Tuesday, June 17, 2014

Fatwa Muhammad Abduh (1849-1945) Tentang Larangan Poligami.

Abduh adalah tokoh pembaharuan Islam Mesir yang luas pengaruhnya, juga ke negeri kita. Ia pernah jadi grand mufti Mesir. Di antara fatwanya adalah soal poligami, yang lalu dimuat muridnya Rashid Rida di majalah Al Manar pada 1927.

Fatwanya: yajuz lil hakim aw li sahibiddin an yamna' ta'addud alzaujat shiyanatan lil buyut 'anil fasad ri'ayatan lil mashlahah al 'ammah. Boleh bagi hakim/pemimpin agama melarang poligami untuk mencegah kerusakan rumahtangga demi maslahat umum.

Bagaimana Abduh bisa sampai pada fatwa larangan poligami? Apa argumen dan dalilnya? 

Perlu ditegaskan bahwa dalam memahami Qur'an, Abduh menekankan pentingnya tahu hikmah/alasan di balik ayat-ayat suci. Abduh percaya, wahyu dan akal sama-sama dari Allah, tak mungkin bertabrakan. Ini sejalan dengan Ibnu Rushd.

Bagaimana jika tampaknya ada ayat-ayat Qur'an yang bertentangan dengan akal? Menurut Abduh: yang dimaksud ayat tersebut pasti selain arti harfiah.  Abduh juga sangat hati-hati/kritis dalam memakai hadits-hadits ahad, meski sahih. kecuali hadits mutawatir, yang sedikit jumlahnya.

Kembali ke soal fatwa antipoligami. Kita mesti memahami dulu bagaimana Abduh mendefinisikan pernikahan. Abduh mengkritik definisi fiqh tentang nikah yang menurutnya reduksionis, yakni sebagai akad yang dengannya laki-laki halal ber-ML dengan perempuan.

Bagi Abduh, definisi fiqh tersebut tak menampung hakekat nikah menurut QS 30:21 sakinah, mawaddah, rahmah. Tiga konsep tersebut bagi Abduh bukan hanya himbauan, tapi inti dari nikah: cinta antara dua insan. tak semata sex.

Abduh juga menegaskan, perempuan dan laki-laki mesti setara dalam hak dan kewajiban, sesuai Qur'an - Walahunna mitslu alladzi 'alaihinna bil ma'ruf (QS 2: 228). Bagaimana itu bisa terealisir?

Utk merealisirnya, muslimah mesti sadar akan hak-haknya. Dan itu mengandaikan pemberdayaan mereka via pendidikan. Makanya Abduh sangat mendukung pendidikan untuk perempuan, agar mandiri dan sadar akan kesetaraan hak dan kewajibannya.
Nah bagaimana dengan poligami? Abduh membahasnya dari aspek doktrinal dan historis. Dalam membahas QS 4:3 yang membolehkan poligami, Abduh menegaskan ayat itu muqayyad (bersyarat), yakni keadilan. Tapi ada ayat lain, QS 4: 129 yang bilang laki-laki/suami tidak akan bisa adil meski mereka sangat ingin. Menurut Abduh, ayat poligami yang bersyarat keadilan mesti dipahami dalam kaitan dengan ayat yang bilang suami tidak mungkin bisa adil.

Dalam tinjauan historis, Islam datang ketika poligami sudah melembaga, tak hanya di dunia Arab tapi juga di tempat lain. Di Arab, laki-laki kaya dan berpengaruh bisa saja berpoligami tanpa batas. Nah ketika Islam datang, tak mungkin sekaligus menghapusnya. Islam lalu membatasi jumlahnya, dari tak terbatas menjadi maksimum 4. Tapi hakekatnya mengekang poligami, bukan mengumbarnya.

Jadi menurut Abduh, sikap dasar Islam tentang poligami adalah membatasi dan mengekangnya, bukan malah merayakannya. Abduh mengutip contoh terkenal tentang Ghayan yang masuk Islam dengan 10 istri, lalu Nabi minta dia untuk bertahan dengan 4, mencerai sisanya.

Tapi pembatasan yang paling mendasar adalah pada syarat suami untuk adil, yang menurut Qu'an tak bakal mampu. Abduh mengkritik pendapat sejumlah ulama yang melihat faktor keadilan sebagai sekedar himbauan untuk suami yang mau poligami.  Abduh juga mengkritik pendapat yang memahami keadilan sebagai semata-maya pemerataan soal materi dan seks.

Bagi Abduh, pandangan semacam itu mereduksi hakekat keadilan, yang timbul karena definisi sempit fiqh tentang pernikahan seperti saya sebut tadi. Padahal menurut Abduh, Qur'an sendiri mengartikan pernikahan sebagai kasih, cinta, dan ketentraman. Dan itu tak mungkin dibagi.

Kata Abduh: tak ada perempuan terhormat dan berakal sehat yang mau membagi suaminya dengan perempuan lain, sebagaimana suami juga tak mau begitu. Berdasar syarat mutlak keadilan itulah menurut Abduh kebolehan poligami mesti dikritisi.

Abduh mengakui memang ada sedikit orang yang bisa betul-betul adil, seperti Nabi dan Para Sahabat. Tapi kita kan bukan mereka. Apalagi pada masanya, Abduh menyaksikan bagaimana praktek poligami di Mesir secara luas disalahgunakan. Abduh mencatat, poligami menyebabkan pemusuhan antar istri, pemuasan sepihak laki-laki, dan anak-anak jadi korban.

Dengan kata lain, poligami terbukti membawa mafsadah (kerusakan) pada rumahtangga, yang ujungnya merusak tatanan sosial. Padahal tujuan utama syariah adalah untuk menegakkan kemaslahatan dan menghapus mafsadah (kerusakan).

Dari situlah kemudian lahir fatwa Abduh ini: "Jika poligami disyaratkan adil, dan adil itu tidak mungkin, dan mungkin hanya satu dari sejuta orang yang bisa adil dalam poligami, maka atas dasar pertimbangan kemaslahatan umum hakim (pemerintah)/ pemimpin agama boleh mengeluarkan larangan poligami demi mencegah kerusakan yang meluas pada rumahtangga muslim. Abduh kasih satu pengecualian: bila istri terbukti mandul, suami boleh berpoligami, asal atas persetujuan istri dan seijin hakim.
Walhasil, fatwa Abduh tentang larangan poligami berpijak pada prinsip maslahat, yang adalah tujuan utama syariah.

Selain Abduh, pandangan yang keras menentang poligami dilontarkan Fazlur Rahman, gurunya Cak Nur dan Buya Syafii Maarif di Chicago. Menurut Rahman, ajaran Islam mesti dibedakan antara bunyi hukum yang situasional dan konsep etikanya yang permanen. Menurut Rahman, institusi poligami sudah ada sebelum Islam. Islam sejatinya pro monogami, tapi tidak bisa langsung menghapus poligami sekaligus. Bukti bahwa Islam pro monogami: persyaratan keadilan yang sangat tegas, yang mustahil dipenuhi suami.

Nah kalau memang Islam itu hakekatnya mengarah ke monogami, bagaimana status ayat yang membolehkan poligami?

Perbudakan sudah ada sebelum Islam. Islam hakekatnya anti perbudakan. Tapi Qur'an Sunnah sama sekali tak menegaskan larangan perbudakan. Tapi tak menegaskan larangan bukan berarti setuju, karena Islam banyak sekali menganjurkan pembebasan budak.

Islam tak eksplisit mengeluarkan larangan perbudakan karena realita sosial pada abad 7 M tak memungkinkan itu. Sama dengan poligami. Tapi bukan berarti Islam merayakan perbudakan. Bukti: ketika peradaban sampai pada larangan perbudakan, lahir ijma' untuk anti perbudakan. Tapi kita tahu, ayat-ayat perbudakan masih tetap ada di Qur'an. Atasa dasar itulah Rahman menganalogikannya dengan ayat poligami.

Jangan salah. Rahman sama seklai tak menyamakan poligami dengan perbudakan. Yang dia analogikan itu cara kita bersikap terhadap ayat-ayat tentang itu. Pandangan Rahman itu termaktub dalam bukunya, Major Themes of the Qur'an (sudah diterjemahkan).

Sekian penjelasan saya tentang antipoligami. Wallahu a'lam bi al-shawab. Salam.