartanya, darahnya, dan keluarganya dari gangguan dari orang lain.
2.    Jaminan Keamanan
Bagi orang-orang kafir yang membayar jizyah yang telah ditentukan besarnya atasnya. Maka mereka mendapatkan jaminan keamanan dari kaum muslimin atau pemerintah. Dan Islam telah mengharamkan hartanya, jiwanya, dan darahnya dari kaum lain.
3.    Santunan Kepada orang-orang Kafir yang Lemah
Dari Jisr Abi Ja’fa, dia berkata, “Aku telah menyasikan kitab Umar bin Abdul Aziz kepada Uday bin Arthah (yang dibacakan keapda kita semasa di Bashrah), ‘Amma ba’du, sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengambil jizyah (dari orang yang menginginkan Islam sebagai pelindungannya dan lebih memilih kufur sebagai suatu kerugian yang nyata bagi mereka, satu kewajiban jizyah) terhadap orang-orang yang sanggup membayarnya. Dan, mereka memiliki bangunan di atas bumi ini karena hal tersebut untuk kebaikan kehidupan kaum muslimin dan kekuatan mereka menghadapi musuh. Lihatlah pada orang-orang sebelummu dari ahli dzimmah yang telah berusia lanjut, dan lemah tidak berdaya, mereka diberi santunan oleh kaum muslimin melalui harta mereka di Baitulmal untuk mencukupi kemaslahatan mereka. Jika seseorang laki-laki dari kaum muslimin yang telah berusia lanjut dan lemah tidak berdaya, maka ia lebih berhak mendapatkan bantuan dari harta kaum muslimin. Karena telah disampaikan kepdaku bahwa Amirul Mukminin Umar pernah melewati seorang syekh dari ahli dzimmah meminta-minta di setiap pintu rumah kaum muslimin. Dia berkata, ‘Apa yang membuatmu seperti ini? Sesunggunya kami telah mengambil jizyah darimu sewaktu kamu muda dan kami telah menghapuskan kewajiban tersebut pada masa usiamu telah lanjut.’ Kemudian Umar memberikan apa-apa yang dia perlukan dari baiitulmal.”

Orang-orang kafir yang telah membayar jizyah atau yang belum dalam keadaan lemah atau fakir. Maka itu menjadi tanggungjawab pemerintah untuk menyantuni apa yang dibutuhkan. Santunan tersebut diambil dari baitulmal yang dananya tersebut tidak diambil dari dana zakat.

Orang yang Diwajibkan membayar Jizyah dan Yang Tidak
Dari Aslam (maula Umar) bahwa Umar menulis surat kepada komandan tentara agar mereka berperang di jalan Allah, dan tidak membunuh orang, kecuali orang yang berniat membunuh mereka, tidak boleh membunuh wanita dan juga anak-anak kecil. Juga tidak boleh membunuh mereka, kecuali orang yang telah ditetapkan keputusan atasnya. Dia juga menuliskan kepada mereka, ‘untuk mewajibkan jizyah atas mereka, dan tidak mewajibkan bagi wanita dan anak-anak kecil. Juga tidak mewajibkannya, kecuali kepada orang yang telah menggunakan pisau cukur untuk memotong kumisnya,”
Hadits ini merupakan dasar keterangan kepada siapa berlakunya ketentuan jizyah, dan kepada siapa tidak diberlakukan. Tidakkah engkau lihat bahwa ia diwajibkan atas laki-laki yang sudah baligh, dan bukan atas anak-anak dan wanita? Hal tersebut karena dahulunya ketentuan yang wajib atas mereka adalah hukuman mati jika jizyah tidak diberlakukan, dan digugurkan dari orang-orang yang tidak berhak menerima hukuman mati, yaitu keluarga mereka sendiri yang terdiri dari anak-anak dan istri mereka.
Dalam surat Rasulullah kepada Mu’adz di Yaman mengatakan bahwa setiap orang laki-laki yang baligh diwajibkan atasnya satu dinar, yang merupakan keterangan yang menguatkan perkataan Umar. Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi SAW mengkhususkan laki-laki dewasa tanpa mengikutkan anak-anak dan wanita?
Dari Amru bin Maimun bahwa dia melihat Umar (sebelum kewafatannya empat hari) berdiri atas keledainya dan berkata kepada Hudzaifah ibnul Yaman dan Utsman bin Hunaif, “Lihat! Apa yang kalian miliki! Lihat, adakah kamu berdua telah menetapkan kepada orang-orang suatu yang dapat mereka pikul?” Utsman berkata, “Aku mewajibkan atas mereka suatu yang kalau aku lipatgandakan atas mereka tentu mereka akan kewalahan.” Hudzaifah berkata, “Aku mewajibkan kepada mereka sesuatu yang tidak berlebih-lebihan.” Kemudian disebutkan kisah pembunuhan Umar hingga akhir hadits di dalam yang panjang lebar menjelaskan hal tersebut.
Abu Ubaid berkata, “Beginilah mazhab kami dalam ­al-jizyah dan al-kharaj, yang berdasarkan pada kemampuan dari ahli dzimmah, tanpa memberatkan mereka sama sekali, juga tidak merusak keselamatan kaum muslimin dan tidak ada waktu didalamnya. Tidakkah engkau lihat bagaimana Rasulullah mewajibkan kaum Yaman satu dinar atas setiap laki-laki yang baligh, didalam hadits atau surat yang beliau SAW kirimkan kepada Mu’adz yang telah sebutkan sebelumnya, sementara nilai satu dinar pada saat itu sekitar sepuluh atau dua belas dirham? Ini selain dari diwajibkan Umar atas ahli asy-Syam dan ahli Irak. Dia menambahkan kepada mereka sesuai dengan kemampuan dan kemudahan mereka, sebagimana yang telah diriwayatkan dari mujahid.”
Aku bertanya kepada Mujahid, “Mengapa Umar meletakkan jizyah atas ahli asy-Syam lebih banyak daripada ahli Yaman?” Dia menjawab, “Untuk kemudahan.”
Abu Ubait berkata, “Kami memilih untuk melebihkan mereka sebagaimana kami juga mengurangi sebagian mereka. Dilebihkan berdasarkan tugas yang lebih banyak dari Rasulullah dan kelebihan yang lainnya dia ditambahkan sendiri dari 48 menjadi 50.”
Menurut Abu Ubaid, jika salah seorang dari mereka tidak sanggup membayar satu dinar, sampai orang-orang meriwayatkan akan hal tersebut dan syek mereka akan memberikan pertolongan dari Baitulmal, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yang senantiasa menanyakan dari pintu ke pintu siapa yang tidak sanggup membayar.
Kesimpulan dari apa yang diaparkan diatas, jizyah hanya diwajibkan kepada laki-laki yang sudah baligh. Untuk anak-anak dan wanita tidak ada kewajiban untuk membayar jizyahdan tidak ditarik jizyah. Jizyah dipungut dengan melihat kondisi suatu kaum dan bagi orang kafir yang didalam keadaan Fakir (tidak sanggup membayar) tidak ditarik jizyah. Bahkan seorang yang fakir ditangguhkan kebutuhannya dari baitulmal.
Pengambilan Jizyah dan Kharaj, Perintah untuk Berlemah Lembut dan Larangan Bersikap Kasar kepada Mereka.
Sa’id Amir bin Hudzaim mendatangi Umar ibnul Khaththab ketika dia didatangin oleh seorang dari Darrah. Sa’id berkata, “Air hujan telah mendahului perjananmu. Jika engkau dihukum kita akan bersabar, jika engkau baik-baik saja kita akan bersyukur, dan jika engkau dicela kita akan mencela mereka.” Umar berkata, “Tidak ada yang wajib kaum muslimin, kecuali ini. Mengapa engkau melambatkan al-kharaj?” Dia berkata, “Kami diperintahkan untuk tidak melebihi para petani dari 4 dinar dan kami tidak akan melebihi akan melebihi mereka dari ketentuan tersebut. Tapi, kami melambatkan samapai pada masa tenggang mereka.” Umar berkata, “Jaganlah engkau melenyapkan apa yang aku hormati.” Abu Mushir berkata, “Tidaklah bagi ahli Syam hadits mengenai al-kharaj selain ketentuan ini.”
Abu Ubaid mengatakan bahwa sesungguhnya dilambatkan sampai pada masa senggang mereka adalah untuk kemudahan bagi mereka. Dan, dia tidak mendengar ada waktu tertentu dalam al-kharaj dan jizyah  dalam pengambilanya selain dari hadits ini.
Ali bin Abi Thalib menggunakan seorang laki-laki untuk menghadapi Ukbari, dia berkata kepadanya di antara kepala-kepala suku, “Jangalah kamu meninggalkan satu dirham dari al-kharaj dari mereka.” Kemudian Ali menguatkan perkataannya dan berkata, “Jumpailah aku pada pertangahan siang nanti.” Lalu dia pun mendatangi Ali dan berkata, “Dahulu aku memerintahkan suatu perkara kepadamu dan sekarang aku datang kepadamu. Jika engkau melanggar perintahku, maka aku akan mencopot jabatanmu. Jangalah engkau menjual seekor keledai ataupun seekor sapi kepada mereka sebagai kharaj dan juga pakaian musim dingin maupun pakaian musim panas, berlemah lembutlah kepada mereka dan lakukan ini kepada mereka.”
Kesimpulan dari riwayat diatas bahwa dalam pemungutan jizayah dan kharaj haruslah berlemah lembut tanpa ada kekerasan. Namun bila mereka dalam keadaan menolak membayar atau menolak jizayah dan kharaj maka akan diperangi sampai mereka mau membayar. Tetapi, jika mereka meminta ditanguhkan karena dalam tidak bisa membayarjizayah dan kharaj maka haruslah ditoleransi tanpa ada tambahan.


* Dirangkum dari kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid terjemah Eklopedia Keuangan Publik penerjemah Setiawan Budi Utomo bab Jenis Harta yang dikelola oleh pemimpin berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah pembahasan Jizyah.